Myanmar harus menyadari pentingnya stabilitas kawasan

id alumni unair, rohingnya, myanmar

Myanmar harus menyadari pentingnya stabilitas kawasan

Ahmad Cholis Hamzah (1)

Para pemimpin ASEAN sejak didirikannya ASEAN selalu mempraktekkan penghormatan tradisional mereka tentang prinsip non intervensi atau tidak saling intervensi atas persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing anggotanya. 

Didepan publik biasanya para pemimpin ASEAN itu menyatakan akan meggunakan "Cara ASEAN" dalam menyelesaikan masalah-masalah namun secara diam-diam dibalik layar selalu menggunakan cara ASEAN ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bisa menimbulkan konflik. 

Praktek seperti ini sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan pihak negara-negara barat seperti Masyarakat Eropa dan Amerika Serikat. 

Ketika Myanmar masih dibawah pemerintahan otoriter militer, negara-negara barat tersebut mengeluarkan sikap keras terhadap cara-cara militer Myanmar memimpin Myanmar dan bahkan mengancam dengan embargo. Negara-negara barat itu meminta Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya melakukan hal yang sama. 

Namun, Indonesia pada waktu itu lebih memilih cara ASEAN itu dengan halus meyakinkan Myanmar untuk membuka demokrasi. Professor Ketut Erawan dari Institute for Peace and Democracy atau IPD (Lembaga Pelaksana Bali Democracy Forum) pernah mengatakan bahwa Indonesia   pengalamannya kepada Myanmar tentang bagiamana Indonesia memilih demokrasi setelah lebih 30 tahun dibawah pemerintahan otoriter, dan tentang bagaimana TNI bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada sipil tanpa pertumpahan darah. 

Menteri Luar Negeri Thailand pada waktu itu Surin Abdul Halim Bin Ismail Pitsuwan bersama dengan pemerintah Indonesia juga meyakinkan pada penguasa militer Myanmar untuk memilih dua pilihan atau opsi, apakah terus mempertahankan system dictator militer tapi terisolasi di kawasan Asia atau memilih opsi membuka demokrasi dan bergabung dengan ASEAN. 

Pendekatan seperti itu berhasil dan pada tangga 23 Juli 1997 Myanmar bergabung menjadi anggota ASEAN.
Sejak didirikan pada tanggal 8 Augustus 1967 di Bangkok, para pemimpin ASEAN selalu memelihara tujuan-tujuan ASEAN antara lain menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan ASEAN dan memelihara prinsip-prinsip fundamental ASEAN antara lain prinsip tidak mencampuri urusan internal dalam negeri masing-masing anggota. 

Departemen Kajian Internasional IKA Universitas Airlangga setelah mengamatai dengan seksama kejadian-kejadian terakhir di Myanmar saat ini sehubungan dengan pembunuhan masyarakat suku Rohingnya, berpendapat bahwa tanpa harus mencampuri urusan dalam negeri Myanmar berdasarkan nilai-nilai ASEAN; namun mengingatkan pada pemerintah Myanmar pembunuhan masyarakat yang tidak bersalah berdasarkan alasan agama dan ras betul-betul melanggar prinsip Hak Azasi Manusia yang dianut oleh semua negara yang beradab. 

Pembunuhan seperti itu tentu dikutuk keras. Selain itu kejadian yang begitu tragis tersebut akan menimbulkan ketidak stabilan di kawaasan dan hal ini berseberangan dengan tujuan mulia ASEAN yakni menjaga perdamaian dan stabilitas ASEAN.

Baru-baru ini peraih hadiah Nobel Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa kemarahan dunia terhadap Myanmar itu didasarkan oleh berita-berita palsu atau fake news. 

Namun Sekjen PBB telah mewanti-wanti bahwa tindakan brutal yang dilakukan pihak militer Myanmar yang menyebabkan lebih dari 140.000 pengungsi Rohingnya melarikan diri ke negara tetangga akan menyebabkan tindakan pembersihan etnis. 

The Human Rights Watch (HRW) atau lembaga Hak Azasi Manusia dan  John McKissick dari UNHCR di Bangladesh telah mengkritik dengan keras atas cara-cara Myanmar menangani konflik mempublikasikan foto-foto dari satelit yang menunjukkan rumah-rumah masyarakat Rohingnya dibakar, dan dia mengatakan di BBS bahwa itu adalah tindakan pembersihan etnis. 

IKA UA juga mengingatkan pada pemerintah Myanmar bahwa pendekatan yang brutal itu akan melahirkan radikalisme  dan akan dengan mudahnya menyebar ke kawasan ASEAN dimana seluruh pemipin dan rakkyat ASEAN menentang penyebaran radikalisme ini. 

IKA UA menyadari bahwa persoalan masyarakat Rohingnya ini sangat komplek. 

Namun demikian persoalan itu harus diselesaikan dengan cara-cara damai dengan menggunakan nilai-nilai Cara ASEAN sendiri. Myanmar harus ingat bahwa ketika bersedia bergabung dengan ASEAN itu juga dikarenakan pendekatan damai dari para pemimpin ASEAN.

* Ketua Departemen Kajian Internasional dan  Pemberdayaan Alumni Global
   Ikatan Alumni- Universitas Airlangga Surabaya)