Ahmad Fuadi tampil di pameran buku Kuala Lumpur

id ahmad fuadi

Ahmad Fuadi tampil di pameran buku Kuala Lumpur

Ahmad Fuadi (Foto ANTARA/Agus S) (1)

Kuala Lumpur, (AntaraKL) - Penulis Indonesia yang terkenal dengan novel Negeri 5 Menara Ahmad Fuadi menjadi pembicara pada Bincang-Bincang Menuliskan Tema Perjalanan Secara Kreatif di Panggung Utama Kuala Lumpur International Book Fair (KLIBF) 2018 di Kuala Lumpur, Kamis.

Pada kesempatan tersebut dia menampilkan tiga novelnya di panggung masing-masing "Negeri 5 Menara", "Rantau 3 Warna" dan "Rantau 1 Muara" sedangkan di meja penjualan terdapat buku "Bertualang ke 5 Benua".

Setelah tampil sekitar satu jam dan melakukan penandatanganan buku Ahmad Fuadi kemudian menuju Paviliun Indonesia untuk berdialog dengan pengunjung dan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) didampingi sejumlah guru.

"Awalnya Novel `Anak Rantau` ketika saya mendapatkan undangan ke Italia. Tinggal di sana selama satu bulan untuk menulis dengan dibiayai Rockefeller Foundation. Waktu itu saya lihat danau-nya indah kemudian saya teringat Danau Maninjau di kampung," katanya ketika ditanya novel barunya.

Kemudian terfikir ingin menulis kampung sendiri lalu dirinya sudah membikin struktur dan peta-nya lantas pulang ke Indonesia untuk menulis sambil riset.

"Jadi pendekatannya struktur dulu baru riset bukan riset dulu. Pas riset gambaran kampung saya yang indah dulu ternyata nggak indah lagi. Dulu kalau berenang tidak perlu khawatir polusi sekarang warnanya sudah kehijauan karena polusi keramba ikan terlalu banyak," kata alumni Pondok Pesantren Gontor tersebut.

Kemudian masyarakat yang dahulu dekat dengan surau mungkin masih ada yang dekat tetapi ada yang baru sekarang bahwa struktur adat sudah tidak kuat dan kontrol sosial dari adat berkurang.

"Lalu ada kejadian juga di Sumatra Barat narkoba sudah masuk ke kampung. Gambaran kampung saya yang indah berubah saat saya riset. Karena itu saya harus mengubah juga gambaran saya begini ternyata kenyataannya berbeda sehingga menjadi lama karena ada perubahan ingin merayakan kampung jaman dulu menjadi otokritik," katanya.

Bagaimana kampung kita di mata perantau tetap indah, ujar dia, padahal belum tentu sehingga jangan dilupakan karena kalau berubah bisa rusak.

"Saya ingin mengajak orang-orang untuk mengingat kampung jangan hanya dikenang masa indah-nya tetapi dilihat sekarang dan kalau ada yang kurang diperbaiki," katanya.

Fuadi mengatakan lapisan pesan dari novel ini adalah pesan memaafkan bahwa semua orang pernah luka, dilukai dan melukai.

"Kalau luka itu luka batin dan luka sejarah tidak akan pernah sembuh kalau tidak dimaafkan dan maaf tidak akan menyelesaikan sampai akhir kalau tidak dilupakan. Jadi ini sebenarnya rekonsiliasi terhadap masa lalu secara pribadi maupun historis," katanya.