Benarkah Rasulullah SAW hijrah pada Bulan Muharam ?

id Muhamad Abdul Azis,Hijrah Rasulullah

Benarkah Rasulullah SAW hijrah pada Bulan Muharam ?

Muhammad Abdul Azis (1)

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah memiliki makna tersendiri dalam hati umat Islam, terutama mereka para sahabat yang mengalami sendiri peristiwa ini. 

Dalam Surat Al-Hasyr 7-8, dilukiskan betapa erat pertalian saudara di antara mereka. 

Kaum Muhajirin yang papa tapi tidak lantas rendah diri dan kaum Anshar yang berkecukupan namun tidak juga lantas iri dan juga sombong. 

Adalah peristiwa hijrah yang melebur dan menyatukan dua entitas yang cukup berbeda tersebut.

Persatuan yang liat ini pada gilirannya menjadi prakondisi yang sangat kuat bagi kemajuan Islam di kemudian hari. 

Hijrah merupakan salah satu stasiun terpenting dalam sejarah perjalanan umat Islam. 

Karena itu, Khalifah Umar Ibn al-Khattab, pada tahun 16 Kenabian, menginisiasi penetapan kalender resmi Islam dengan hijrah sebagai semangat dasar dan Muharam sebagai bulan pertamanya. 

Sedemikian dekat makna hijrah dan Muharram sehingga sebagian umat Islam berpendapat bahwa hijrah Rasulullah Saw itu sendiri terjadi pada bulan Muharram. Tapi, benarkah demikian? Beberapa rujukan berikut patut untuk diperhatikan. 

Dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Jilid 2, hal. 3) sebagai contoh, Ibn Jarir al-Thabari (839-923 M) menyebutkan bahwa Rasulullah Saw sampai di Madinah pada Senin, malam ke 12, Rabiul Awwal. 

Meski berbeda hari, pendapat serupa diungkapkan oleh Abu al-Rayhan al-Biruni (973-1050 M) dalam kitabnya Al-Athar al-Baqiyah min al-Qurun al-Khaliyah (hal. 35).

Beberapa referensi kontemporer juga ikut mengonfirmasi. Di antaranya adalah rujukan salah satu kitab tarikh yang sangat populer di pesantren Indonesia, Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin (Jilid 1, hal. 62) karya Muhammad Ibn Afifi al-Khudari (1872-1927). 

Juga Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah (hal. 198) karya almarhum Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi (1923-2013 M) yang merupakan disertasi doktoralnya di Universitas Al-Azhar.

Hingga titik ini, menjadi jelas bahwa hijrah terjadi pada Rabiul Awwal, bukan Muharram. 

Lalu, mengapa penanggalan Islam dimulai dari Muharram?
Hal ini, kutip Al-Biruni, karena Muharram adalah di antara empat bulan – selain Ramadhan – yang amat dimuliakan sehingga dilarang berperang (haram) di dalamnya. Yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. 

Lantas mengapa Muharram terpilih dari ketiga lainnya? Sangat dimungkinkan bahwa hal tersebut karena Muharram adalah yang paling dekat dengan mereka – yang berada pada Rabiul Awwal.

Al-Thabari juga meriwayatkan bahwa Muharram merupakan momentum yang tepat lantaran pada saat itu umat Islam baru datang dari menunaikan ibadah haji pada Dzulhijjah. 

Ia menambahkan bahwa apa yang dimaksud dengan “al-Fajr” (permulaan) dalam surat Al-Fajr (wa al-fajr, wa laylin ‘asyr) adalah Muharram itu sendiri. Yaitu, fajr al-sanah yang berarti permulaan tahun.

Tentu beberapa peristiwa kenabian yang sering kita dengar juga ikut menambah betapa Muharram merupakan salah satu bulan istimewa. 

Di antaranya adalah berlabuhnya bahtera Nabi Nuh As; selamatnya Nabi Ibrahim As dari siksa api Namrud; terbebasnya Nabi Yusuf As dari penjara Mesir; selamatnya Nabi Musa As dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah.

Selanjutnya pelajaran apa yang bisa dipetik dari peristiwa penanggalan hijrah tersebut ?

Pertama, progresivitas Islam. Hal ini ditunjukkan oleh pemikiran dinamis Umar Ibn al-Khattab sebagai sang inisiator. Sebagian umat Islam boleh jadi menyangka bahwa tindakan tersebut menyalahi nash karena Rasulullah Saw tidak memerintahkan penanggalan berdasarkan sistem integral sebagaimana yang diusulkan Umar. 

Perlu diketahui bahwa sebelum kalenderisasi hijriah dimulai, orang Arab sebenarnya sudah mengenal sistem kalender lain. 

Setiap tahun diberi nama tertentu seperti Tahun Peperangan, Tahun Gempa Bumi, Tahun Perpisahan, dan lainnya. Contoh lebih populer adalah Tahun Gajah (‘Am al-Fil) yang dinisbatkan pada tahun di mana Rasulullah Saw lahir. 

Namun semua ini masih bersifat sektarian sehingga tidak mengikat dan pada kondisi tertentu formasi bulan diubah-ubah menurut kepentingan masing-masing suku. Praktik mempermainkan (al-nasi’) inilah yang kemudian dilarang oleh Allah Swt (Al-Tawbah 37).

Dari sini, sang khalifah mampu mengidentifikasi penyebab utama (‘illah) suatu hukum disyariatkan berikut esensinya (maqashid) untuk kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks lain yang lebih luas dan beragam. 

Dalam konteks penanggalan hijriah, di tengah wilayah Islam yang semakin luas menjangkau beragam adat dan budaya lain, Umar mampu melihat bahwa yang esensial dari perintah penanggalan oleh Rasulullah Saw adalah penanggalan itu sendiri berikut satu sistem yang mampu berlaku efisien dan efektif (hifz al-mal), dan menjaga persatuan umat (hifz al-‘ird). Tidak malah terjebak pada orientasi sektarian.

Karena itu, tidak berlebihan jika Muhammad al-Baltaji, penulis Manhaj Umar Ibn al-Khattab fi al-Tasyri’, menilai Umar telah melampaui zamannya. 
Sebab, di tataran praktis, Umar telah menerapkan konsep Usul al-Fiqh dan bahkan Maqashid al-Shariah. Meski kedua ilmu tersebut baru tersistemasikan sekian abad setelahnya.

* Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI), IIUM Kuala Lumpur