Pakar : #10yearschallenge jadi jalan pintas pencarian data

id #10yearschallenge,sonny zulhuda,hashtag

Pakar : #10yearschallenge jadi jalan pintas pencarian data

Prof Dr Sonny Zulhuda

"Buat sebagian orang, hal di atas seperti bukan isu baru. Toh, semua data itu kebanyakannya sudah ada di media sosial dan internet. Betul, tetapi bedanya sekarang, kita memudahkan pekerjaan mereka dalam hal kurasi dan pengemasan data yang sebelum ini
Kuala Lumpur, (ANTARA News) - Pengajar mata kuliah Cyber Law International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Penasihat Kantor Komisioner Perlindungan Data di Malaysia Sonny Zulhuda mengatakan penggunaan hashtag #10yearschallenge bisa menjadi jalan pintas pencarian data.

"Akhir-akhir ini pengguna media sosial sudah banyak melihat foto-foto transformasi wajah yang dilabel hashtag #10yearschallenge. Tidak kurang, politikus dunia hingga artis dan selebriti pun berpartisipasi dalam tren yang satu ini," kata Prof. Madya Dr. Sonny Zulhuda saat menanggapi fenomena tersebut di Kuala Lumpur, Senin.

Profesor Madya di Fakultas Hukum IIUM ini mengatakan bahwa aktivitas ini tentunya dimanfaatkan oleh masyarakat media sosial sebagai bahan hiburan dan obrolan yang menarik dan tidak jarang menggelitik. 

Namun, kata "visiting scholar" di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, mungkin banyak yang tidak sadar bahwa foto-foto yang disebar itu akan memudahkan pihak media sosial atau pihak ketiga untuk melakukan beberapa pekerjaan mereka.

Pekerjaaan tersebut, seperti penyempurnaan database wajah individu berikut kronologi tahun dan usia, penelitian pola transformasi wajah manusia berdasarkan usia, periode, dan demografi lainnya, seperti ras, gender, dan lingkungan.

Pemrograman pada teknologi Artificial Ingelligence (AI) dalam melakukan rekaan wajah secara lebih akurat serta identifikasi dan penyamaran.

"Apalagi, dengan label yang sangat indikatif, seperti #10yearschallenge akan makin memudahkan penyaringan dan interpretasi data sehingga memberikan jalan pintas untuk pencarian data itu sendiri. Label hashtag itu sama dengan fungsi metadata," ujar Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia tersebut.

Makin banyak hashtag, kata dia, maka akan makin mudah pencarian data tersebut di domain publik.

"Buat sebagian orang, hal di atas seperti bukan isu baru. Toh, semua data itu kebanyakannya sudah ada di media sosial dan internet. Betul, tetapi bedanya sekarang, kita memudahkan pekerjaan mereka dalam hal kurasi dan pengemasan data yang sebelum ini tersebar salam belantara informasi," katanya.

Karena dengan aksi #10yearschallenge itu, kata dia, para kurator big data mendapatkan verifikasi gratis dalam pengemasan database mereka dan verifikasi data adalah sebuah proses penting yang tidak mudah dan tidak murah.

"Namun, verifikasi ini sudah terpenuhi oleh aksi pemilik data itu sendiri.? Lalu, jika ditilik dari aspek pengamanan data, akan banyak timbul keraguan," katanya.

Menurut Sonny, tidak akan ada masalah jika data transformasi wajah itu tersimpan secara aman, misalnya di dalam media sosial tersebut dan tidak disalahgunakan.

Penyalahgunaan

Masalahnya, kata Sonny, di luar sana banyak pihak yang berminat untuk menggunakannya, baik dengan cara legal maupun ilegal.?

"Tentunya masih segar dalam ingatan kita kasus skandal penyalahgunaan data Facebook oleh perusahaan data mining Cambridge Analytica beberapa waktu lalu yang menyentak dunia," katanya.

Tentunya, ada beberapa aspek positif dari pemanfaatan data transformasi wajah yang bisa dilakukan, seperti untuk memudahkan pencarian orang hilang walaupun sudah bertahun-tahun lamanya.

"Dengan berkembangnya teknologi AI dan `facial recognition` yang dipadukan dengan pola transformasi wajah berdasarkan faktor genetik dan demografis, pihak kepolisian atau keluarga akan mampu mendapatkan sketsa wajah si orang hilang tersebut tergantung pada berapa usianya," katanya.

Contoh lain adalah jika aspek penegakan hukum akan terbantu dengan adanya teknologi dan data tersebut.

Sketsa wajah yang lebih akurat akan memudahkan pencarian tersangka kriminalitas.

"Namun, aspek negatif juga sangat mungkin terjadi. Teknologi dan data pengenalan wajah akan dimanfaatkan oleh para detektif pribadi (private investigator) yang disewa orang untuk memata-matai pergerakan orang lain.

Lalu, para penggiat big data dapat mengembangkan data untuk keperluan komersial dan marketing. Misalnya, industri kosmetik dan perawatan kecantikan bisa menawarkan pasiennya untuk mendapatkan wajah yang lebih muda (atau lebih tua) secara lebih akurat dan tampak alami," katanya.

Kemungkinan terburuknya, menurut dia, dengan tersedianya data wajah yang akurat tersebut siapa yang berniat buruk dapat menggunakannya untuk sekadar memalsukan identitas bagi memudahkan kriminalitas.

"Satu lagi implikasi bagi para pengguna media sosial, setelah ini, Anda tidak bisa lagi mengaku-aku berusia lebih muda dari usia sebenarnya karena akan lebih mudah ketahuan di kemudian hari. Intinya, kita perlu berwaspada terhadap isu ini," katanya.

Ia mengatakan bahwa sketsa wajah, biodata, komunikasi, pergerakan, dan kombinasi itu semua saat ini adalah aset pada era digital ini.

"Mari kita amankan dan berdayakan dalam sadar kita," ujar pria asal Palembang yang juga "visiting scholar" di University of Toronto, Kanada, dan University of Leiden, Belanda tersebut.