uang yang dinikmati terdakwa selaku Dirut PT CPC sejumlah Rp10,861 miliar
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) Freddy Lumban Tobing didakwa melakukan korupsi pengadaan "Reagen and Consumable" Penanganan Virus Flu Burung 2007 pada Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan sehingga merugikan negara sebesar Rp12,331 miliar.

"Terdakwa Freddy Lumban Tobing selaku Direktur Utama PT Cahaya Prima Cemerlang (PT CPC) turut serta melakukan pengaturan dalam proses pengadaan Reagen dan Konsumable Penanganan Virus Flu Burung dari DIPA APBN-P TA 2007 pada Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Perbuatan Freddy tersebut dilakukan bersama-sama dengan Ratna Dewi Umar selaku Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar pada Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Siti Fadilah Supari selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Tatat Rahmita Utami selaku Direktur Trading PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD).

"Tujuannya agar PT KFTD yang sebelumnya telah sepakat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada PT CPC untuk ditetapkan menjadi penyedia barang dan jasa, dengan cara mempengaruhi panitia pengadaan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), spesifikasi teknis barang, daftar barang dan jumlah barang berdasarkan data yang berasal dari PT CPC dengan spesifikasi yang mengarah pada produk perusahaan tertentu sesuai keinginan PT CPC," ungkap jaksa Ronald.

Baca juga: KPK tetapkan tersangka korupsi penanganan flu burung

Tindakan Freddy bersama pelaku lain tersebut pun memperkaya Freddy selaku Direktur Utama PT CPC sejumlah Rp10,861 miliar dan memperkaya korporasi yaitu PT KFTD sejumlah Rp1,469 miliar yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu sejumlah Rp12,331 miliar.

Awal kasus tersebut adalah Departemen Kesehatan diketahui akan mengadakan kegiatan pengadaan Reagen dan Konsumable yang pembiayaannya berasal dari DIPA APBN-P Tahun 2007 pada Januari 2007.

Mengetahui rencana tersebut, Freddy menemui Direktur PT Elo Karsa Utama (EKU) Suwandi Surjo Rahardjo. Freddy meminta agar PT CPC dapa ditunjuk PT EKU sebagai sub-distributor khusus Reagan dan Konsumable lalu tercapailah kesepakatan sesuai dengan permintaan Freddy.

Freddy juga menemui Direktur Trading PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD) Tatat Rahmita Utami. Kesepakatannya PT CPC akan memberikan dukungan kepada PT KFTD dalam pengadaan Reagen dan Konsumable dengan harga penawaran Rp27,773 miliar dengan diskon 4 persen sebagai "management fee" dari PT CPC kepada PT KFTD.

Baca juga: Siti Fadilah mengaku tak tahu pengadaan alkes terkait flu burung

Freddy selanjutnya menemui Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Depkes Ratna Dewi Umar dan menyampaikan keinginannya untuk mengikuti pengadaan di Depkes. Atas permintaan itu, Ratna Dewi menyampaikan pengadaan Reagen dan Konsumable belum ada dan jika ada dipersilakan untuk mengikuti.

Saat Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar pada September 2007 mendapat tambahan alokasi APBN-Perubahan 2007 sebesar Rp30 miliar untuk pengadaan Reagen dan Konsumable. Ratna Dewi lalu mengajukan terms of reference ke Departemen Keuangan berdasarkan data yang didapat dari Freddy sehingga spesifikasi mengarah ke produk PT CPC.

Pada Oktober 2007, Ratna Dewi lalu meminta arahan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari untuk pengadaan tersebut dan Siti Fadilah memerintahkan agar pengadaan dilakukan dengan penunjukan langsung yang akan dikerjakan PT KFTD.

Atas perintah tersebut, Ratna Dewi memerintahkan panitia pengadaan bersiap melaksanakan proses pengadaan dengan metode penunjukkan langsung dengan alasan situasi masih dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu Burung dan menunjuk sebagai pelaksana pekerjaan adalah PT KFTD.

Baca juga: Hakim Tipikor cecar Mantan Menkes Siti Fadilah

Dalam rangka melaksanakan pengadaan Reagen dan Konsumable, selanjutnya panitia pengadaan memperoleh informasi harga Reagen dan Konsumable dari PT CPC untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dengan nilai Rp29,81 miliar termasuk data jumlah, komposisi, spesifikasi dan distribusi Reagen dan Konsumable sebagai Dokumen Spesifikasi Teknis dan Daftar Distribusi barang dalam pengadaan Reagen dan Konsumable.

Masih pada November 2007, panitia pengadaan melakukan negosiasi atas harga penawaran PT KFTD yang diwakili oleh Freddy.

"Setelah dilakukan negosiasi harga, akhirnya terdakwa memberikan harga potongan, yakni dari semula Rp29,685 miliar diturunkan menjadi RP29,39 miliar. Terhadap negosiasi tersebut, panitia pengadaan melaporkannya kepada Ratna Dewi Umar," tambah jaksa.

Pada 28 November 2007, dilakukan penandatanganan kontrak senilai Rp29,39 miliar. Setelah dilaksanakan penandatanganan kontrak, Ratna Dewi Umar memerintahkan panitia pengadaan untuk menandatangani dokumen pengadaan yang disesuaikan dengan tanggal surat rekomendasi penunjukan langsung dari Menkes RI Siti Fadilah Supari.

Freddy dan Dirut PT KFTD Suharno lalu menandatangani kontrak dengan nilai Rp27,773 miliar padahal ketentuan sub kontrak tidak dituangkan dalam Surat Perjanjian Jual Beli (kontrak) Pengadaan Reagen dan Konsumabel.

Pada 19 Desember 2008, dilakukan pembayaran kepada PT KFTD sejumlah Rp26,317 miliar. Lalu PT KFD membayar ke PT CPC. Setelah PT CPC mendapat pembayaran, PT CPC membayar harga Reagen dan Konsumable kepada PT EKU sejumlah Rp14,386 miliar. Atas pembayaran tersebut, PT KFTD mendapat "management fee" sejumlah Rp1,469 miliar.

Baca juga: KPK tahan tersangka korupsi vaksin flu burung

"Sehingga uang yang dinikmati terdakwa selaku Dirut PT CPC sejumlah Rp10,861 miliar," tambah jaksa Ronald.

Atas perbuatannya, Freddy diancam pidana berdasarkan dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019