Proses penegakan hukum yang dilakukan Polri jangan menimbulkan ketegangan sosial baru
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mengingatkan saat wabah COVID-19, kerja penegakan hukum yang dilakukan Polri jangan sampai melanggar prinsip due process of law, yaitu jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar.

"Saya mengingatkan jajaran Polri agar kerja-kerja penegakan hukum yang menjadi kewenangan Polri tidak melanggar prinsip due process of law," kata Arsul dalam keterangannya, di Jakarta, Senin.
Baca juga: Ketua Fraksi PKS di DPR tanggapi soal penghinaan Presiden

Arsul menanggapi keluarnya perintah Kapolri agar jajaran Polri melakukan penindakan terhadap mereka yang diduga melakukan ujaran kebencian atau menyebarkan hoaks terhadap Presiden dan pejabat Pemerintah terutama terkait dengan penanganan wabah COVID-19, dan juga proses hukum karena dugaan pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Polda Metro Jaya dengan menangkap 18 orang di Jakarta Pusat pada Jumat (3/4) malam.

Arsul mengatakan proses penegakan hukum yang dilakukan Polri jangan menimbulkan ketegangan sosial baru di tengah-tengah warga masyarakat yang resah menghadapi makin merebaknya wabah COVID-19.

Arsul Sani mengingatkan bahwa terkait dengan penindakan terhadap mereka yang melakukan ujaran kebencian melalui media sosial atau yang menyebarkan hoaks, maka Polri memiliki Surat Edaran Kapolri No. 6 Tahun 2015.

"Surat Edaran Kapolri itu isinya meminta agar jajaran Polri melakukan langkah-langkah preventif terlebih dahulu dalam menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks sebelum melakukan proses hukum," ujarnya.

Menurut dia, apa yang ada dalam SE Kaplori tersebut diterapkan secara baik oleh Polri untuk menghindarkan kesan bahwa institusi tersebut sewenang-wenang dalam penegakan hukum.
Baca juga: FPKS minta pasal penghinaan presiden di RKUHP dicabut

Sekjen DPP PPP itu, juga menyoroti keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya terkait penindakan terhadap 18 orang tersebut atas dugaan melanggar kebijakan PSBB seperti dimaksud dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP.

"PP No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 tidak menetapkan bahwa pada wilayah di Indonesia diberlakukan PSBB," ujarnya.

Arsul menjelaskan penetapan PSBB dilakukan dengan Keputusan Menteri Kesehatan, dan sampai saat ini Menkes belum menetapkan DKI Jakarta sebagai wilayah PSBB.

Karena itu, menurut dia, yang bisa dilakukan jajaran Polri adalah meminta orang yang berkerumun untuk bubar dan kalau mereka melawan atau mengabaikan, baru bisa digunakan pasal KUHP tentang tidak menaati perintah pejabat yang sah.

Wakil Ketua MPR RI itu meminta Polri mempelajari lebih teliti lagi isi PP tersebut yang pada pokoknya hanya menjelaskan tata cara Menteri Kesehatan menetapkan PSBB berdasar Pasal 60 UU No. 6 Tahun 2018.

"Begitu juga dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020 baru mengatur mekanisme bagaimana suatu wilayah bisa ditetapkan PSBB, belum menyatakan suatu wilayah sebagai wilayah PSBB," katanya pula.
Baca juga: Pasal penghinaan presiden muncul lagi di RKUHP dipertanyakan

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020