Keputusan penerapan asas bipatride memerlukan pemikiran yang matang, tidak pragmatis, dan terburu-buru.
Jakarta (ANTARA) - Pola migrasi dunia tidak hanya dari selatan ke utara, tetapi juga dari utara ke selatan, di antara pola migrasi dunia adalah pergerakan pekerja terampil (skilled worker ). Pola migrasi ini juga terjadi pada WNI (skilled worker) menuju negara maju.

Para skilled worker WNI ada yang memilih untuk menetap dan bekerja di mancanegara. Secara perlahan kehidupan diaspora Indonesia tersebut akan memengaruhi paradigma kebangsaan dan kewarganegaraannya.

Di sisi yang lain, Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat berhak untuk menentukan kepentingan nasional pada masa yang akan datang.

Salah satu hal yang patut diingat terkait dengan kewarganegaraan adalah Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak berkewarganegaraan ganda (ABG).

Sedikit menoleh ke belakang, hanya untuk curah pendapat (brainstorming) saja. Pada tahun 2016 mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI Arcandra Tahar diduga memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride).

Pada bulan dan tahun yang sama salah satu calon Paskibraka bernama Gloria Hamel juga disorot. Gloria Hamel nyaris dilantik menjadi Paskibraka HUT Ke-71 RI karena didapati memegang paspor Prancis.

Yang paling update adalah kasus Orient Patriot Riwu Kore yang mencuat dalam Pemilihan Bupati Sabu Raijua pada tahun 2020.

Fenomena menjadi warga di suatu negara, tempat diaspora Indonesia berdomisili, tentu kondisi ini menguntungkan bagi mereka. Misalnya, dengan memiliki paspor Amerika Serikat (AS) akan memperoleh banyak kemudahan dan fasilitas.

Sebagaimana lazimnya warga negara AS, diaspora Indonesia akan mendapat perlakuan yang egaliter. Dengan perlakuan yang egaliter, terkadang dapat membuat diaspora menafikan konsekuensi lebih lanjut dari kepemilikan paspor AS. Padahal, pada saat yang bersamaan masih tercatat sebagai WNI.

Konsekuensi yang dimaksud adalah adanya pelanggaran atas ketentuan kewarganegaraan RI. Walaupun merupakan pelanggaran terhadap ketentuan asas kewarganegaraan tunggal RI. Namun, sanksi hukum yang tegas belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Pada sisi yang lain bagi negara tertentu, melindungi identitas warga negaranya adalah bagian dari konsitusi. Kondisi ini yang kadang menjadi blessing in disguise (berkah terselubung) bagi mereka yang bersikap ambigu saat masih menjadi WNI tetapi memperoleh paspor dari negara lain.

Persoalan ini hanya akan mengemuka bila yang bersangkutan berada di ruang publik sehingga menjadi pemantik atas terbukanya status kewarganegaraan ganda.

Peran Institusi

Menilik ketiga kasus di atas, ada energi yang terbuang percuma, baik dari segi yuridis, kewibawaan hukum, waktu, tenaga, biaya, maupun sorotan internasional.

Mengapa ketiga kasus tersebut tidak menjadi pembelajaran bagi bangsa ini? Ketiga kasus tersebut menurut hemat penulis bak bola salju, artinya tidak menutup kemungkinan kasus serupa juga terjadi pada WNI lainnya di mancanegara. Namun, kasus tersebut belum mencuat ke permukaan dan tidak terpantau.

Walaupun semangat kebangsaan yang melingkupi masyarakat diaspora Indonesia di negeri seberang dan para pelaku perkawinan campuran selama ini tidak surut, mereka berpotensi untuk memperoleh paspor atau identitas negara lain yang mengarah pada status kewarganegaraan ganda.

Dengan kecintaan pada bangsa dan negara sepatutnya menjadi modal dasar untuk bangga sebagai WNI. Kalaupun keberadaan WNI di negara lain karena kapabilitas yang dimiliki, tentu saja tidak dapat dijadikan argumen untuk memiliki kewarganegaraan ganda.

Di sinilah dibutuhkan peran dari perwakilan Indonesia yang berada di luar negeri untuk memberikan diseminasi kepada masyarakat Indonesia.

Sementara itu, bila merujuk pada Permenkumham Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkumham Pasal 335-347, fungsi diseminasi tentang kewarganegaraan melekat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

Diseminasi tentu telah dilaksanakan oleh perwakilan Indonesia dan Ditjen AHU mengenai Indonesia tidak menganut kewarganegaraan ganda kecuali bagi anak berkewarganegaraan ganda.

Itu pun terbatas sebagaimana yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 4 Huruf c, Huruf d, Huruf h, dan Huruf l serta Pasal 5.

Meskipun antar-kementerian/lembaga (K/L) selama ini telah bersinergi mengadakan diseminasi di mancanegara, perlu juga mitigasi permasalahan kewarganegaraan ganda bagi WNI di negeri orang.

Kemungkinan lain karena selama ini belum ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur K/L tertentu yang berwenang untuk memastikan atau memantau perubahan status kewarganegaraan WNI di luar negeri.

Kelemahan ini memberikan peluang bagi WNI yang ada di mancanegara untuk abai melaporkan perubahan status kewarganegaraannya.

Perihal diaspora Indonesia yang telah mendapatkan kewarganegaraan dari negara setempat tetapi tidak melaporkan atau tidak mau melepaskan kewarganegaraan RI, klausul ini sepatutnya diatur dalam peraturan K/L tertentu sehingga instansi terkait dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Hal lain terdapat celah hukum dalam Pasal 29 UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan, yaitu menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan kewarganegaraan RI dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Agar sampai pada implementasi Pasal 29, diperlukan keaktifan dari WNI tersebut untuk mengajukan permohonan kehilangan kewarganegaraan ke pemerintah.

Kerja Sama Bilateral

Selain itu, diperlukan juga kerja sama bilateral dengan negara tertentu terkait dengan data dan informasi status kewarganegaraan.

Untuk dapat menjalin kerja sama bilateral memang membutuhkan pemantik. Diperlukan upaya dan perjalanan panjang agar dapat sampai pada nota kesepahaman (MoU). Akan tetapi, jika tidak dimulai dari sekarang, tak akan pernah terwujud.

Sebagaimana diketahui bahwa di Amerika Serikat, misalnya, status kewarganegaraan dilindungi oleh konstitusi. Terkait dengan hal ini tentu memerlukan kerja sama bilateral yang dituangkan dalam MoU. Dengan demikian, data dan informasi status kewarganegaraan WN Amerika Serikat yang melintas wilayah Indonesia terinfokan.

Untuk itu, Kemenlu bersama dengan Kemenkumham (Ditjen AHU) dapat melakukan perjanjian kerja sama (PKS) dengan pemerintah AS atau Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Terkait dengan wacana agar Indonesia menerapkan kewarganegaraan ganda. Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya ditinjau berbagai potensi kesulitan yang akan dihadapi. Tentu saja faktor benefit ekonomi tetap ada.

Secara singkat terdapat kerugian atau permasalahan bila Indonesia menerapkan kewarganegaraan ganda, antara lain hak ekonomi, politik, sosial, dan budaya antarnegara berbeda.

Hal ini dapat berdampak mengambil keuntungan di negara tertentu demi mengabaikan kerugian di negara lain.

Artinya, seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda berpeluang hanya akan mengambil hak ekonomi, politik, sosial, dan budaya (ekopolsosbud) di negara A (misalnya) yang menguntungkan baginya dan mengabaikan kewajiban ekopolsosbud di negara A.

Terdapat probabilitas yang tinggi untuk melakukan tindakan menghindari hukum sebagai warga negara.

Jika seseorang melakukan kejahatan hukum di negara pertama, yang bersangkutan dapat lari dan berlindung ke negara kedua.

Hal ini dapat menjadi sumber ketegangan baru dalam hubungan bilateral antara negara pertama dan kedua.

Terdapat ambiguitas dalam menerapkan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sebagai ilustrasi pada saat individu telah menjalankan hak dan kewajiban di negara A, kemudian bermigrasi ke negara B apakah harus melakukan hak dan kewajiban yang sama di negara B?

Hal lain aturan apa yang digunakan bila yang bersangkutan bolak balik dari negara A ke negara B dengan tujuan yang beragam.

Tidak termonitor partisipasi sosial sebagai warga negara. Paslnya, partisipasi sosial adalah hal yang abstrak tetapi mengikat tiap warga negara. Bagaimana mengukur dan menjamin bahwa partisipasi sosial telah dilaksanakan jika seseorang memiliki kewarganegaraan ganda?

Komitmen dan loyalitas yang terabaikan sebagai warga negara. Apabila seseorang memiliki kewarganegaraan ganda. Apakah pada saat yang bersamaan dia dapat menentukan komitmen dan loyalitas ke negara C dan D secara bersamaan? Tentu saja tidak, yang bersangkutan harus memilih komitmen dan loyalitas ke negara C atau D saja.

Sesuai dengan kaidah umum yang berlaku, seseorang akan cenderung lebih berkomitmen dan loyal pada negara yang menguntungkan baginya, serta berbagai akumulasi persoalan lainnya yang dapat menjadi tumpangan kepentingan bagi kedua negara.

Selain itu, dibutuhkan kesiapan ketentuan peraturan perundang-undangan di berbagai bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya terkait dengan kewarganegaraan ganda.

Hal ini menjadi tidak mudah karena aturan hukum yang akan dibuat tentu akan berdampak pada aturan hukum negara lain. Oleh karena itu, penerapan asas kewarganegaraan ganda belum dapat diterapkan dalam waktu dekat.

Agar tidak menjadi potensi persoalan baru pada masa yang akan datang atau bahkan dapat menjadi kendala baru dalam hubungan bilateral dengan negara lain, keputusan penerapan asas bipatride (kewarganegaraan ganda) memerlukan pemikiran yang matang, tidak pragmatis, dan terburu-buru.


*) Fenny Julita, S.Sos.,M.Si. adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Baca juga: Pakar: Status hilangnya kewarganegaraan WNI cukup keputusan Menkumham

Baca juga: DPR minta pemerintah perhatikan status dwi kewarganegaraan

Copyright © ANTARA 2021