Madani mengajak semua pihak yang berbicara BBN agar BBN tidak dijadikan alat untuk dikatakan sebagai solusi palsu. Madani ingin mengatakan apapun solusinya selama dapat dipikirkan secara tepat, ia mampu menjadi solusi.
Jakarta (ANTARA) - Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indarto mengatakan pemerintah perlu membuat kerangka jalan bahan bakar nabati (BBN) untuk mengurangi emisi karbon agar Indonesia dapat memenuhi komitmen iklimnya.

"Madani mengajak semua pihak yang berbicara BBN agar BBN tidak dijadikan alat untuk dikatakan sebagai solusi palsu. Madani ingin mengatakan apapun solusinya selama dapat dipikirkan secara tepat, ia mampu menjadi solusi," kata Giorgio dalam webinar "Pangan vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia", Selasa.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sampai 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai 41 persen dengan dukungan internasional. Untuk itu, menurut Giorgio, Indonesia semestinya tidak hanya bergantung pada BBN yang berbahan dasar minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

Baca juga: Sri Mulyani: Penerapan nilai ekonomi karbon butuh MRV yang akuntabel "BBN tidak hanya biodiesel, kalau hanya biodiesel, makna BBN menjadi sempit, akhirnya BBN sulit menjadi solusi perubahan iklim yang sesungguhnya. Dan agak pilih kasih ketika hanya membicarakan satu komoditas," katanya.

Selain bahan baku BBN yang masih berfokus pada CPO, Giorgio juga memandang perluasan penggunaan BBN di dalam negeri masih menghadapi masalah berupa harga yang mahal sehingga belum mampu bersaing dengan Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Kita harus mencari bagaimana BBN bersaing dengan minyak bumi. Sekarang tanpa insentif BBN lebih mahal, orang tidak mau membeli," kata Giorgio.

Baca juga: Ikhtiar dunia dan Indonesia menghadapi perubahan iklim

Di samping itu, menurutnya, tata kelola BBN sektor hulu dan hilir juga perlu dikoneksikan dengan baik. Ia mengapresiasi penguatan sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO), hanya saja sertifikasi untuk bahan baku BBN lain juga mesti dibuat.

"Saat ini juga belum ada integrated land used planning yang khusus didedikasikan untuk feedstock," katanya.

Selain rencana penggunaan lahan yang terintegrasi, pemerintah juga perlu membuat ambang batas (cap) luas perkebunan sawit di Indonesia sehingga risiko perluasan lahan perkebunan sawit dengan skema penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC) dapat diperkecil.

"Kita harus tahu kapan kita harus berhenti membuka lahan perkebunan sawit sehingga nanti stok kita tidak semakin membludak dan kita mencari serapan," terangnya.

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021