Jakarta (ANTARA News) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sitti Hikmawatty meminta penghentian pembahasan Rancangan Perubahan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional (Raperpres JKN) karena belum mengakomodasi perlindungan anak.

"Pemerintah agar menghentikan pembahasan Raperpres JKN hingga isu perlindungan anak berserta pertimbangan solusinya bisa terakomodir," kata Hikma dalam jumpa pers di kantornya Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan KPAI sudah menyurati Kementerian Kesehatan, Kemenko PMK dan Dewan Jaminan Sosial Nasional tapi belum kunjung ada tanda-tanda merespon untuk mengakomodasi perlindungan anak.

Untuk itu, dia mengatakan KPAI akan segera menyurati Presiden Joko Widodo soal pentingnya memasukkan soal perlindungan anak dalam Raperpres JKN yang telah ada di ambang penyelesaian.

Terlebih dalam beberapa Raperpres JKN itu terdapat pasal substantif yang hilang seperti Pasal 1A Perpres Nomor 111 tahun 2013.

Sebelumnya, pada pasal itu tertera "BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada Presiden.

"Belakangan, menurut Hikma, pasal itu hilang sehingga berdampak pada BPJS Kesehatan yang dapat beroperasi layaknya korporasi atau bukan sebagai badan publik," katanya.

Padahal, kata dia, BPJS Kesehatan sudah seharusnya bertindak sebagai badan publik yang hadir untuk melindungi kesehatan di tengah masyarakat bukan untuk mencari laba layaknya perusahaan asuransi.

Dia mengatakan terdapat indikasi-indikasi lain Raperpres JKN tidak mengakomodasi perlindungan anak seperti tidak ada pertimbangan hukum yang memasukkan UU Perlindungan Anak.

Terdapat kewajiban menurut UU Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

Sementara itu, kata dia, adanya wacana pembiayaan bersama (co-sharing) dalam JKN untuk penyakit anak katastropik seperti Thalasemia, kanker dan penyakit kelainan khusus lainnya memicu ketidakpastian bagi perlindungan kesehatan anak.

"Wacana `co-sharing` ini melanggar UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Konvensi Hak Anak terkait hak kelangsungan hidup, hak tumbuh kembang dan hak perlindungan," kata dia.

Raperpres JKN, kata dia, juga belum memasukkan pertimbangan hukum Inpres Nomor 8 tahun 2017 tentang optimalisasi pelaksanaan JKN di daerah yang pelaksanaannya berakhir sampai 31 Desember 2018.

Inpres itu mewajibkan negara untuk membiayai fasilitas untuk anak baru lahir yaitu fasilitas NICU/PICU.

NICU (Neonatal Intensive Care Unit) adalah ruang perawatan intensif untuk bayi yang umumnya sampai usia 28 hari.

Sementara PICU (Pediatric Intensive Care Unit) adalah fasilitas untuk anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital.

"Padahal keberadaan PICU dan NICU itu masih kurang sehingga bayi yang baru lahir dan anak-anak yang membutuhkan kerap rentan tidak tertangani dengan baik."

"Pemerintah cenderung membangun fasilitas seperti NICU dan PICU itu untuk orang dewasa karena penggunanya lebih banyak. Padahal untuk perlindungan anak jangan menggunakan pertimbangan ekonomi," kata dia.

Selain itu, Hikma menyoroti belum adanya jaminan Raperpres JKN yang mengarah pada perlindungan seluruh anak baik yang masih dalam janin ataupun yang sudah lahir tapi belum terdaftar JKN.

Menurut data BPJS Watch, terdapat 4,8 juta kelahiran per tahun sesuai perkiraan Kementerian Kesehatan.

Baru sekitar satu juta jiwa yang tercakupi JKN. Terdapat sekitar 3,8 juta kelahiran yang ada di luar sistem atau tidak terlindungi JKN.

Hikma mengatakan, Raperpres JKN juga seharusnya tidak melakukan penundaan pelaksanaan "Universal Health Coverage" yaitu capaian kepesertaan semesta. Tanpa UHC maka JKN tidak melayani seluruh masyarakat Indonesia sehingga fasilitas kesehatan bisa menolak layanan kesehatan darurat bagi masyarakat membutuhkan.

Soal sistem UU SJSN, dia mengatakan rencana penerapan sistem pembayaran tertutup (closed payment) pada perusahaan di Februari 2018 sangat merugikan perserta yang merupakan karyawan berikut anggota keluarganya, termasuk anak-anak.

Sistem pembayaran tertutup itu, kata dia, akan membuat karyawan dan keluarga mengalami ketidakpastian jaminan kesehatan saat perusahaan telat membayar premi JKN.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018