Jakarta, (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK akan menghadirkan mantan menteri negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-Djakti sebagai saksi dalam persidangan untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

"Hari ini, Senin, 16 Juli 2018, JPU KPK kembali menghadirkan sejumlah saksi dalam persidangan kasus BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung, yaitu: Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Lukita D. Tuwo, Taufik Mappaenre dan juga Mulyati Gozali," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.

Dorodjatun Kuntjoro-Djakit adalah Ketua KKSK yang mengeluarkan keputusan KKSK pada 13 Februari 2004 yang menetapkan utang petambak setinggi-tingginya Rp100 juta dan porsi unstainable debt PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) yang ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim tidak perlu dibayarkan.

Sedangkan Lukita Dinarsyah Tuwo adalah Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada periode 2002-2005. Taufik Mappaenre Maroef adalah mantan Deputi Ketua Aset Manajemen Investasi BPPN.

Dalam dakwaan disebutkan Taufik berpendapat bahwa Sjamsul Nursalim sudah menyampaikan informasi tentang utang petambak plasma kepada BPPN seperti yang tercatat dalam disclosure agreement.

Terakhir Mulyati Gozali adalah perwakilan dari PT Gadjah Tunggal Group sebagai induk perusahaan PT DCD dan PT WM. Dalam dakwaan Mulyati diketahui mengikuti sejumlah pertemuan BPPN dengan Sjamsul Nursalim.

"KPK mengajak publik untuk mengikuti bersama persidangan demi persidangan kasus BLBI ini, agar nanti hasilnya objektif dan memberi rasa keadilan pada publik. Kami duga dalam kasus ini negara dirugikan Rp4,58 triliun. Jumlah yang cukup besar, sehingga perhatian kita bersama diperlukan," tambah Febri.

Dalam kasus ini, ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2002-2004 Syafruddin Arsyat Temenggung didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua KKSK serta pemilik Bank Dagang Negarai Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun.

Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebear Rp3,5 triliun.

Namun angka Rp1,3 triliun berkurang lagi menjadi Rp1,1 triliun sebagai utang petambak plasma yang dapat ditagihkan karena perubahan utang yang harus dibayarkan dari tadinya Rp135 juta per petambak menjadi Rp100 juta dikalikan jumlah petambak yaitu 11 ribu petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta per petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.

Baca juga: Dorodjatun enggan jelaskan pemeriksaan kasus BLBI

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018