Jika saya tidak mengenal Tanah Ombak, barangkali sekarang saya sudah menjadi preman
Sumatera Barat (ANTARA News) -  "Selama ini saya berpikir kalau musim itu hanya dua, musim panas dan musim hujan, ternyata tidak," kata remaja 16 tahun itu sembari mengingat-mengingat beberapa buku yang pernah dibacanya.

Dari beberapa buku itu diceritakan bahwa di luar negeri terdapat empat musim, mulai dari musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur. Sementara selama ini ia hanya tahu pada setiap tahun hanya ada musim kemarau pada enam bulan pertama dan musim hujan pada enam bulan berikutnya.

Demikian Edo Vernando, remaja kelahiran tahun 2002 itu menceritakan salah satu pengetahuan yang ia dapatkan dari membaca buku semenjak bergabung dengan Komunitas Ruang Baca Tanah Ombak yang berada di kawasan tepian Pantai Pandang, Sumatera Barat.

Tidak hanya tentang musim yang ada di luar negeri, berbagai bahasa, budaya dan kebiasaan manusia yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara di dunia sedikit demi sedikit mulai dikenalinya.

Bergabung bersama Tanah Ombak baginya adalah sebuah keberuntungan, sebab segala pengetahuan dan pengalaman yang ia peroleh saat ini pada umumnya jarang ditemui di sekolah.

Sejak bergabung pada tahun 2014 lalu, beberapa kali Edo bersama belasan anak lainnya mulai menjajak ibu kota. Barangkali itu menjadi hal yang biasa bagi sebagian anak, tapi tidak bagi Edo dan kawan-kawan.

Terbang dengan pesawat dan kemudian dapat menginjakkan kaki di Kota Metropolitan adalah pengalaman baru, sebab selama ini ia hanya melihat Jakarta hanya dari layar televisi dan melihat pesawat terbang berlalu lalang pada langit di atas atap rumahnya.

Pengalaman menuju Jakarta kala itu ialah dalam rangka tampil dalam sebuah festival drama yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM). Selain pengalaman, dari kegiatan tersebut ia juga berkenalan dengan anak-anak yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.


Mengenali Diri di Tanah Ombak

Sebelum bergabung bersama Tanah Ombak, Edo menceritakan kesehariannya yang jauh dari idealnya aktifitas seorang anak yang hendaknya mendapatkan bimbingan dari keluarga maupun orang-orang terdekat.

Ia menceritakan, ketika masih bersekolah di SD, keseharianya hanya dihabiskan untuk berbagai aktifitas yang menurutnya tidak bermanfaat, mulai dari bermain playstation, bermain di warnet, berkelahi, mengompas anak-anak lain dan terkadang menjadi juru parkir.

"Jika saya tidak mengenal Tanah Ombak, barangkali sekarang saya sudah menjadi preman, atau bahkan menjadi pengguna obat-obatan terlarang akibat salah pergaulan," tuturnya.

Bergiat di Tanah Ombak, secara perlahan mulai merubah watak dan karakter Edo, sebagai anak yang tinggal di kawasan pantai dan perkampungan nelayan, secara tidak langsung ia terpengaruh pada kondisi kehidupan yang terkenal keras tersebut.

Lebih lanjut ia menceritakan, sebelumnya saat berbicara ia tidak pernah peduli siapa yang ia hadapi, berbicara cenderung kasar, apakah dia orang yang lebih besar atau tidak.

Beraktifitas di Tanah Ombak, lambat laun mengubah watak dan sudut pandangnya. Menurut dia, sekarang ia sudah mulai bisa menghargai orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan sudah tidak lagi berkata-kata kasar.

Edo pernah mengajak beberapa temannya yang lain untuk ikut bergabung dengan Tanah Ombak, akan tetapi banyak diantara mereka yang tidak berminat, kadang mereka hanya hadir di awal dan lama-kelamaan tidak pernah muncul lagi.

Beberapa teman itu menurutnya tetap memiliki perangai sebagaimana dulu, bahkan ia sering ditawari untuk merokok dan menghisap lem. Setelah merasa gagal untuk menyadarkan bahwa itu bukanlah perbuatan yang baik, akhirnya ia lebih memilih untuk pergi dan tidak lagi bergaul dengan mereka.

Empat tahun berkutat dengan komunitas literasi yang memberdayakan anak-anak pesisir pantai itu mulai menjadikan Edo seorang remaja yang mengerti terhadap kondisi sosial dan lingkungan sekitar, serta dapat memilih antara hal baik dan buruk untuk dilakukan.

Remaja yang menggemari novel-novel karya penulis Tere Liye, Pidi Baiq dan Habiburrahman El Shirazy itu menyebutkan kalau dulu dirinya yang diajarkan, tapi saat ini ia sudah bisa membantu untuk mengajari anak-anak lain.


Belajar Sambil Bermain

Bercerita tentang Edo, salah seorang pegiat di Tanah Ombak, Robby W Riyodi menuturkan bahwa Edo merupakan salah satu anak yang memiliki karakter yang unik dan terbilang cerdas.

Ia menceritakan, awal kedatangan Edo ke Tanah Ombak sama sekali berbeda dengan Edo yang ada saat ini. Pada periode awal tersebut, ia dikenal sebagai biang masalah di antara anak-anak lain.

"Dulu, jika sedang ada kegiatan, lalu ada keributan, maka biangnya adalah Edo," katanya.

Lebih lanjut, Robby yang kerap disapa Obe itu menceritakan, di luar saat-saat belajar bersama anak-anak lain, ia sering mendapati Edo datang sendiri ke Tanah Ombak, disana dia mulai membaca dan mempelajari apa yang membuatnya tertarik.

Bukanlah hal mudah bagi Obe untuk mengubah karakter dan perilaku anak-anak yang besar di kawasan Purus tersebut, setiap anak menurutnya mempunyai karakter dan permasalahan yang sama sekali berbeda antara satu dan lainnya.

Untuk itu ia mulai mendekati anak-anak tersebut dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah dengan cara bermain, setelah anak-anak tersebut mulai merasa nyaman, perlahan barulah mereka dapat diberikan pelajaran.

Menurut dia, persoalan pada anak-anak di kawasan tersebut adalah kurangnya perhatian keluarga, sehingga banyak anak yang perilakunya tidak terkontrol dan bahkan cenderung mengarah pada perilaku negatif.

Anak-anak pada usia tersebut masih sangat membutuhkan perhatian dan pengawasan, terutama dari pihak keluarga, akan tetapi hal tersebut tidak dapat berjalan karena berbagai faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi.

Mata pencarian masyarakat di sekitar daerah itu pada umumnya adalah nelayan, kehidupan perekonomian cenderung susah, sehingga orang tua dari anak-anak tersebut harus bekerja keras untuk mencari nafkah sehingga berkurangnya perhatian kepada anak.

Ia menuturkan, berangkat dari hal tersebut maka hal pertama yang dilakukannya adalah memberikan perhatian kepada mereka, jadi apa yang tidak mereka dapatkan di rumah dapat mereka dapatkan di Tanah Ombak.

Metode tersebut terbilang efektif baginya untuk melakukan pembinaan. Pada dasarnya mereka adalah anak yang cerdas dan hal tersebut mulai terlihat ketika mereka mulai merasa nyaman dan bersungguh-sungguh untuk belajar.

Dalam latihan drama, Obe menyebutkan, mereka tidak butuh waktu lama untuk menghafal dialog, bahkan pelatih atau relawan yang malah kewalahan menghadapi mereka yang begitu aktif.

Selain itu, hukuman yang diberikan kepada seorang anak yang bersalah juga cukup unik, mereka diharuskan membaca buku, dan mencari kesalahannya pada salah satu buku yang ditentukan.?

"Bahkan suatu ketika, ketika saya melakukan kesalahan, Edo pernah meminta saya untuk kembali membaca sebuah buku," katanya.

Saat ini terdapat lebih kurang 30-an anak yang sering datang untuk beraktifitas di Tanah Ombak, usia mereka beragam, mulai dari 7 hingga 17 tahun.

Di Tanah Ombak, hal utama yang menjadi sasaran adalah pembentukan karakter anak, hal tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan, mulai dari bermain, kesenian serta membaca.


Berawal dari Aktifitas Kesenian

Tanah Ombak, gerakan literasi yang juga membentuk karakter anak-anak pesisiran pantai tersebut pada awalnya merupakan gerakan kesenian.

Salah seorang penggagas Tanah Ombak, Syuhendri menyebutkan, keberadaan Tanah Ombak pada awalnya adalah sebuah aktifitas kesenian dalam bidang drama yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat

Sebelumnya saya bersama grup Teater Noktah selalu berkegiatan di Taman Budaya Sumbar, dengan penonton dari kalangan akademisi, mahasiswa atau para penikmat seni. Akan tetapi kemudian ia berusaha untuk mencoba hal baru, yaitu berkegiatan di tengah masyarakat umum.

Menurutnya, kesenian tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu, tapi semua orang, dengan demikian ia mulai mengarahkan kegiatannya kawasan Purus, tempat komunitas saat ini berada.

Lebih lanjut ia menceritakan dirinya sengaja melibatkan anak-anak, karena orang dewasa di daerah tersebut tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan lain, lantaran kebutuhan hidup sehari-hari membuat mereka lebih mendahulukan mencari nafkah dari pada hal lain.

"Selain itu, kenapa anak-anak yang dilibatkan, karena pembentukan karakter dan mental hendaknya dimulai dari dini," katanya.

Seiring berjalannya waktu, melihat antusiasme anak-anak di daerah tersebut maka lama kelamaan aktifitas kesenian itu mulai mengarah pada kegiatan literasi dengan sasaran membentuk mental dan karakter anak untuk jadi lebih baik.

Edo sebagai salah seorang anak yang telah bergabung sedari awal menyadari betapa banyaknya pendidikan informal yang ia peroleh di Tanah Ombak berdampak pada kepribadiannya.

"Kadang saya berjalan bersama Vespa Pustaka, di sana saya terkadang ikut mengajari anak lain membaca, terkadang saya yang membacakan. Bisa bermanfaat bagi orang lain cukup memberikan kepuasan tersendiri bagi saya yang awalnya tidak tahu apa-apa," katanya.



 

Pewarta: Syahrul Rahmat
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018