UI sedang berlari memperluas network dengan kampus-kampus di Asia, Eropa dan benua lainnya
Depok, Jawa Barat, (ANTARA News) - Universitas Indonesia diakui sebagai perguruan tinggi riset dunia setelah peringkatnya berhasil meningkat masuk dalam kelompok 601- 800 dunia versi Lembaga Pemeringkatan Perguruan Tinggi Dunia Times Higher Education (THE).

Saat ini performa Universitas Indonesia (UI) terus membaik, tampak dari penilaian lembaga pemeringkatan bergengsi dunia Times Higher Education.

"UI tengah fokus meningkatkan kapasitas dan kualitas riset serta inovasi dan pengabdian masyarakat. Selain itu UI sedang berlari memperluas network dengan kampus-kampus di Asia, Eropa dan benua lainnya," kata Rektor UI Prof Muhammad Anis.

Anis mengatakan pencapaian ini bukan milik UI saja melainkan juga prestasi bangsa bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah diakui oleh dunia.

Sebagai lokomotif perguruan tinggi di Indonesia, UI akan maju menjadi perguruan tinggi yang mampu berkontribusi lebih untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya saing nasional di tingkat global, mempromosikan inovasi dan kewirausahaan serta mengatasi tantangan sosial.

Lembaga Pemeringkatan Perguruan Tinggi Dunia Times Higher Education (THE) kembali merilis daftar World University Rankings (WUR) 2019 pada Rabu (26/9) malam melalui laman https://www.timeshighereducation.com.

UI menjadi satu-satunya perguruan tinggi dari Indonesia yang masuk ke dalam grup ini dimana sebelumnya pada THE WUR 2018, UI menduduki kelompok peringkat 801 - 1.000. Sebanyak 1.258 Perguruan Tinggi di 86 negara di dunia yang masuk ke dalam Pemeringkatan THE WUR 2019.

Ini adalah tahun ketiga negara Indonesia masuk ke dalam pemeringkatan THE. Lembaga pemeringkatan ini secara konsisten menitikberatkan indikator penilaian berdasarkan Performa Pengajaran (kegiatan belajar mengajar), Penelitian, Transfer dan Sharing Keilmuan serta Cakupan Internasional sebuah universitas.

Riset dan inovasi

UI terus mengembangkan riset, misalnya melalui Tropical Renewable Energy Center Fakultas Teknik Universitas Indonesia (TREC FT UI) yang meluncurkan hasil risetnya yaitu Sebuah Rumah Masa Depan dengan Sistem Listrik Dual Power Pertama di Indonesia.

Rumah bernama Sofwan House TREC FTUI ini menerapkan teknologi pembangkit listrik ramah lingkungan yang handal.

Direktur TREC FT UI Dr-Ing Eko Adhi Setiawan mengatakan rumah yang terbuat dari kontainer ini dirancang sedemikian rupa agar kebutuhan listriknya dapat dipenuhi sendiri dan listrik dari PLN hanya dijadikan cadangan saja.

Listrik tersebut dihasilkan dari teknologi fuel cell (sel bahan bakar) dan solar cell (panel surya).

Listrik yang dibangkitkan dari sistem dual cell tersebut kemudian disalurkan ke baterai lalu dinaikkan tegangannya melalui perangkat yang disebut DCON dari 48 volt menjadi 230 volt DC tegangan searah.

Listrik keluaran alat ini kemudian digunakan untuk menyalakan berbagai peralatan listrik rumah tangga, dimana biasanya peralatan rumah tangga menggunakan tegangan listrik bolak balik (alternating current).

Perangkat berkapasitas 2500 sampai 4000 watt dapat digunakan untuk 1-3 rumah perkotaan.

"Alat ini merupakan inovasi dan terobosan teknologi, sehingga kedepannya dapat lebih mengoptimalkan penggunaan listrik dari energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin," jelas Eko.

Diharapkan teknologi ini dapat menjadi solusi dan terobosan atas sistem model rumah masa depan dengan teknologi pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan handal.

Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) Hendri D.S. Budiono mengatakan teknologi DC-ON dikembangkan karena listrik DC terbukti lebih stabil dan dapat dibangkitkan langsung oleh panel surya yang dipasang di atap rumah sehingga tidak terjadi perubahan konversi energi listrik dari DC ke AC yang menggunakan inverter yang sudah umum digunakan.

Alat DCON ini belum ada di pasaran, oleh karena itu hasil penelitian ini ke depannya akan menjadi teknologi alternatif bagi para pengguna energi terbarukan agar sistem kelistrikannya menjadi lebih efisien dan lebih terjangkau harganya.

Riset untuk masyarakat

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir berharap inovasi dan riset yang dikembangkan harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Inovasi tidak akan lahir tanpa adanya riset dan pengembangan. Perlu terus mendorong agar akademisi terus melakukan riset dan pengembangan.

Berdasarkan data inovasi pada 2014 hanya ada 15 inovasi, kemudian pada 2015 meningkat menjadi 52. Kemudian pada 2016, juga meningkat menjadi 202. Selanjutnya pada 2017 terus meningkat menjadi 661.

Inovasi sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk sehingga dapat memiliki nilai jauh lebih tinggi.

Wakil Rektor III Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia, Rosari Saleh mengungkapkan produk paten hasil penelitian para dosen di kampus yang berjuluk `We Are The Yellow Jacket` ini masih minim diserap oleh industri.

"Dunia industri dalam negeri lebih memilih membeli paten dari luar dibanding produk lokal," katanya.

Untuk mendapatkan paten atau HAKI untuk sebuah penelitian atau inovasi melalui jalan panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit.

Saat awal mendaftar untuk mendapatkan paten dari Kementerian Hukum dan HAM maka dilakukan pendaftaran drafting atau paparan rinci mengenai inovasi atau penelitian.

Perlu dana untuk mendaftarkan drafting rata-rata Rp10 juta.

Dari drafting menuju sertifikasi paten atau HAKI pun memakan waktu sekitar dua sampai tiga tahun.

Setelah mendapatkan paten harus membayar biaya pemeliharaan paten tersebut Rp5 juta per tahun selama minimal 20 tahun. Untuk perguruan tinggi negeri, pemerintah memberikan gratis biaya pemeliharaan selama lima tahun.

Setelah itu, harus melanjutkan pembayaran pemeliharaan paten untuk 15 tahun kemudian. Jika komersialisasi paten itu berhasil diserap industri tentu bisa jadi kita untung. Tapi kalau minim penyerapan, tentu ini jadi tantangan pendanaan tersendiri.

Sebagai perguruan tinggi riset, Universitas Indonesia tidak bisa tinggal diam menyiasati waktu lama dan biaya pembuatan paten dan terus memotivasi para peneliti untuk tidak berhenti berkarya. Walaupun bagi dosen-dosen waktu menunggu paten yang lama ini membuat prosesnya kurang menarik untuk diikuti.


 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018