Jakarta (ANTARA) - Indonesia dan Kamboja secara historis telah memiliki pertalian kebudayaan sejak masa Dinasti Syailendra berkuasa pada zaman kerajaan Mataram di Jawa dan Dinasti Jayawarman II pada masa Kerajaan Angkor di Kamboja.

Jayawarman II diketahui pernah tinggal di Jawa dan kembali ke Kamboja untuk mempersatukan Kamboja yang terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.

Candi Borobudur di Jawa yang selesai dibangun pada awal abad ke-9 sering dianggap memiliki pertalian budaya dengan Candi Angkor Wat yang dibangun saat masa Dinasti Jayawarman II pada abad ke-12.

Oleh karena itu, kedua negara memiliki warisan purbakala serupa yang didaulat sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, yakni candi Borobudur dan Angkor Wat.

“Indonesia punya banyak kesamaan budaya dengan Kamboja, seperti peninggalan sejarah yang mirip-mirip, yakni keberadaan Borobudur dan Angkor Wat dan adanya masyarakat Budha di masing-masing negara. Angkor Wat itu dibangun awalnya pada masa Hindu lalu terjadi pergantian dinasti lalu diubah menjadi candi Budha,” kata Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman Haseng.

Kerja sama budaya

Pertalian dan kesamaan budaya antara Indonesia-Kamboja itu telah mendorong adanya kolaborasi budaya antara kedua bangsa yang terus berlangsung hingga sekarang melalui berbagai kerja sama budaya.

Penandatanganan MoU Kerja Sama Kebudayaan RI-Kamboja pada 26 Februari 2009 menjadi payung hukum dalam menumbuhkembangkan kerja sama kebudayaan antarkedua negara, baik dalam konteks bilateral maupun dalam kerangka kerja sama pengelolaan warisan budaya dunia.

Indonesia yang berpengalaman dalam proyek pemugaran candi Borobudur, telah meminjamkan keahliannya dalam upaya pelestarian Angkor. Indonesia termasuk salah satu negara yang memberikan bantuan dalam proyek restorasi Angkor Wat.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah provinsi Siem Reap pada 2007 telah menandatangani MoU Sister Temple Province untuk bekerja sama mengelola candi Borobudur dan Angkor Wat serta kerja sama meliputi bidang pariwisata, kebudayaan, pendidikan, investasi, industri, dan perdagangan.

Selanjutnya, kegiatan Seminar on the Establishment of Sister Sites of Borobudur and Angkor Wat World Cultural Heritages di Siem Reap pada Desember 2009 menghasilkan kesepakatan antara otoritas Candi Borobudur dan Angkor Wat untuk melakukan promosi bersama, termasuk gagasan penjualan paket wisata Borobudur-Angkor di berbagai ajang internasional.

Dalam perkembangannya, KBRI Phnom Penh memfasilitasi pertemuan antara PT Taman Wisata Candi Prambanan dan Ratu Boko (TWC) ke Siem Reap pada Agustus 2018 untuk bertemu dengan Kementerian Pariwisata Kamboja untuk menjajaki kerja sama Twin World Heritage between Borobudur-Angkor Wat.

Kerja sama itu bila terwujud diharapkan dapat meningkatkan arus wisatawan, khususnya dengan menghubungkan kemiripan Candi Borobudur–Angkor Wat.

Dubes Sudirman menyebutkan bahwa salah satu target utama dalam kerja sama di bidang kebudayaan Indonesia-Kamboja adalah mengembangkan lebih lanjut kerja sama antara Angkor Wat dan Borobudur untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Borobudur.

“Maka perlu suatu strategi agar pengunjung mancanegara yang ke Angkor Wat juga pergi ke Borobudur, atau masyarakat Kamboja yang berkiblat ke Angkor Wat, bisa kita tarik agar kiblat keduanya ke Borobudur,” ujarnya.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Puan Maharani saat menghadiri acara Peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Kamboja menyampaikan harapan serupa mengenai realisasi kerja sama wisata Borobudur-Angkor Wat.

"Saya berharap kunjungan saya ke Kamboja dapat lebih mendorong implementasi nyata MoU Indonesia-Kamboja tentang kerja sama budaya dan MoU Sister Temple Province," kata Puan.

Selain kerja sama untuk pengelolaan candi, kedua negara juga bekerjasama untuk kegiatan Trail of Civilization (ToC). Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan ToC dan telah menjadi sekretariat sementara ToC sejak putaran pertama di Yogyakarta.

ToC pada 2010 di Kamboja telah menghasilkan Siem Reap Road Map 2010-2015 yang mencakup, antara lain kerja sama pariwisata (pertukaran program, konservasi, dokumentasi, manajemen), pengembangan produk (paket wisata, koneksitas akses, bursa budaya), pemasaran dan promosi (festival budaya dan film, pameran foto, publikasi), kelitbangan dan kerja sama antarsektor swasta.

Kerja sama budaya kedua negara juga diwujudkan dalam pendirian Sekolah Persahabatan Indonesia-Kamboja di Prey Veng pada 1995 yang didanai oleh pihak swasta Indonesia. Sekolah itu bertujuan untuk meningkatkan kerja sama pendidikan.

Selanjutnya, untuk memaksimalkan promosi seni budaya di Kamboja, KBRI Phnom Penh berkoordinasi dan mencari dukungan kementerian terkait untuk mendatangkan tim kesenian profesional dari Indonesia.

Pada April 2018, KBRI bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI menampilkan tim kesenian Indonesia pada International Youth Educational and Cultural Festival (IYECF) di Siem Reap.

Diplomasi budaya

Dalam upaya mendorong people-to-people contact  kedua negara, KBRI Phnom Penh melalui soft diplomacy  dalam hal ini diplomasi budaya, memanfaatkan berbagai kegiatan budaya untuk meningkatkan interaksi antarmasyarakat Indonesia dan Kamboja.

"Hubungan budaya ini banyak efeknya untuk meningkatkan people-to-people contact yang pada gilirannya dapat membantu membangun jejaring untuk berbagai kerja sama, terutama bisnis," kata Made Santi Ratnasari, Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI Phnom Penh.

"Ini merupakan 'soft power diplomacy'. Diplomasi budaya itu diplomasi yang paling indah karena tidak harus gontok-gontokan di meja negosiasi," ujar Santi.

Diplomasi budaya Indonesia di Kamboja salah satunya dilakukan melalui Pusat Budaya Indonesia (Pusbudi) Nusantara yang didirikan pada 2007 di Phnom Penh.

Kegiatan Pusbudi Nusantara dilakukan secara berkala selama 12 bulan kepada masyarakat umum Kamboja yang tertatirk untuk mempelajari seni budaya dan bahasa Indonesia.

Kegiatan yang dilaksanakan di Pusbudi meliputi Kelas Bahasa Indonesia selama lima hari dalam sepekan yang terbagi dalam kelas pagi dan kelas sore; kegiatan berlatih memainkan alat musik tradisional Indonesia, seperti angklung dan kolintang; serta latihan tari-tarian tradisional Indonesia sebanyak tiga kali dalam sepekan.

"Sejak 2010 Pusbudi mengadakan kelas belajar main alat-alat musik tradisional Indonesia, seperti angklung, kolintang, dan gamelan. Ada yang dari belajar bahasa Indonesia lalu berminat belajar musik dan tari tradisional Indonesia," ungkap Roland Uly Uju, salah satu pengajar di Pusbudi Nusantara.

Menurut Roland, kelas alat musik tradisional itu merupakan "senjata" yang ampuh untuk mempromosikan budaya Indonesia. "Pada 2012, ada warga Kamboja yang berminat main gamelan. Dia ikut program darmasiswa ke Solo dari karawitan, jadi sekembali dari sana dia mulai lanjut belajar gamelan disini," katanya.

Dengan adanya keberadaan Pusbudi Nusantara, KBRI pun dapat melakukan efisiensi dana dengan mengerahkan peserta didik yang cukup terampil untuk membawakan seni tari dan musik tradisional Indonesia dalam misi-misi kesenian KBRI dan partisipasi pada kegiatan pemerintah setempat di Kamboja.

Menurut catatan KBRI Phnom Penh, pada tahun 2018, terdapat peningkatan sekitar lima persen jumlah peserta didik baru Pusbudi dari tahun 2017 yang berjumlah 817 orang. Sejak didirikan pada 2007, Pusbudi Nusantara telah memiliki 859 peserta didik yang saat ini telah menggeluti karir profesional di bidang yang berbeda-beda sehingga dapat menjadi jejaring kuat dalam mendukung kelancaran berbagai kegiatan diplomasi KBRI.

"Banyak dari mereka yang belajar bahasa dan budaya Indonesia di Pusbudi bekerja di berbagai institusi berbeda-beda. Kita menjadikan mereka sebagai jejaring untuk hubungan kita ke Kamboja. Mereka bisa bahasa Indonesia, otomatis bisa lebih paham kita, kenal kita, dan tahu budaya kita," ujar Santi.

Kolaborasi budaya

Kedekatan dan kerja sama budaya yang terjalin antara Indonesia dan Kamboja pun akhirnya membuahkan suatu kolaborasi budaya indah yang ditampilkan dalam kegiatan Indonesia-Cambodia Friendship Joint Cultural Performance untuk merayakan peringatan 60 tahun hubungan diplomatik kedua negara.

Kegiatan Joint Cultural Performance itu diisi dengan kolaborasi pertunjukan budaya yang terdiri dari tarian dan nyanyian Indonesia dan Kamboja yang disajikan oleh Balet Kerajaan Kamboja, tarian tradisional Indonesia yang dibawakan oleh kelompok tari Kinarya Gencar Semarak Perkasa yang dibentuk oleh Guruh Soekarno Putra.

Selain itu pertunjukan musik dari Pusat Kebudayaan Indonesia di Kamboja (Pusbudi Nusantara) dan Mini Chamber Orchestra yang disusun oleh pianis Indonesia di Kamboja, Metta Legita.

Beberapa lagu Indonesia yang ditampilkan dalam Pertunjukan senior budaya itu, antara lain Bengawan Solo serta Madu dan Racun. Ada juga pertunjukan angklung dan kolintang yang dibawakan oleh peserta Pusbudi Nusantara.

Sementara itu, beberapa tarian tradisional Indonesia yang turut ditampilkan, antara lain tari Gending Sriwijaya, tari Trenggo Taruna, tari Gandrung Sekar Dewi, tari Topeng Kelana, dan tari Lenggang Seri Kencana.

Acara pertunjukan kolaborasi budaya Indonesia-Kamboja yang diadakan pada Rabu (13/2) di Phnom Penh itu bahkan dihadiri oleh Raja Kamboja Preah Bat Samdech Preah Boromneath Norodom Sihamoni.

"Ini merupakan pertunjukan budaya bersama terbesar antarkedua negara. Indikasinya, Raja Kamboja Norodom Sihamoni berkenan hadir," ujar Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman Haseng.

Dia mengatakan bahwa KBRI Phnom Penh selalu berupaya mengadakan kegiatan dan menjalin kerja sama budaya yang dapat mendorong aksi saling kenal antaramasyarakat Indonesia dan Kamboja.

Harapannya kerja sama kebudayaan yang dijalin kedua negara dengan berbagai kegiatannya dapat meningkatkan interaksi antarmasyarakat, dan pada gilirannya dapat meningkatkan kerja sama konkret di berbagai bidang lainnya guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan Kamboja. 

Baca juga: Menakar perkembangan dan peluang hubungan ekonomi Indonesia-Kamboja

Baca juga: Menilik perkembangan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Kamboja


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019