Jimbaran (ANTARA) - Kalangan akademisi memaparkan sejumlah rekomendasi pengembangan mobil listrik di Indonesia, di antaranya fokuskan penerapan teknologi hibrid, plug in hybrid, maupun baterai pada dua jenis kendaraan terlaris yaitu mobil serba guna (MPV) dan sport (SUV).

"Pasar kendaraan kita didominasi MPV sekitar 32 persen dan SUV 17," kata Ketua Tim Teknis Mobil Listrik Nasional (Molina) Agus Purwadi pada pemaparan kesimpulan hasil Riset Komprehensif Electrified Vehicle dengan Melibatkan Perguruan Tinggi, di Jimbaran, Selasa.

Ia mengatakan MPV merupakan kendaraan yang cocok dengan selera masyarakat Indonesia karena bisa memuat banyak penumpang dan SUV yang selain semakin disukai masyarakat Indonesia juga merupakan tren dunia. Karena itu, lanjut dia, kedua jenis tersebut paling tepat dikembangkan untuk program mobil listrik atau electrified vehicle.

"Toyota Prius itu walaupun bagus, tidak cocok untuk pasar Indonesia, karena harganya 'middle up'. Indonesia yang sejuta umat, seperti Avanza," katanya.

Pengembangan teknologi listrik baik berbasis hibrid, plug in hybrid, maupun baterai, untuk MPV dan SUV, menurut dia, juga akan menyelesaikan problem borosnya pemakaian BBM untuk transportasi di Indonesia.

Agus juga menyebut bahwa pengembangan mobil listrik berbasis teknologi hibrid lebih tepat saat ini, sebelum langsung ke teknologi kendaraan berbasis listrik penuh yang menggunakan baterai (battery electric vehicle/BEV) mengingat infrastruktur stasiun pengisian listrik umum (SPLU) belum masif dan pengisian baterai mobil listrik di rumah juga belum siap.
Jajaran akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Udayana, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Indonesia (UI) pada pemaparan Laporan Akhir Fase II Riset Komprehensif Electrified Vehicle di Jimbaran, Bali, Selasa. (ANTARA/Risbiani Fardaniah)


"Riset kami, kalau langsung ke BEV maka dampaknya tidak besar, hanya 6,4 persen pemakainya, karena infrastrukturnya belum siap," katanya.

Ia juga meminta agar pengembangan mobil listrik juga fokus pada harga yang terjangkau, mulai dari Rp200 jutaan.

"Kalau itu bisa, pasti permintaannya luar biasa. Kalau harganya (mobil listrik) Rp600 jutaan tidak banyak yang beli," kata Dosen Teknik Elektro ITB itu.

Sementara itu, Akademisi dari LPEM UI Riyanto mengatakan mobil listrik dengan teknologi hibrid (hybrid electric vehicle/HEV) dan plug in hybrid electric vehicle (PHEV) memiliki keunggulan dalam biaya operasional dibanding mobil konvensional berbasis bensin maupun BEV.

"Keunggulan BEV biaya perawatannya paling murah, begitu juga dengan biaya sosialnya, karena paling rendah emisi karbonnya," kata Riyanto.
 
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Harjanto (kanan) bersama Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dah Alat Pertahanan Kemenperin Putu Juli Ardika (kiri) diwawancarai di sela-sela pemaparan Lsporan Akhir Riset Komprehensif Electrified Vehicle di Jimbaran, Bali, Selasa (ANTARA/Risbiani Fardaniah)


Menanggapi hasil riset itu, Dirjen Industri Logam Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan hasil riset para perguruan tinggi tersebut akan menjadi masukan bagi pemerintah khususnya Kemenperin, dalam membuat kebijakan pengembangan mobil listrik.

"Kami berharap riset ini tidak berhenti pada cost and benefit maupun efisiensi BBM mobil listrik, tapi juga lokalisasi komponennya untuk kedalaman struktur industri otomotif nasional," katanya.

Riset Komprehensif Electrified Vehicle yang diprakarsai oleh Kemenperin bersama Kementerian Riset dan Dikti, serta didukung oleh Toyota Indonesia itu melibatkan enam perguruan tinggi yaitu Universitas Indonesia (UI), ITB, Universitas Gajah Mada ( UGM), ITS, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Udayana (UNUD).

Baca juga: Terinspirasi Jeju Island, Bali bakal jadi contoh program motor listrik

Pewarta:
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019