Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa kata "nasional" dalam frasa "bencana alam nasional" pada UU 31/1999 (UU Tipikor) tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak bertentangan dengan gagasan negara hukum.

"Terhadap konstruksi logika tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa para pemohon telah menggantungkan pemenuhan gagasan negara hukum semata-mata pada ihwal dapat dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Senin.

Mahkamah berpendapat hal itu berarti konstitusional atau tidak konstitusionalnya suatu ketentuan yang mengatur sanksi pidana bagi koruptor dana penanggulangan bencana alam lalu digantungkan pada syarat dapat atau tidak dapat diberlakukannya pidana mati.

Menurut Mahkamah logika tersebut membawa konsekuensi logis berikutnya, yaitu bahwa tanpa perlu memandang atau mempertimbangkan besar kecilnya bencana alam atau serius tidaknya akibat dari bencana alam, pidana mati harus dapat diberlakukan bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang digunakan untuk menanggulangi bencana alam itu.

"Sebab hal itulah yang sesuai dengan gagasan negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," jelas Suhartoyo.

Atas dasar alasan tersebut Mahkamah kemudian memutuskan untuk menolak permohonan pengujian UU Tipikor yang diajukan oleh sejumlah aktivis.

Mengenai kedudukan hukum para pemohon yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah menilai tidak adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

"Sebab keberlakuan ketentuan tersebut sama sekali tidak menghalangi para pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara," pungkas Wahiduddin Adams.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019