Kuala Lumpur (ANTARA) - Bagi anak-anak pekerja Indonesia, terkadang pendidikan merupakan barang mewah. Sebab, tanpa kejelasan status karena tidak memiliki dokumen, sehingga anak-anak tersebut tidak bisa memperoleh akses pendidikan formal di Semenanjung Malaysia.

Anak-anak para pekerja ini sehari-hari tanpa penjagaan dan pengawasan. Ayah dan ibu mereka harus bekerja dengan waktu yang terkadang tidak menentu.

Usia anak-anak tersebut tak terasa sudah mencapai belasan tahun. Namun, banyak di antaranya yang belum bisa membaca, menulis maupun berhitung (calistung).

Tanpa ilmu dan keahlian, anak-anak pekerja Indonesia yang lahir tanpa dokumen dan terlanjur memasuki usia remaja, tidak punya banyak pilihan, dan akhirnya bekerja seadanya.

Kondisi seperti itu yang oleh Ketua Komite Sekolah di Sekolah Indonesia Johor Bahru (SIJB), Mulyono, sebut seperti kutukan. “Tapi itu tak baik lah. Maksudnya, ada potensi yang masih bisa diusahakan (untuk mengubah nasib anak-anak PMI di Malaysia),” ujar Mulyono.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru sungguh luar biasa karena telah menyediakan SIJB. Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di Johor Bahru, menurut dia, begitu bersyukur, karena sebelum sekolah itu berdiri di 2014, anak-anak mereka di sana buta huruf.

  Ketua Komite Sekolah di Sekolah Indonesia Johor Bahru Mulyono ditemui di Johor Bahru, Malaysia, Minggu (4/12/2022). (ANTARA/Virna P Setyorini)


“Bagi saya adanya SIJB ini akan memutus mata rantai bahwa anak TKI harus jadi TKI. Dengan keberadaan sekolah ini, apalagi kalau ada beasiswa, jadi bisa masuk ke mana-mana,” kata Mulyono.

Sama dengan kebanyakan pekerja Indonesia di Malaysia, Mulyono juga masih menggunakan istilah TKI, meski istilah Tenaga Kerja Indonesia sudah berubah menjadi Pekerja Migran Indonesia, disesuaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Ayah dua anak yang sudah bekerja lima tahun di Malaysia itu lalu mengungkapkan,  seandainya saja saat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meresmikan gedung baru KJRI Johor Bahru dan SIJB pada pertengahan Oktober 2022 lalu, dirinya bisa turut hadir. Dia ingin sekali menyampaikan usulan agar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengadakan program beasiswa yang benar-benar khusus untuk anak-anak TKI.

Baca juga: MAN 2 Makassar peragakan "soccer robot" IoT ke murid sekolah Indonesia di Johor
 


“Supaya ada lah kebanggaan dari TKI, anaknya mungkin ada yang jadi diplomat, atau bisa sekolah di luar negeri. Kalau boleh bertemu, saya ingin sampaikan itu. Kemenlu harus mencari solusi, setidaknya memudahkan bagi anak-anak TKI untuk bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi,” kata Mulyono.

Namun, ia bersyukur manakala Konsul Jenderal (Konjen) RI Johor Bahru, Sigit S Widiyanto, menyampaikan sudah mulai ada sekolah di Indonesia yang membuka pintu bagi anak-anak lulusan SIJB, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA hingga perguruan tinggi.

“Jadi harapannya kutukan itu hilang. Anak TKI jadi TKI, itu tak lagi,” ujar Mulyono dengan campuran logat Melayu.


Murid SIJB

Peserta didik di SIJB semakin hari semakin bertambah. Jika awalnya di Tahun Ajaran 2013/2014 hanya ada 14 anak yang belajar bersama di salah satu ruang KJRI Johor Bahru, lima tahun berikutnya 201 anak belajar bersama di dalam kontainer yang disulap menjadi ruang-ruang kelas.

Dari data KJRI Johor Bahru, angka tersebut terus bertambah, hingga pada Tahun Ajaran 2022/2023 totalnya menjadi 297 anak, yang terdiri dari 216 murid SD dan 81 duduk di jenjang SMP, diajar oleh 17 guru.

Sebanyak 60 anak lahir di Indonesia, sedangkan 237 lainnya lahir di Malaysia. Semua murid memang memiliki ibu WNI, namun sekitar 50-an anak memiliki ayah berkewarganegaraan Malaysia, Bangladesh, Myanmar dan Nepal.

Ibu mereka berasal dari 19 provinsi berbeda di Indonesia, dan terbanyak berasal dari Jawa Timur yang mencapai 123 orang, diikuti Jawa Tengah mencapai 49 orang, lalu Sumatera Utara sebanyak 20 orang.

  Grafik batang peserta didik Sekolah Indonesia Johor Bahru Tahun Ajaran 2013/2014 hingga 2022/2023. (ANTARA/Sumber: KJRI Johor Bahru/SIJB)


Sisanya, ada yang berasal dari Aceh, Bengkulu, Yogyakarta, Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, NTB dan NTT.

Mereka merupakan anak-anak dari pekerja Indonesia yang bekerja di berbagai sektor formal maupun informal di Malaysia, mulai dari buruh, wiraswasta, pekerja pabrik, cleaner, guru, satpam, hingga pegawai pemerintahan setempat, dengan kisaran penghasilan antara 750 ringgit Malaysia (RM) hingga di atas RM2.000 per bulan.

Baca juga: Sanggar tari Bheksa Buana SIJB kenalkan tari tradisional ke murid asing di Malaysia
 


Jika menggunakan kurs RM1 saat ini yang setara dengan Rp3.543, artinya penghasilan mereka mencapai kisaran Rp2,657 juta hingga lebih dari Rp7,086 juta per bulan.

Namun, ada pula dari ayah dan ibu mereka yang tidak bekerja, sehingga tidak berpenghasilan. Setidaknya ada 30 murid di sana yang memang memerlukan bantuan karena penghasilan orang tua mereka kurang dari RM2.000 per bulan.


Peran KJRI dan SIJB

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Demikian bunyi Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Maka keberadaan sebuah fasilitas pendidikan yang memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali, sama halnya mereka sedang mewujudkan Hak Asasi Manusia.

Kepala Sekolah Indonesia Johor Bahru, Mohammad Rizali Noor, mengatakan, SIJB hadir dengan konsep, visi dan misi sebagai sekolah yang memberikan ilmu, perlindungan sekaligus memajukan diplomasi budaya bagi anak-anak WNI di Malaysia.

Sebagai tempat menuntut ilmu, SIJB menjalankan kurikulum merdeka yang memberikan pembelajaran berbasis proyek, fokus pada materi esensial, serta pengembangan karakter. Caranya dengan mendidik agar siswa berprestasi, menuntut siswa berkeimanan kuat, membimbing siswa berkarakter, serta membina jiwa dan raga siswa agar sehat.
  Murid-murid melaksanakan ujian keterampilan di Sekolah Indonesia Johor Bahru, Malaysia, Senin (5/12/2022). (ANTARA/Virna P Setyorini)


SIJB juga menjalankan fungsi perlindungan dengan memberikan dokumen legal bagi anak-anak PMI. Upaya agar 100 persen siswa memiliki surat lahir itulah yang sedang dilakukan melalui Pelayanan Dokumen dan Data Siswa (Pandawa), ujar Rizali yang juga merupakan Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial Budaya KJRI Johor Bahru.

Melalui KJRI, mereka memberikan fasilitas repatriasi siswa dengan memberikan dokumen yang diperlukan untuk dapat kembali ke Tanah Air dan melanjutkan pendidikan mereka.

Sebagian besar dari anak-anak tersebut dapat melanjutkan pendidikan di Indonesia karena sudah ada kerja sama beasiswa yang diupayakan Perwakilan RI di Johor Bahru dengan sekolah di Tanah Air.

Selanjutnya, untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka di masa depan, SIJB mencoba memberdayakan ekonomi orang tua siswa. Produk-produk yang orang tua murid hasilkan, diberikan akses pasar di sekolah, dan harapannya juga bisa menjangkau pasar yang lebih luas.

Terakhir, misi diplomasi budaya melalui Sanggar Bheksa Buana. Berbagai kegiatan dilakukan mulai dari gerakan literasi, seni musik, seni tari, hingga promosi budaya dengan menggelar SIJB Display Art, Art of Indonesia dan Prestasi Selera Nusantara (Sistar) sebagai bentuk penguatan budaya kuliner.

* Artikel ini bersambung ke artikel Merawat cita-cita anak Indonesia di Malaysia
 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Anak TKI tak lagi harus jadi TKI

Pewarta : Virna P Setyorini
Editor : Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2024