Mentok, Babel (ANTARA) - Sya'ban dalam penanggalan Hijriah atau Ruwah pada penghitungan Tahun Jawa merupakan bulan yang dianggap penting bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Bangka, khususnya di Kabupaten Bangka Barat.
Pada Bulan Ruwah, hampir di setiap desa di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penduduknya masih memegang tradisi persiapan memasuki Bulan Ramadhan dengan melakukan pembersihan batin, melalui beragam cara, mulai dari bersih kubur, bersih kampung, pengajian, khataman Al Quran, pawai obor, membuat dodol massal yang dilengkapi dengan hiburan seni modern sebagai pelengkap kegembiraan menyambut bulan penuh ampunan itu.
Bahkan, di beberapa desa bisa dijumpai perayaan pesta adat Ruwah yang dilangsungkan sudah seperti layaknya Hari Raya Idul Fitri, dengan saling bertamu, saling memaafkan. Saudara, kerabat, dan para kawan dari luar desa dan luar daerah, sengaja datang ke desa untuk bersilaturahim.
Tradisi ini berlangsung turun temurun dan tetap lestari hingga kini, seperti di Desa Tempilang, sebuah desa di ujung Tenggara Kabupaten Bangka Barat, berjarak sekitar 120 kilometer dari pusat Kota Mentok, ibu kota kabupaten.
Warga desa setempat memiliki cara tersendiri dalam memeringati Bulan Sya'ban atau Ruwah, yaitu dengan menggelar tradisi Perang Ketupat.
Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat yang dirangkum dari beberapa penduduk setempat dan dari para tetua adat, tradisi Perang Ketupat Tempilang sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883.
Tradisi ini memeragakan pertarungan antara dua kelompok, yaitu kelompok penguasa laut dan penguasa darat, yang berperang dengan saling melempar ketupat sebagai peluru ke badan kelompok satu dan kelompok lain.
Tradisi ini berlangsung cukup meriah, bahkan sampai saat ini dalam setiap pelaksanaan Perang Ketupat yang digelar rutin setiap tahun berhasil menyedot hingga puluhan ribu pengunjung ke Pantai Pasirkuning yang menjadi lokasi penyelenggaraan.
Riuh rendah sorak sorai penonton menyertai adegan saling lempar ketupat yang dilakukan dua kelompok tersebut, dan ritual perang berakhir pada saat ratusan ketupat yang disiapkan di tengah arena habis untuk saling lempar.
Usai berperang, para peserta dari dua kelompok saling berjabat tangan dan berangkulan saling memaafkan, penggalan babak ini memiliki makna pentingnya menyudahi pertikaian, tidak ada untung yang didapat dari berperang atau bermusuhan.
Pesan perdamaian dan persaudaraan yang tersirat dalam tradisi ini penting disampaikan kepada khalayak.
"Go International"
Ritual Perang Ketupat yang mampu menyedot puluhan ribu orang, baik warga lokal maupun warga dari luar daerah, datang ke lokasi itu menjadikan sebuah energi baru bagi pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan kekayaan budaya lokal agar bisa semakin terkenal, bahkan mampu menyedot wisatawan mancanegara.
"Tradisi ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisatawan. Kami mendorongnya agar tradisi ini go international," kata Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming.
Sebagai langkah awal, Pemkab Bangka Barat bersama komunitas pemerhati sejarah di Mentok selama ini menjalin komunikasi yang baik dengan para keluarga korban yang meninggal dunia pada tragedi Perang Dunia II di Mentok, khususnya para keluarga korban yang berasal dari Australia.
Para keluarga korban PD II ini setiap Februari rutin datang ke Mentok untuk mengenang peristiwa kedukaan atas tragedi yang terjadi dan merenggut nyawa keluarganya.
Jalinan komunikasi yang sangat baik dan sudah terjalin dalam beberapa tahun terakhir ini akan dikembangkan untuk bersama-sama membangun Bangka Barat, terutama dalam sektor pariwisata.
Jika memungkinkan, mereka akan diundang hadir dalam perayaan Perang Ketupat. Melalui pola ini diharapkan mereka bisa bekerja sama dan menjadi agen pariwisata budaya lokal yang dipromosikan ke seluruh penjuru dunia.
Sejalan dengan pesan perdamaian yang tersirat dalam Perang Ketupat, para keluarga korban Perang Dunia II pun jika berkenan menghadiri tradisi itu akan diajak untuk menyudahi dendam, menjahit luka batin atas tragedi yang terjadi dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Selain mengupayakan pola promosi seperti itu, pemerintah daerah setempat juga sedang melakukan persiapan untuk mengusulkan rangkaian tradisi lokal tersebut bisa masuk dalam agenda nasional.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat telah berkomunikasi dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi-Babel terkait rencana tersebut.
Rangkaian Pesta Adat Ruwah dan Perang Ketupat yang berlangsung selama beberapa hari ini memiliki kekhasan tersendiri dan tidak dijumpai dalam peringatan atau tradisi pesta adat di desa-desa lain, bahkan sejak 2014, Pesta Adat Perang Ketupat telah mendapatkan pengakuan dan ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam rangkaian pesta adat ini bisa ditemukan beberapa objek ritual, tata cara dan keterlibatan masyarakat yang perlu terus dilestarikan. Usulan untuk menjadikan Pesta Adat Perang Ketupat menjadi salah satu agenda nasional juga diarahkandalam rangka pelestarian, bahkan untuk dikembangkan.
Akulturasi budaya
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat mencatat Perang Ketupat bukan hanya saling lempar ketupat antara dua kelompok, namun memiliki rangkaian prosesi yang dilaksanakan dalam beberapa hari.
Dari pengamatan selama ini, rangkaian perayaan Perang Ketupat merupakan bentuk akulturasi budaya, minimal ada dua budaya yang bertemu.
Tetua adat setempat memimpin jalannya ritual Perang Ketupat di Pantai Pasirkuning, Tempilang, Kabupaten Bangka Barat. (ANTARA/ Donatus Dasapurna)
Dalam rangkaian Pesta Adat Perang Ketupat yang puncak acaranya dilaksanakan di Pantai Pasirkuning, terdapat lima tahapan yang dilakukan, yaitu Penimbongan, Ngancak, Perang Ketupat, Ngayok Perae, dan Taber Kampong.
Lima tahapan ini merupakan tradisi yang sudah ada dan tetap dilestarikan kelompok warga setempat sejak masa lalu, sebagai bentuk pengakuan atas kekuatan alam semesta yang telah memberikan kehidupan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi penduduk setempat.
Sehari sebelum puncak acara Perang Ketupat, beberapa tetua adat yang mengemban tugas pawang laut dan darat telah memulai berbagai persiapan sesuai dengan petunjuk yang ada di alam, seperti membuat ramuan dari berbagai jenis daun dan bahan lain untuk ditabur simbol pengusiran berbagai mara bahaya dan kejahatan yang bisa mencelakai warga yang tinggal di desa itu.
Pada prosesi "taber" (bahasa lokal dari menabur/memercik) dilakukan tetua adat dengan memercikkan air ramuan itu keliling kampung mendatangi rumah-rumah penduduk disertai dengan memanjatkan doa diiringi tetabuhan gendang dengan irama tertentu.
Setelah itu, pada esok hari, rangkaian upacara perang ketupat diselenggarakan di tepi Pantai Pasirkuning.
Sedekah Ruwah dan Pesta Adat Perang Ketupat diawali dengan "nganggung" atau makan bersama yang biasanya digelar di masjid desa, dilanjutkan dengan ritual perang ketupat di pinggir Pantai Pasirkuning.
Ritual Perang Ketupat dipimpin tetua adat setempat, beberapa tarian khas daerah itu, yaitu Tari Kedidi, Tari Serimbang dan Tari Ganjak-Ganjur yang dibawakan sejumlah gadis sebagai penanda acara telah dimulai, dan berlanjut perang ketupat, dua kelompok saling menyerang saling melemparkan ketupat.
Perang dianggap selesai setelah ketupat terlempar semua yang menandakan makhluk jahat menyerah kalah dan menjauh.
Panitia juga menghanyutkan sebuah kapal berisi sesaji ke tengah pantai sebagai simbol untuk mengantarkan roh jahat ke alamnya dan tidak mengganggu ketenteraman warga Desa Tempilang.
Tradisi ini pada perkembangannya menjadi daya tarik warga desa lain dan luar daerah untuk datang menyaksikan ritual tersebut, bahkan sampai saat ini setiap kali digelar Perang Ketupat yang hadir bisa mencapai puluhan ribu orang.
Selain mengingatkan tentang sejarah leluhur, pesta adat juga sebagai realisasi kesadaran warga akan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang dalam menjaga kelestarian alam.
Tradisi Perang Ketupat dilaksanakan pada bulan Sya'ban atau 1 bulan menjelang Ramadhan pada masa kini berkembang dan menjadi ajang silaturahim seluruh warga, keluarga yang merantau maupun masyarakat dari daerah lain untuk bersama-sama datang ke Tempilang menjalin pertemanan dan persaudaraan.
Pada kesempatan itu seluruh rumah warga terbuka untuk didatangi siapapun untuk saling kenal, bersilaturahim menambah saudara, bahkan tuan rumah menyiapkan berbagai macam sajian makanan dan minuman seperti layaknya saat lebaran Idul Fitri.
Dalam rangkaian acara itu, akulturasi budaya terjadi sangat cair, nilai-nilai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam semesta berpadu padan dengan nilai-nilai ajaran agama yang mengedepankan silaturahim dan saling memaafkan.
Perang Ketupat, sebuah ekspresi kebudayaan yang perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bisa menjadi pengingat dan semangat pentingnya menyudahi dendam, menjalin persaudaraan untuk membangun kehidupan yang lebih bahagia dan damai.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjadikan tradisi Perang Ketupat "go international"
Pada Bulan Ruwah, hampir di setiap desa di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penduduknya masih memegang tradisi persiapan memasuki Bulan Ramadhan dengan melakukan pembersihan batin, melalui beragam cara, mulai dari bersih kubur, bersih kampung, pengajian, khataman Al Quran, pawai obor, membuat dodol massal yang dilengkapi dengan hiburan seni modern sebagai pelengkap kegembiraan menyambut bulan penuh ampunan itu.
Bahkan, di beberapa desa bisa dijumpai perayaan pesta adat Ruwah yang dilangsungkan sudah seperti layaknya Hari Raya Idul Fitri, dengan saling bertamu, saling memaafkan. Saudara, kerabat, dan para kawan dari luar desa dan luar daerah, sengaja datang ke desa untuk bersilaturahim.
Tradisi ini berlangsung turun temurun dan tetap lestari hingga kini, seperti di Desa Tempilang, sebuah desa di ujung Tenggara Kabupaten Bangka Barat, berjarak sekitar 120 kilometer dari pusat Kota Mentok, ibu kota kabupaten.
Warga desa setempat memiliki cara tersendiri dalam memeringati Bulan Sya'ban atau Ruwah, yaitu dengan menggelar tradisi Perang Ketupat.
Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat yang dirangkum dari beberapa penduduk setempat dan dari para tetua adat, tradisi Perang Ketupat Tempilang sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883.
Tradisi ini memeragakan pertarungan antara dua kelompok, yaitu kelompok penguasa laut dan penguasa darat, yang berperang dengan saling melempar ketupat sebagai peluru ke badan kelompok satu dan kelompok lain.
Tradisi ini berlangsung cukup meriah, bahkan sampai saat ini dalam setiap pelaksanaan Perang Ketupat yang digelar rutin setiap tahun berhasil menyedot hingga puluhan ribu pengunjung ke Pantai Pasirkuning yang menjadi lokasi penyelenggaraan.
Riuh rendah sorak sorai penonton menyertai adegan saling lempar ketupat yang dilakukan dua kelompok tersebut, dan ritual perang berakhir pada saat ratusan ketupat yang disiapkan di tengah arena habis untuk saling lempar.
Usai berperang, para peserta dari dua kelompok saling berjabat tangan dan berangkulan saling memaafkan, penggalan babak ini memiliki makna pentingnya menyudahi pertikaian, tidak ada untung yang didapat dari berperang atau bermusuhan.
Pesan perdamaian dan persaudaraan yang tersirat dalam tradisi ini penting disampaikan kepada khalayak.
"Go International"
Ritual Perang Ketupat yang mampu menyedot puluhan ribu orang, baik warga lokal maupun warga dari luar daerah, datang ke lokasi itu menjadikan sebuah energi baru bagi pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan kekayaan budaya lokal agar bisa semakin terkenal, bahkan mampu menyedot wisatawan mancanegara.
"Tradisi ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisatawan. Kami mendorongnya agar tradisi ini go international," kata Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming.
Sebagai langkah awal, Pemkab Bangka Barat bersama komunitas pemerhati sejarah di Mentok selama ini menjalin komunikasi yang baik dengan para keluarga korban yang meninggal dunia pada tragedi Perang Dunia II di Mentok, khususnya para keluarga korban yang berasal dari Australia.
Para keluarga korban PD II ini setiap Februari rutin datang ke Mentok untuk mengenang peristiwa kedukaan atas tragedi yang terjadi dan merenggut nyawa keluarganya.
Jalinan komunikasi yang sangat baik dan sudah terjalin dalam beberapa tahun terakhir ini akan dikembangkan untuk bersama-sama membangun Bangka Barat, terutama dalam sektor pariwisata.
Jika memungkinkan, mereka akan diundang hadir dalam perayaan Perang Ketupat. Melalui pola ini diharapkan mereka bisa bekerja sama dan menjadi agen pariwisata budaya lokal yang dipromosikan ke seluruh penjuru dunia.
Sejalan dengan pesan perdamaian yang tersirat dalam Perang Ketupat, para keluarga korban Perang Dunia II pun jika berkenan menghadiri tradisi itu akan diajak untuk menyudahi dendam, menjahit luka batin atas tragedi yang terjadi dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Selain mengupayakan pola promosi seperti itu, pemerintah daerah setempat juga sedang melakukan persiapan untuk mengusulkan rangkaian tradisi lokal tersebut bisa masuk dalam agenda nasional.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat telah berkomunikasi dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi-Babel terkait rencana tersebut.
Rangkaian Pesta Adat Ruwah dan Perang Ketupat yang berlangsung selama beberapa hari ini memiliki kekhasan tersendiri dan tidak dijumpai dalam peringatan atau tradisi pesta adat di desa-desa lain, bahkan sejak 2014, Pesta Adat Perang Ketupat telah mendapatkan pengakuan dan ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam rangkaian pesta adat ini bisa ditemukan beberapa objek ritual, tata cara dan keterlibatan masyarakat yang perlu terus dilestarikan. Usulan untuk menjadikan Pesta Adat Perang Ketupat menjadi salah satu agenda nasional juga diarahkandalam rangka pelestarian, bahkan untuk dikembangkan.
Akulturasi budaya
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat mencatat Perang Ketupat bukan hanya saling lempar ketupat antara dua kelompok, namun memiliki rangkaian prosesi yang dilaksanakan dalam beberapa hari.
Dari pengamatan selama ini, rangkaian perayaan Perang Ketupat merupakan bentuk akulturasi budaya, minimal ada dua budaya yang bertemu.
Dalam rangkaian Pesta Adat Perang Ketupat yang puncak acaranya dilaksanakan di Pantai Pasirkuning, terdapat lima tahapan yang dilakukan, yaitu Penimbongan, Ngancak, Perang Ketupat, Ngayok Perae, dan Taber Kampong.
Lima tahapan ini merupakan tradisi yang sudah ada dan tetap dilestarikan kelompok warga setempat sejak masa lalu, sebagai bentuk pengakuan atas kekuatan alam semesta yang telah memberikan kehidupan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi penduduk setempat.
Sehari sebelum puncak acara Perang Ketupat, beberapa tetua adat yang mengemban tugas pawang laut dan darat telah memulai berbagai persiapan sesuai dengan petunjuk yang ada di alam, seperti membuat ramuan dari berbagai jenis daun dan bahan lain untuk ditabur simbol pengusiran berbagai mara bahaya dan kejahatan yang bisa mencelakai warga yang tinggal di desa itu.
Pada prosesi "taber" (bahasa lokal dari menabur/memercik) dilakukan tetua adat dengan memercikkan air ramuan itu keliling kampung mendatangi rumah-rumah penduduk disertai dengan memanjatkan doa diiringi tetabuhan gendang dengan irama tertentu.
Setelah itu, pada esok hari, rangkaian upacara perang ketupat diselenggarakan di tepi Pantai Pasirkuning.
Sedekah Ruwah dan Pesta Adat Perang Ketupat diawali dengan "nganggung" atau makan bersama yang biasanya digelar di masjid desa, dilanjutkan dengan ritual perang ketupat di pinggir Pantai Pasirkuning.
Ritual Perang Ketupat dipimpin tetua adat setempat, beberapa tarian khas daerah itu, yaitu Tari Kedidi, Tari Serimbang dan Tari Ganjak-Ganjur yang dibawakan sejumlah gadis sebagai penanda acara telah dimulai, dan berlanjut perang ketupat, dua kelompok saling menyerang saling melemparkan ketupat.
Perang dianggap selesai setelah ketupat terlempar semua yang menandakan makhluk jahat menyerah kalah dan menjauh.
Panitia juga menghanyutkan sebuah kapal berisi sesaji ke tengah pantai sebagai simbol untuk mengantarkan roh jahat ke alamnya dan tidak mengganggu ketenteraman warga Desa Tempilang.
Tradisi ini pada perkembangannya menjadi daya tarik warga desa lain dan luar daerah untuk datang menyaksikan ritual tersebut, bahkan sampai saat ini setiap kali digelar Perang Ketupat yang hadir bisa mencapai puluhan ribu orang.
Selain mengingatkan tentang sejarah leluhur, pesta adat juga sebagai realisasi kesadaran warga akan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang dalam menjaga kelestarian alam.
Tradisi Perang Ketupat dilaksanakan pada bulan Sya'ban atau 1 bulan menjelang Ramadhan pada masa kini berkembang dan menjadi ajang silaturahim seluruh warga, keluarga yang merantau maupun masyarakat dari daerah lain untuk bersama-sama datang ke Tempilang menjalin pertemanan dan persaudaraan.
Pada kesempatan itu seluruh rumah warga terbuka untuk didatangi siapapun untuk saling kenal, bersilaturahim menambah saudara, bahkan tuan rumah menyiapkan berbagai macam sajian makanan dan minuman seperti layaknya saat lebaran Idul Fitri.
Dalam rangkaian acara itu, akulturasi budaya terjadi sangat cair, nilai-nilai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam semesta berpadu padan dengan nilai-nilai ajaran agama yang mengedepankan silaturahim dan saling memaafkan.
Perang Ketupat, sebuah ekspresi kebudayaan yang perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bisa menjadi pengingat dan semangat pentingnya menyudahi dendam, menjalin persaudaraan untuk membangun kehidupan yang lebih bahagia dan damai.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjadikan tradisi Perang Ketupat "go international"