Jakarta (ANTARA) - Secara geografis, Beting Scarborough jauh lebih dekat ke Filipina ketimbang pulau terluar China mana pun.
Filipina menamai beting itu dengan Bajo de Mesinloc, sedangkan China menamainya dengan Huangyan Dao (Pulau Huangyan).
Beting ini berada persis di dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina, sehingga negara ini berdaulat atas beting itu dan perairan di sekitarnya.
ZEE adalah zona sejauh 200 mil laut dari garis pantai sebuah negara yang membuat negara itu berdaulat di dalam zona itu, termasuk hak mengeksplorasi dan mengusahakan sumber daya alamnya.
Beting Scarborough hanya berjarak 119 mil atau 220 km dari Pulau Luzon di Filipina. Jauh lebih dekat dibandingkan dari Pulau Hainan di China yang mencapai 947 km.
China memang tak memakai Hainan sebagai titik acuan, melainkan pulau terluar di Kepulauan Paracel. Namun, itu pun tetap tak lebih dekat dari jarak beting tersebut ke daratan Filipina.
Kepulauan Paracel sendiri adalah satu dari dua kepulauan yang disengketakan di Laut China Selatan. Paracel disengketakan oleh Vietnam, China, dan Taiwan.
Kepulauan lainnya yang disengketakan adalah Kepulauan Spratly.
Kedua kepulauan itu diserahkan kepada Republik China setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 1945 dalam Perang Dunia Kedua.
Sekutu menugaskan Republik China untuk menerima penyerahan diri Jepang di wilayah itu.
Dalam perjanjian Jenewa pada 1954, Jepang resmi melepaskan semua klaim di pulau-pulau Laut China Selatan yang didudukinya selama Perang Dunia Kedua.
Republik China menjadi pihak yang paling getol mengklaim kedaulatan di Laut China Selatan, bahkan menduduki salah satu pulau utamanya, Pulau Woody. Prancis yang saat itu menjajah Indo-China, termasuk Vietnam, gagal menghentikan manuver Republik China di pulau itu.
Pada Desember 1947, Republik China membuat peta "sebelas garis putus-putus" berbentuk U yang mengklaim seluruh Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, sebagai wilayahnya.
Setelah China Komunis memenangi perang saudara di China pada 1949 dengan mengalahkan Republik China yang lalu menyingkir ke Taiwan, Pulau Woody beralih dikuasai Republik Rakyat China (RRC) yang komunis.
Di lain pihak, Prancis menduduki Pulau Pattle yang setelah Vietnam merdeka pada 1956 diserahkan kepada negara yang lalu terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan tersebut.
Pada 19 Januari 1974, pecah perang singkat antara RRC dengan Vietnam Selatan di Pulau Pattle. China memenangi perang itu, sehingga pulau tersebut jatuh ke tangan RRC yang sejak itu secara de facto menguasai penuh Kepulauan Paracel.
Akibatnya, wilayah lautan de facto China pun meluas dan memanjang sampai bagian utara Laut China Selatan.
"Sebelas Garis Putus-Putus" yang awalnya dikemukakan pemerintah Republik China yang sudah menyingkir ke Taiwan, menyurut menjadi "Sembilan Garis Putus-Putus", seperti disebutkan baru-baru ini dalam peta standar China yang diterbitkan Kementerian Sumber Daya Alam RRC, pada 28 Agustus 2023.
Peta standard itu ditolak Vietnam, Malaysia, dan Filipina, selain India dan Nepal, karena peta baku itu juga mencantumkan daerah-daerah India dan Nepal yang diklaim China.
Lebih dari itu "Sembilan Garis Putus-putus" itu sendiri sejak lama ditolak oleh Konvensi Hukum Laut PBB.
"Sembilan Garis Putus-Putus" itu membuat China menguasai hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Spratly yang berjarak sekitar 1.000 km dari Kepulauan Natuna di Indonesia.
Peta imajiner China itu juga mengikis wilayah laut Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia di Pulau Kalimantan.
Hanya Teluk Thailand dan bagian paling selatan Laut China Selatan di area Kepulauan Natuna, yang terbebas dari klaim China.
Namun, mungkin saja dalam jangka panjang bisa saja wilayah-wilayah itu juga diklaim China, jika berkaca kepada apa yang dilakukan China setelah secara de facto Kepulauan Paracel, yang otomatis memperluas zona laut de facto-nya.
Saat ini saja, angkatan laut China dan kapal-kapal yang disamarkan sebagai kapal sipil China yang oleh Filipina disebut "milisi laut China" itu, secara provokatif kerap masuk ZEE Indonesia di Kepulauan Natuna.
Filipina kekurangan opsi
Kembali ke soal Beting Scarborough. Ketegangan semakin meningkat antara China dan Filipina, terutama setelah China memasang rangkaian pelampung di sekeliling beting tersebut, yang lalu disingkirkan oleh angkatan laut Filipina.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengambil kebijakan keras kepada China ketimbang pendahulunya Rodrigo Duterte.
"Mereka (China) tak bisa begitu saja memasang barikade di wilayah yang jelas-jelas ada di dalam wilayah Filipina," kata Marcos, seperti dilaporkan The Manila Times.
"Kami tak mencari masalah, tapi kami akan melakukan hal yang mesti kami lakukan. Kami akan selalu membela tanah air Filipina, wilayah laut Filipina, hak-hak nelayan kami yang sudah ratusan tahun mencari ikan di perairan itu," kata Marcos, menegaskan.
Di bawah kepemimpinan Marcos, Filipina mengintensifkan upaya menentang aksi China yang dirasa mereka kian agresif saja dari waktu ke waktu.
Pemerintah China sendiri menyatakan Filipina telah melakukan aksi provokatif di wilayah yang diklaim China adalah miliknya.
"China memiliki kedaulatan mutlak di Pulau Huangyan dan perairan yang mengelilinginya serta memiliki yurisdiksi di atas perairan-perairan terkait," kata Juru Bicara Pasukan Penjaga Pantai China (CCG) Gan Yu, seperti dikutip laman salah satu media utama China Global Times.
CCG menyatakan akan terus melakukan penegakan hukum di perairan yang menjadi yurisdiksi China, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan akan tegas menjaga kedaulatan lautnya.
Pertanyaannya, benarkah China selaras dengan hukum? Mungkin ya, kalau maksudnya hukum dalam negeri China. Namun, tidak, dari perspektif hukum internasional.
Sejak 10 tahun silam, Filipina mengajukan gugatan kepada Mahkamah Arbitrasi Internasional di Den Haag, Belanda, untuk memperkarakan klaim China di Laut China Selatan yang telah digunakan China sebagai justifikasi untuk membangun pos-pos militer di jalur perairan internasional yang disengketakan itu.
Pada 2016, Mahkamah Arbitrasi Internasional memenangkan gugatan Filipina itu. Namun, China tak menggubris putusan hukum tersebut. Mereka menganggap sepi putusan pengadilan dunia itu dengan terus bertindak agresif di Laut China Selatan.
Sikap China yang agresif itu sudah pasti mengkhawatirkan sejumlah negara, khususnya Filipina, Vietnam, dan negara-negara lainnya yang bersengketa dengan China.
Mungkin China melakukan hal itu karena daya tarik energi yang sangat besar di laut itu. Energy Information Administration, badan pemerintah Amerika Serikat yang menganalisis informasi energi, mengungkapkan bahwa Laut China Selatan mengandung paling sedikit 190 triliun kaki kubik gas alam dan 11 miliar barel minyak.
China juga mungkin benar merasa terprovokasi AS yang menguatkan lagi kerja sama pertahanannya dengan Filipina, terlebih negara adidaya itu kian agresif mengurung China, termasuk di Laut China Selatan yang menjadi perlintasan untuk sepertiga volume pelayaran dunia dengan nilai 3,37 triliun dolar AS.
Namun, semua hal itu semestinya tak mengenyampingkan suara negara-negara yang bersengketa dengannya di Laut China Selatan.
Lain dari itu, menganggap negara-negara, seperti Filipina, bersekongkol dengan kekuatan ketiga, khususnya AS, adalah salah besar. Apalagi, Filipina terikat perjanjian keamanan dengan AS yang ditandatangani pada 1951 di mana AS wajib membela Filipina jika diperangi oleh negara lain.
Kalaupun Filipina berpaling kepada AS, maka itu merupakan kalkulasi politik yang logis dari negara yang dalam hal apa pun lebih lemah dibandingkan China yang kini meraksasa.
Negara-negara seperti Filipina mungkin kekurangan opsi, termasuk dari mekanisme kawasan di ASEAN yang tak begitu efektif menyelesaikan masalah-masalah kritis seperti terjadi di Beting Scarborough itu.
Bahkan, Vietnam yang terlibat perang brutal menghadapi Amerika Serikat, berpaling kepada bekas musuhnya itu, setelah melihat China yang semakin agresif mengerahkan kekuatan militer dan tak segan mencampakkan hukum internasional.
Di sinilah, China perlu membuktikan lagi komitmen meninggikan dialog. Provokasi hanya memicu reaksi yang bisa membuka jalan untuk terjadinya gesekan yang kian keras, termasuk antara China dan AS.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Krisis Filipina-China dan "Sembilan Garis Putus-putus"
Filipina menamai beting itu dengan Bajo de Mesinloc, sedangkan China menamainya dengan Huangyan Dao (Pulau Huangyan).
Beting ini berada persis di dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina, sehingga negara ini berdaulat atas beting itu dan perairan di sekitarnya.
ZEE adalah zona sejauh 200 mil laut dari garis pantai sebuah negara yang membuat negara itu berdaulat di dalam zona itu, termasuk hak mengeksplorasi dan mengusahakan sumber daya alamnya.
Beting Scarborough hanya berjarak 119 mil atau 220 km dari Pulau Luzon di Filipina. Jauh lebih dekat dibandingkan dari Pulau Hainan di China yang mencapai 947 km.
China memang tak memakai Hainan sebagai titik acuan, melainkan pulau terluar di Kepulauan Paracel. Namun, itu pun tetap tak lebih dekat dari jarak beting tersebut ke daratan Filipina.
Kepulauan Paracel sendiri adalah satu dari dua kepulauan yang disengketakan di Laut China Selatan. Paracel disengketakan oleh Vietnam, China, dan Taiwan.
Kepulauan lainnya yang disengketakan adalah Kepulauan Spratly.
Kedua kepulauan itu diserahkan kepada Republik China setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 1945 dalam Perang Dunia Kedua.
Sekutu menugaskan Republik China untuk menerima penyerahan diri Jepang di wilayah itu.
Dalam perjanjian Jenewa pada 1954, Jepang resmi melepaskan semua klaim di pulau-pulau Laut China Selatan yang didudukinya selama Perang Dunia Kedua.
Republik China menjadi pihak yang paling getol mengklaim kedaulatan di Laut China Selatan, bahkan menduduki salah satu pulau utamanya, Pulau Woody. Prancis yang saat itu menjajah Indo-China, termasuk Vietnam, gagal menghentikan manuver Republik China di pulau itu.
Pada Desember 1947, Republik China membuat peta "sebelas garis putus-putus" berbentuk U yang mengklaim seluruh Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, sebagai wilayahnya.
Setelah China Komunis memenangi perang saudara di China pada 1949 dengan mengalahkan Republik China yang lalu menyingkir ke Taiwan, Pulau Woody beralih dikuasai Republik Rakyat China (RRC) yang komunis.
Di lain pihak, Prancis menduduki Pulau Pattle yang setelah Vietnam merdeka pada 1956 diserahkan kepada negara yang lalu terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan tersebut.
Pada 19 Januari 1974, pecah perang singkat antara RRC dengan Vietnam Selatan di Pulau Pattle. China memenangi perang itu, sehingga pulau tersebut jatuh ke tangan RRC yang sejak itu secara de facto menguasai penuh Kepulauan Paracel.
Akibatnya, wilayah lautan de facto China pun meluas dan memanjang sampai bagian utara Laut China Selatan.
"Sebelas Garis Putus-Putus" yang awalnya dikemukakan pemerintah Republik China yang sudah menyingkir ke Taiwan, menyurut menjadi "Sembilan Garis Putus-Putus", seperti disebutkan baru-baru ini dalam peta standar China yang diterbitkan Kementerian Sumber Daya Alam RRC, pada 28 Agustus 2023.
Peta standard itu ditolak Vietnam, Malaysia, dan Filipina, selain India dan Nepal, karena peta baku itu juga mencantumkan daerah-daerah India dan Nepal yang diklaim China.
Lebih dari itu "Sembilan Garis Putus-putus" itu sendiri sejak lama ditolak oleh Konvensi Hukum Laut PBB.
"Sembilan Garis Putus-Putus" itu membuat China menguasai hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Spratly yang berjarak sekitar 1.000 km dari Kepulauan Natuna di Indonesia.
Peta imajiner China itu juga mengikis wilayah laut Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia di Pulau Kalimantan.
Hanya Teluk Thailand dan bagian paling selatan Laut China Selatan di area Kepulauan Natuna, yang terbebas dari klaim China.
Namun, mungkin saja dalam jangka panjang bisa saja wilayah-wilayah itu juga diklaim China, jika berkaca kepada apa yang dilakukan China setelah secara de facto Kepulauan Paracel, yang otomatis memperluas zona laut de facto-nya.
Saat ini saja, angkatan laut China dan kapal-kapal yang disamarkan sebagai kapal sipil China yang oleh Filipina disebut "milisi laut China" itu, secara provokatif kerap masuk ZEE Indonesia di Kepulauan Natuna.
Filipina kekurangan opsi
Kembali ke soal Beting Scarborough. Ketegangan semakin meningkat antara China dan Filipina, terutama setelah China memasang rangkaian pelampung di sekeliling beting tersebut, yang lalu disingkirkan oleh angkatan laut Filipina.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengambil kebijakan keras kepada China ketimbang pendahulunya Rodrigo Duterte.
"Mereka (China) tak bisa begitu saja memasang barikade di wilayah yang jelas-jelas ada di dalam wilayah Filipina," kata Marcos, seperti dilaporkan The Manila Times.
"Kami tak mencari masalah, tapi kami akan melakukan hal yang mesti kami lakukan. Kami akan selalu membela tanah air Filipina, wilayah laut Filipina, hak-hak nelayan kami yang sudah ratusan tahun mencari ikan di perairan itu," kata Marcos, menegaskan.
Di bawah kepemimpinan Marcos, Filipina mengintensifkan upaya menentang aksi China yang dirasa mereka kian agresif saja dari waktu ke waktu.
Pemerintah China sendiri menyatakan Filipina telah melakukan aksi provokatif di wilayah yang diklaim China adalah miliknya.
"China memiliki kedaulatan mutlak di Pulau Huangyan dan perairan yang mengelilinginya serta memiliki yurisdiksi di atas perairan-perairan terkait," kata Juru Bicara Pasukan Penjaga Pantai China (CCG) Gan Yu, seperti dikutip laman salah satu media utama China Global Times.
CCG menyatakan akan terus melakukan penegakan hukum di perairan yang menjadi yurisdiksi China, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan akan tegas menjaga kedaulatan lautnya.
Pertanyaannya, benarkah China selaras dengan hukum? Mungkin ya, kalau maksudnya hukum dalam negeri China. Namun, tidak, dari perspektif hukum internasional.
Sejak 10 tahun silam, Filipina mengajukan gugatan kepada Mahkamah Arbitrasi Internasional di Den Haag, Belanda, untuk memperkarakan klaim China di Laut China Selatan yang telah digunakan China sebagai justifikasi untuk membangun pos-pos militer di jalur perairan internasional yang disengketakan itu.
Pada 2016, Mahkamah Arbitrasi Internasional memenangkan gugatan Filipina itu. Namun, China tak menggubris putusan hukum tersebut. Mereka menganggap sepi putusan pengadilan dunia itu dengan terus bertindak agresif di Laut China Selatan.
Sikap China yang agresif itu sudah pasti mengkhawatirkan sejumlah negara, khususnya Filipina, Vietnam, dan negara-negara lainnya yang bersengketa dengan China.
Mungkin China melakukan hal itu karena daya tarik energi yang sangat besar di laut itu. Energy Information Administration, badan pemerintah Amerika Serikat yang menganalisis informasi energi, mengungkapkan bahwa Laut China Selatan mengandung paling sedikit 190 triliun kaki kubik gas alam dan 11 miliar barel minyak.
China juga mungkin benar merasa terprovokasi AS yang menguatkan lagi kerja sama pertahanannya dengan Filipina, terlebih negara adidaya itu kian agresif mengurung China, termasuk di Laut China Selatan yang menjadi perlintasan untuk sepertiga volume pelayaran dunia dengan nilai 3,37 triliun dolar AS.
Namun, semua hal itu semestinya tak mengenyampingkan suara negara-negara yang bersengketa dengannya di Laut China Selatan.
Lain dari itu, menganggap negara-negara, seperti Filipina, bersekongkol dengan kekuatan ketiga, khususnya AS, adalah salah besar. Apalagi, Filipina terikat perjanjian keamanan dengan AS yang ditandatangani pada 1951 di mana AS wajib membela Filipina jika diperangi oleh negara lain.
Kalaupun Filipina berpaling kepada AS, maka itu merupakan kalkulasi politik yang logis dari negara yang dalam hal apa pun lebih lemah dibandingkan China yang kini meraksasa.
Negara-negara seperti Filipina mungkin kekurangan opsi, termasuk dari mekanisme kawasan di ASEAN yang tak begitu efektif menyelesaikan masalah-masalah kritis seperti terjadi di Beting Scarborough itu.
Bahkan, Vietnam yang terlibat perang brutal menghadapi Amerika Serikat, berpaling kepada bekas musuhnya itu, setelah melihat China yang semakin agresif mengerahkan kekuatan militer dan tak segan mencampakkan hukum internasional.
Di sinilah, China perlu membuktikan lagi komitmen meninggikan dialog. Provokasi hanya memicu reaksi yang bisa membuka jalan untuk terjadinya gesekan yang kian keras, termasuk antara China dan AS.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Krisis Filipina-China dan "Sembilan Garis Putus-putus"