Paris (AntaraKL) - Lassana Bathily adalah pendatang tidak berdokumen dari Mali, yang menjadi pahlawan dengan menyelamatkan jiwa pembeli saat serangan kelompok garis keras atas pasar swalayan Yahudi di Paris tahun lalu.

Pria berusia 25 tahun itu menjadi salah satu cerita baik, yang muncul dari tiga hari kekerasan pada Januari tahun lalu ketika pegaris keras menyerang mingguan satir "Charlie Hebdo", polisi dan swalayan Yahudi bernama Hyper Cacher, yang menewaskan 17 orang.

"Ah, ini dia orang Prancis favorit saya," kata Presiden Francois Hollande berteriak ketika menerima Bathily di Istana Elysee dua pekan setelah pembantaian itu.

Bathily, yang bekerja sebagai penyusun dagangan di rak swalayan tersebut, menyelamatkan pengunjung dari pria bersenjata Amedy Coulibaly pada 9 Januari 2015.

Cerita Muslim menyelamatkan Yahudi dari pegaris keras menjadikannya lambang baik keberagaman warga Prancis.

Tetapi, seperti yang dia tulis dibukunya, "Im Not a Hero" (Aku Bukan Pahlawan), yang dijadwalkkan diluncurkan pada Rabu, kepahlawanan menjadi mantel tidak nyaman bagi dirinya.

"Pagi esoknya, aku membuka Facebook dan 800 orang memintaku menjadi teman," kata dia kepada AFP.

"Pada hari-hari berikutnya aku mengatakan Tidak, aku bukan pahlawan. Aku melakukan hal yang semestinya dilakukan," katanya.

Bathily hanya beberapa menit menjelang akhir jam kerjanya di pasar swalayan tersebut, saat itu dia sedang membongkar barang beku di ruang bawah tanah, ketika dia mendengar tembakan, dia kebingungan dan melihat ke atas, saat itu sekitar selusin orang melarikan diri dengan menuruni tangga.

Coulibaly, yang mengaku bekerja atas nama kelompok Negara Islam, menyandera beberapa pembeli sandera dan memerintahkan kasir untuk pergimengumpulkan yang lain.

Beberapa dari mereka yang meringkuk di lantai bawah mematuhi perintahnya, tetapi yang lain menolak untuk pergi dan Bathily mendesak mereka menggunakan lift barang untuk melarikan diri.

Ketika tak satu pun mau mengambil risiko, dia menggiring mereka ke dalam ruangan pendingin, mematikan lampu dan motor ruangan itu, dan kemudian membuat skenario penyelamatan diri melalui lift dan tangga darurat.

"Jantung saya berdetak kencang. Pada saat itu, saya takut terdengar olehnya," kata dia.

Setelah di luar, dia membantu polisi memberikan sketsa tata letak toko dan menyiapkan serangan mereka. Beberapa jam kemudian, mereka menyerbu masuk dan menembak mati Coulibaly.

Ada yang mengatakan peran Bathily dibesar-besarkan media dan pejabat, yang lapar akan pemberitaan baik.

"Media dan pejabat menginginkan gambaran yang baik, bahwa dia menolong kami jekyar daru tangga, dan dia menyembunyikan kita, dan sebagainya. Yang sebenarnya tidak benar, tetapi itu bukan kesalahan Lassanaoo pada saat itu kami membutuhkan pahlawan," kata salah satu mantan sandera kepada surat kabar Liberation.

Bathily tidak terganggu dengan pernyataan kontra tersebut.

"Jika sekarang mengatakan bahwa saya tidak melakukan apapun untuk mereka, itu masalah mereka. Saya tidak mau ikut-ikutan." kata dia.



Penyambutan

Beberapa hari setelah penyerangan, Bathily diberikan kewarganegaraan Prancis langsung oleh presiden, hal tersebut menjadi yang diimpikannya sejak kecil saat dia dibesarikan di desa kecil di perbatasan Mali-Senegal.

Tetapi Bathily mengabaikan pernghargaan tertinggi Prancis Legion dHonneur.

Dia kembali ke penyambutan dirinya di Mali, tempat dia ditawari menginap di hotel papan atas dan diundang Presiden Ibrahim Boubacar Keita.

Bathily mendirikan kelompok bantuan untuk menyediakan sarana dasar bagi desanya, yang ditinggalkannya saat dia berusia 16 untuk mencari pekerjaan di Paris.

Tetapi, dia sebenarnya mengalami trauma untuk kembali ke Prancis. Dia kehilangan teman terdekatnya, Yohan Cohen --salah satu dari empat yang dibunuh Coulibaly pada hari itu-- dan beberapa hari kemudian, dia mendengar adik laki-lakinya Boubakar meninggal karena sakit berkepanjangan.

Selain itu, pengingat kematian akan acaman teroris sepertinya memantapkan hidupnya.

Bathily hanya berada 300 meter dari tempat Bataclan di Paris ketika terjadi penyerangan pada 13 November.

"Aku lari seperti orang lain, tapi terjebak dan aku tidak bisa pulang hingga pukul 05.00 pagi," kata dia.

Hanya sepakan setelahnya, pegaris keras bersenjata menyerang hotel Radisson Blu di Bamoko, Ibu kota Mali, yang ditempatinya selama kembali ke negara asalnya.

Meski begitu, dia tetap optimis. "Bukan teroris yang membunuh. Jika Tuhan memutuskan bahwa saya mati, maka saya akan mati, bukan teroris yang memutuskan."

Mendapat publikasi besar-besaran memberikan dia sejumlah manfaat, seperti, diberi perumahan sosial baru dan pekerjaan di balai kota Paris.

Pada saat ini, dia sekolah dan bercita-cita menjadi guru.

"Saya hanya meneruskan hidup saya, melanjutkan yang saya lakukan dulu," kata dia, "Kita harus menunjukkan kesetiakawanan, tetap bersatu, maka ada harapan," katanya dikutip AFP.


Pewarta : Jafar M Sidik
Editor :
Copyright © ANTARA 2024