Jakarta (ANTARA) - Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada tahun 2020 tidak secara tatap muka, tetapi melalui video conference, penyebabnya tentu karena pandemi COVID-19 yang mengharuskan pembatasan pertemuan manusia.
Perbedaan lain dari tahun sebelumnya adalah IPK Indonesia melorot hingga 3 poin dibanding IPK pada tahun 2019. Penurunan itu adalah yang pertama sejak 2007. Namun, penurunan pada tahun 2007 juga hanya 1 poin, yaitu 23 dari tadinya 24 pada tahun 2006.
TII mencatat IPK Indonesia pada tahun 2020 berada di skor 37 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor tersebut turun 3 poin dari 2019 yang berada pada skor 40 dengan peringkat 85. Pada tahun 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir.
Negara yang punya skor dan ranking yang sama dengan Indonesia adalah Gambia.
Skor IPK dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. IPK 2020 tersebut bersumber pada 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik di 180 negara dan teritori yang dilakukan pada periode Oktober 2019—Oktober 2020.
Indonesia pun dipersepsikan sebagai negara yang korup dan relatif tak serius dan tidak konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi.
Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 85), diikuti Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), Timor Leste (40). Namun skor IPK Indonesia masih berada di atas Vietnam dan Thailand (skor 36), Filipina (34), Laos (29), Myanmar (28), dan Kamboja (21).
Negara dengan skor IPK 2020 terbesar adalah Denmark dan Selandia Baru pada skor 88, diikuti Finlandia, Singapura, Swedia dan Swis (85), Norwegia (84), Belanda (82), Jerman dan Luxembourg (80), sementara IPK terendah adalah Somalia dan Sudan Selatan di posisi 180 (skor 12), Suriah di posisi 178 (skor 14), serta Yaman dan Venezuela di posisi 176 (skor 15).
Lantas apa yang menyebabkan penurunan IPK Indonesia pada tahun 2020?
Menurut peneliti TII Wawan Suyatmiko, terdapat lima sumber data yang skornya merosot pada tahun 2020. Pertama adalah Political Risk Service (PRS), yaitu mengukur persepsi korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor/impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis. Skor PRS Indoneisa turun 8 poin dari 58 pada 2019 menjadi 50 pada 2020.
Kedua, IMD World Competitiveness Yearbook yang mengukur persepsi terjadinya suap dan korupsi dalam sistem politik. Skor Indonesia turun 5 poin dari 48 pada tahun 2019 menjadi 43 pada 2020.
Ketiga, Global Insight Country Risk Ratings yang mengukur risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis yang bahkan turun 13 poin dari 47 (2019) menjadi 35 (2020).
Keempat, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide yang menguur masalah korupsi di negara tempat pihak yang disurvei sedang bekerja saat ini. Skornya juga turun 3 poin dari 35 pada 2019 menjadi 32 pada 2020.
Kelima, Varieties of Democracy yang mengukur kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik. Skornya juga menurun dari 28 (2019) menjadi 26 (2020).
Tiga indikator mengalami stagnasi, yaitu pertama World Economic Forum EOS yang mengkur terkait suap dan pembayaran ekstra pada impor/ekspor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, kontrak perizinan dan putusan pengadilan stabil di skor 46.
Kedua, Bertelsmann Foundation Transformation Index yang mengukur mengenai pemberian hukuman terhadap pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi juga masih berada di skor 37.
Ketiga, Economist Intelligence Unit Country Ratings, yaitu mengenai prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen tetap berada di skor 37.
Hanya ada satu indikator yang meningkat, yaitu World Justice Project-Rule of Law Index (WJP-ROL) terkait dengan persepsi pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer yang menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi meningkat 2 poin, yaitu dari 21 (2019) menjadi 23 (2020).
Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha, kata Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko.
Sementara itu, di sisi demokrasi, penurunan 2 poin pada Varieties of Democracy menandakan bahwa korupsi politik masih terjadi secara mendalam dalam sistem politik di Indonesia.
"Kenaikan 2 poin pada World Justice Project-Rule of Law Index perlu dilihat sebagai upaya perbaikan pada penegakan supremasi hukum," ungkap Danang.
Secara umum, TII menilai IPK Indonesia jeblok karena turunnya skor survei yang terkait dengan korupsi di sektor ekonomi, investasi dan kemudahan berusaha, yaitu Political Risk Service (PRS), IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, serta Political and Economic Risk Consultancy.
TII juga memberikan empat rekomendasi untuk memperbaiki skor IPK Indonesia, yaitu agar pemerintah memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas, memastikan transparansi kontrak pengadaan khususnya saat pandemi, merawat demorasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik serta mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan.
Respons
Terhadap melorotnya skor IPK Indonesia pada tahun 2020, sejumlah pihak menyampaikan tanggapannya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahkan mengaku sudah memprediksi IPK Indonesia pada 2020 akan turun. Mahfud menyebut dua hal yang mengkonfirmasi dugaannya tersebut.
"Pertama kita ribut dengan kontroversi lahirnya UU KPK yang secara umum dianggap sebagai sebuah produk hukum yang akan melemahkan pemberantasan korupsi, itu bisa menimbulkan persepsi," ungkap Mahfud.
Padahal menurut Mahfud, faktanya belum tentu revisi UU KPK berpengaruh terhadap IPK Indonesia. Mahfud menduga dengan kontroversi revisi UU KPK maka dunia internasional menilai pemberantasan kourpsi di Indonesia melemah.
Penyebab kedua adalah banyaknya potongan hukuman yang diberikan Mahkamah Agung terhadap terdakwa dan terpidana kasus korupsi pada 2020 baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
KPK menyatakan setidaknya ada 65 permohonan PK yang diajukan ke MA pada tahun 2020. Namun, Ketua MA M. Syarifuddin mengatakan hanya 8 persen permohonan PK kasus korupsi yang dikabulkan.
Selanjutnya, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Bivitri Susanti menilai penurunan IPK Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan bukan hanya melemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia, melainkan juga sempitnya ruang gerak masyarakat sipil karena korupsi kekuasaan.
Bivitri mengungkapkan hukum dan aparat penegak hukum malah membungkam demokrasi melalui produk hukum yang dikontrol aktor politik formal dalam wujud UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Cipta Kerja dan UU lainnya.
Hal tersebut akan terus merobohkan demokrasi, dibuat aktor-aktor politik formal yang tidak dapat kita kontrol karena aturan main partai politik membuat mereka dikuasi elit politik dan oligarki melalui prosedur-prosedur demokrasi yang ada.
Pimpinan KPK 2015—2019 Laode M. Syarif dengan mengatakan penurunan IPK Indonesia pada tahun 2020 adalah lampu merah bagi pemberantasan korupsi. Penurunan IPK ini jangan dianggap enteng, bangsa ini kembali 5 tahun ke belakang, ini betul-betul lampu merah bukan lagi lampu kuning.
Laode mencatat sejak 2008 hingga 2019, IPK Indonesia tidak pernah turun. Pada 2007, skor IPK Indonesia adalah 23, selanjutnya 26 (2008), 28 (2009), 30 (2010), 30 (2011), 32 (2012), 32 (2013), 34 (2014), 36 (2015), 37 (2016), 37 (2017), 38 (2018), dan 40 (2019).
Korupsi sektor politik menurut Laode nyata dari sejumlah tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK berasal dari seluruh partai politik di DPR.
Hasil dari korupsi politik tersebut adalah hadirnya 262 anggota DPR saat ini yang berasal dari kalangan pengusaha sehingga sangat rentan konflik kepentingan. Buktinya adalah revisi UU KPK hanya dalam 2 minggu, revisi UU Minerba hanya dalam 4 minggu, serta pengesahan UU Cipta Kerja.
Korupsi, kata Laode, akhirnya merusak demokrasi, merusak pasar, meruntuhkan hukum, melanggengkan pelanggaran HAM ,dan menyebabkan kejahatan lain berkembang dan menurunkan kualitas hidup.
Terhadap penurunan IPK 2020 tersebut, KPK mengaku episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik di Indonesia, khususnya partai politik. Sistem politik saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik yang koruptif.
KPK menyebut telah mendorong pentingnya penguatan peran dan fungsi lembaga pengawas, salah satunya, pemberdayaan aparatur pengawas intern pemerintah (APIP). KPK merekomendasikan pemerintah untuk memastikan adanya kecukupan dan kompetensi sumber daya serta independensi APIP dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ), KPK juga telah menerbitkan panduan sebagai rambu untuk menghindari praktik mark-up, benturan kepentingan dan perbuatan curang lainnya, serta tidak memanfaatkan pelonggaran proses PBJ untuk korupsi.
KPK juga mendorong praktik-praktik good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka data dan menyediakan saluran pengaduan masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas manajemen ASN, efektivitas tata laksana, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi seluruh instansi pemerintah, kata Plt. Juru Bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyebut Presiden Jokowi terus berupaya menciptakan pemerintahan yang antikorupsi meski IPK Indonesia pada tahun 2020 melorot.
Terkait dengan publikasi Corruption Perception Index 2020 oleh Transparency International, pada intinya, Presiden Jokowi tegas untuk menciptakan pemerintahan antikorupsi.
Meski tidak menjelaskan secara perinci, Fadjroel menyebut Presiden selalu menekankan pada kementerian dan lembaga serta seluruh pelaksana kebijakan dan program pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi dan mendukung lembaga penegakan hukum untuk menindak para pelaku korupsi sesuai regulasi tanpa pandang bulu.
Namun, untuk meningkatkan IPK jelas bukan hanya melalui jargon dan omongan belaka. Perlu ada tindakan nyata dari hulu hingga hilir yang dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat agar masalah korupsi benar-benar dapat diatasi.
Perbedaan lain dari tahun sebelumnya adalah IPK Indonesia melorot hingga 3 poin dibanding IPK pada tahun 2019. Penurunan itu adalah yang pertama sejak 2007. Namun, penurunan pada tahun 2007 juga hanya 1 poin, yaitu 23 dari tadinya 24 pada tahun 2006.
TII mencatat IPK Indonesia pada tahun 2020 berada di skor 37 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor tersebut turun 3 poin dari 2019 yang berada pada skor 40 dengan peringkat 85. Pada tahun 2019 adalah pencapaian tertinggi dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir.
Negara yang punya skor dan ranking yang sama dengan Indonesia adalah Gambia.
Skor IPK dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. IPK 2020 tersebut bersumber pada 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik di 180 negara dan teritori yang dilakukan pada periode Oktober 2019—Oktober 2020.
Indonesia pun dipersepsikan sebagai negara yang korup dan relatif tak serius dan tidak konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi.
Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 85), diikuti Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), Timor Leste (40). Namun skor IPK Indonesia masih berada di atas Vietnam dan Thailand (skor 36), Filipina (34), Laos (29), Myanmar (28), dan Kamboja (21).
Negara dengan skor IPK 2020 terbesar adalah Denmark dan Selandia Baru pada skor 88, diikuti Finlandia, Singapura, Swedia dan Swis (85), Norwegia (84), Belanda (82), Jerman dan Luxembourg (80), sementara IPK terendah adalah Somalia dan Sudan Selatan di posisi 180 (skor 12), Suriah di posisi 178 (skor 14), serta Yaman dan Venezuela di posisi 176 (skor 15).
Lantas apa yang menyebabkan penurunan IPK Indonesia pada tahun 2020?
Menurut peneliti TII Wawan Suyatmiko, terdapat lima sumber data yang skornya merosot pada tahun 2020. Pertama adalah Political Risk Service (PRS), yaitu mengukur persepsi korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor/impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis. Skor PRS Indoneisa turun 8 poin dari 58 pada 2019 menjadi 50 pada 2020.
Kedua, IMD World Competitiveness Yearbook yang mengukur persepsi terjadinya suap dan korupsi dalam sistem politik. Skor Indonesia turun 5 poin dari 48 pada tahun 2019 menjadi 43 pada 2020.
Ketiga, Global Insight Country Risk Ratings yang mengukur risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis yang bahkan turun 13 poin dari 47 (2019) menjadi 35 (2020).
Keempat, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide yang menguur masalah korupsi di negara tempat pihak yang disurvei sedang bekerja saat ini. Skornya juga turun 3 poin dari 35 pada 2019 menjadi 32 pada 2020.
Kelima, Varieties of Democracy yang mengukur kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik. Skornya juga menurun dari 28 (2019) menjadi 26 (2020).
Tiga indikator mengalami stagnasi, yaitu pertama World Economic Forum EOS yang mengkur terkait suap dan pembayaran ekstra pada impor/ekspor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, kontrak perizinan dan putusan pengadilan stabil di skor 46.
Kedua, Bertelsmann Foundation Transformation Index yang mengukur mengenai pemberian hukuman terhadap pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi juga masih berada di skor 37.
Ketiga, Economist Intelligence Unit Country Ratings, yaitu mengenai prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen tetap berada di skor 37.
Hanya ada satu indikator yang meningkat, yaitu World Justice Project-Rule of Law Index (WJP-ROL) terkait dengan persepsi pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer yang menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi meningkat 2 poin, yaitu dari 21 (2019) menjadi 23 (2020).
Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha, kata Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko.
Sementara itu, di sisi demokrasi, penurunan 2 poin pada Varieties of Democracy menandakan bahwa korupsi politik masih terjadi secara mendalam dalam sistem politik di Indonesia.
"Kenaikan 2 poin pada World Justice Project-Rule of Law Index perlu dilihat sebagai upaya perbaikan pada penegakan supremasi hukum," ungkap Danang.
Secara umum, TII menilai IPK Indonesia jeblok karena turunnya skor survei yang terkait dengan korupsi di sektor ekonomi, investasi dan kemudahan berusaha, yaitu Political Risk Service (PRS), IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, serta Political and Economic Risk Consultancy.
TII juga memberikan empat rekomendasi untuk memperbaiki skor IPK Indonesia, yaitu agar pemerintah memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas, memastikan transparansi kontrak pengadaan khususnya saat pandemi, merawat demorasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik serta mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan.
Respons
Terhadap melorotnya skor IPK Indonesia pada tahun 2020, sejumlah pihak menyampaikan tanggapannya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahkan mengaku sudah memprediksi IPK Indonesia pada 2020 akan turun. Mahfud menyebut dua hal yang mengkonfirmasi dugaannya tersebut.
"Pertama kita ribut dengan kontroversi lahirnya UU KPK yang secara umum dianggap sebagai sebuah produk hukum yang akan melemahkan pemberantasan korupsi, itu bisa menimbulkan persepsi," ungkap Mahfud.
Padahal menurut Mahfud, faktanya belum tentu revisi UU KPK berpengaruh terhadap IPK Indonesia. Mahfud menduga dengan kontroversi revisi UU KPK maka dunia internasional menilai pemberantasan kourpsi di Indonesia melemah.
Penyebab kedua adalah banyaknya potongan hukuman yang diberikan Mahkamah Agung terhadap terdakwa dan terpidana kasus korupsi pada 2020 baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
KPK menyatakan setidaknya ada 65 permohonan PK yang diajukan ke MA pada tahun 2020. Namun, Ketua MA M. Syarifuddin mengatakan hanya 8 persen permohonan PK kasus korupsi yang dikabulkan.
Selanjutnya, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Bivitri Susanti menilai penurunan IPK Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan bukan hanya melemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia, melainkan juga sempitnya ruang gerak masyarakat sipil karena korupsi kekuasaan.
Bivitri mengungkapkan hukum dan aparat penegak hukum malah membungkam demokrasi melalui produk hukum yang dikontrol aktor politik formal dalam wujud UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Cipta Kerja dan UU lainnya.
Hal tersebut akan terus merobohkan demokrasi, dibuat aktor-aktor politik formal yang tidak dapat kita kontrol karena aturan main partai politik membuat mereka dikuasi elit politik dan oligarki melalui prosedur-prosedur demokrasi yang ada.
Pimpinan KPK 2015—2019 Laode M. Syarif dengan mengatakan penurunan IPK Indonesia pada tahun 2020 adalah lampu merah bagi pemberantasan korupsi. Penurunan IPK ini jangan dianggap enteng, bangsa ini kembali 5 tahun ke belakang, ini betul-betul lampu merah bukan lagi lampu kuning.
Laode mencatat sejak 2008 hingga 2019, IPK Indonesia tidak pernah turun. Pada 2007, skor IPK Indonesia adalah 23, selanjutnya 26 (2008), 28 (2009), 30 (2010), 30 (2011), 32 (2012), 32 (2013), 34 (2014), 36 (2015), 37 (2016), 37 (2017), 38 (2018), dan 40 (2019).
Korupsi sektor politik menurut Laode nyata dari sejumlah tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK berasal dari seluruh partai politik di DPR.
Hasil dari korupsi politik tersebut adalah hadirnya 262 anggota DPR saat ini yang berasal dari kalangan pengusaha sehingga sangat rentan konflik kepentingan. Buktinya adalah revisi UU KPK hanya dalam 2 minggu, revisi UU Minerba hanya dalam 4 minggu, serta pengesahan UU Cipta Kerja.
Korupsi, kata Laode, akhirnya merusak demokrasi, merusak pasar, meruntuhkan hukum, melanggengkan pelanggaran HAM ,dan menyebabkan kejahatan lain berkembang dan menurunkan kualitas hidup.
Terhadap penurunan IPK 2020 tersebut, KPK mengaku episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik di Indonesia, khususnya partai politik. Sistem politik saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik yang koruptif.
KPK menyebut telah mendorong pentingnya penguatan peran dan fungsi lembaga pengawas, salah satunya, pemberdayaan aparatur pengawas intern pemerintah (APIP). KPK merekomendasikan pemerintah untuk memastikan adanya kecukupan dan kompetensi sumber daya serta independensi APIP dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ), KPK juga telah menerbitkan panduan sebagai rambu untuk menghindari praktik mark-up, benturan kepentingan dan perbuatan curang lainnya, serta tidak memanfaatkan pelonggaran proses PBJ untuk korupsi.
KPK juga mendorong praktik-praktik good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka data dan menyediakan saluran pengaduan masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas manajemen ASN, efektivitas tata laksana, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi seluruh instansi pemerintah, kata Plt. Juru Bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyebut Presiden Jokowi terus berupaya menciptakan pemerintahan yang antikorupsi meski IPK Indonesia pada tahun 2020 melorot.
Terkait dengan publikasi Corruption Perception Index 2020 oleh Transparency International, pada intinya, Presiden Jokowi tegas untuk menciptakan pemerintahan antikorupsi.
Meski tidak menjelaskan secara perinci, Fadjroel menyebut Presiden selalu menekankan pada kementerian dan lembaga serta seluruh pelaksana kebijakan dan program pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi dan mendukung lembaga penegakan hukum untuk menindak para pelaku korupsi sesuai regulasi tanpa pandang bulu.
Namun, untuk meningkatkan IPK jelas bukan hanya melalui jargon dan omongan belaka. Perlu ada tindakan nyata dari hulu hingga hilir yang dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat agar masalah korupsi benar-benar dapat diatasi.