Lombok (ANTARA) - Ada satu kegiatan menarik yang bisa dilakukan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat selain berlibur di pantai Gili Trawangan atau Pink Beach, yaitu mengunjungi Festival Bau Nyale yang hanya ada setahun sekali.

Festival Bau Nyale memberi pengalaman dan pesona tersendiri bagi wisatawan, selain menyaksikan kegiatan yang dilakukan masyarakat lokal, wisatawan juga bisa turut berpartisipasi dalam perhelatan ini. Lantas, apa itu perayaan Bau Nyale?

Bau Nyale berasal dari Suku Sasak di Lombok Selatan, sebuah perayaan yang berasal dari legenda Putri Mandalika. "Bau" dalam bahasa setempat berarti menangkap, sementara "Nyale" adalah sejenis cacing laut berwarna-warni yang muncul setahun sekali di beberapa lokasi tertentu di pantai Lombok.

"Saat waktunya tiba, masyarakat Lombok akan berbondong-bondong memburu Nyale di sejumlah pantai, salah satunya Pantai Seger Kuta," kata peneliti Ilmu Kajian Budaya Universitas Pendidikan Mandalika Lalu Ari Irawan, di Lombok, Jumat (10/2). Perayaan umumnya ini dilakukan hanya sekali dalam setahun, berdasarkan penanggalan tradisional di Lombok Festival Bau Nyale tahun ini jatuh pada bulan Februari. Saking besarnya, perayaan ini biasanya diiringi pula dengan pentas musik besar dan mengundang sejumlah artis untuk menghibur tiap tahunnya.

Selama Festival Bau Nyale, masyarakat lokal berburu cacing warna-warni itu pada malam atau dini hari sebelum terbit matahari. Bahkan, banyak dari mereka yang menginap di sekitar pantai untuk berburu selama beberapa hari.

Pada saat berburu nyale, masyarakat biasanya mencari sambil mengumpat, yang dipercaya warga lokal sebagai ibarat pangeran yang sedang jengkel, selain akan memunculkan lebih banyak Nyale.

Sejarah Bau Nyale

Sejarah Festival Bau Nyale berasal dari legenda setempat, Kerajaan Seger memiliki putri yang cantik jelita bernama Mandalika. Kecantikan Putri Mandalika memikat hati banyak pangeran.

"Mitologi Putri Mandalika dipercayai sebagai kebenaran spiritual yang menjadi keyakinan kolektif masyarakat pengusungnya. Kisahnya diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi," kata Lalu Ari Irawan.

Banyak pangeran yang melamar sang putri, namun, tidak ada satu pun yang diterima. Putri Mandalika khawatir jika menerima salah satu lamaran, maka akan menimbulkan peperangan.

Dua pangeran bersikeras ingin meminang. Mereka mengancam akan berperang dan menimbulkan kehancuran di Lombok jika Putri Mandalika tidak menerima pinangannya.

Putri Mandalika pun menjadi gundah dan memohon petunjuk pada Tuhan. Setelah mendapat petunjuk melalui mimpi, sang putri akhirnya memutuskan untuk menceburkan diri ke laut dan menjelma menjadi nyale.

Sesaat setelah Sang Putri menceburkan diri, konon muncul binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak, yang kini disebut sebagai nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut.

Masyarakat Lombok percaya bahwa binatang itu adalah jelmaan dari Sang Putri. Mereka akan berlomba-lomba mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati menjadi ragam hidangan sebagai rasa cinta kasih.

"Sebelum keluar Nyale, masyarakat menandai dengan berbagai peristiwa alam, dimulai dari munculnya jamur, air laut pasang, hujan lebat yang turun setiap hari," imbuh Ari.

Putri Mandalika menceburkan diri ke laut pada tanggal 20 bulan ke-10 tahun Sasak. Menurut perhitungan kalender suku Sasak, bulan ke-1 dimulai pada 25 Mei dan setiap bulan memiliki 30 hari.

Berbeda dengan tahun Masehi, bulan ke-10 tahun Sasak jatuh pada Februari.

Masyarakat NTB banyak yang mengikuti tradisi ini karena meyakini nyale dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan keburukan bagi orang yang meremehkannya.

Perayaan ini juga dijadikan penanda musim bagi masyarakat lokal, setelah Bau Nyale, musim hujan akan berganti menjadi kemarau.

Baca juga: Membereskan residu masalah pekerja migran Indonesia di Malaysia pascakasus di Nilai Spring
Baca juga: Sidang awal gugatan perdata kasus Adelina Lisao digelar 15 Maret


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bau Nyale, festival legendaris dari Lombok

Pewarta : Pamela Sakina
Editor : Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2024