Kuala Lumpur (ANTARA) - Penangkapan 67 warga negara Indonesia (WNI) dalam operasi di Nilai Spring, Negeri Sembilan, Malaysia, menjadi catatan penting bagi penyelesaian persoalan pekerja migran Indonesia (PMI) yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia dan Malaysia.
Media lokal melaporkan pada 1 Februari lalu pada pukul 01.30 dini hari waktu setempat, Departemen Imigrasi Malaysia Negeri Sembilan (JIMNS) menyerbu permukiman ilegal di sebuah perkebunan di wilayah Nilai Spring, Negeri Sembilan.
Dalam reportase itu disebutkan petugas imigrasi menyerbu lokasi yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari jalan utama Nilai Spring dalam satu operasi, setelah menerima aduan masyarakat setempat, dengan bantuan Pasukan Gerakan Am (PGA), Jabatan Pendaftaran Negara (JPN), dan Angkatan Pertahanan Awam Malaysia (APM).
Dari operasi itu, aparat menahan 67 orang pendatang asing tanpa izin (PATI) yang berusia antara 2 bulan hingga 72 tahun, terdiri atas 11 laki-laki, 20 perempuan, 20 anak laki-laki, dan 16 anak perempuan.
Pejabat JIMNS meyakini PATI tinggal di permukiman tersebut agar tidak terdeteksi oleh pihak berwenang. Dan saat operasi, beberapa senjata tajam seperti tombak dan parang ditemukan di tempat mereka.
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia Hermono di Kuala Lumpur mengatakan prinsipnya Indonesia tidak mempersoalkan masalah penegakan hukum kepada para PATI karena masalah itu merupakan kedaulatan Malaysia.
Namun, ia mengatakan Indonesia meminta agar dalam proses penegakan hukum perlu memperhatikan aspek-aspek lain, yaitu aspek hak asasi manusia (HAM). Apalagi ada anak-anak yang secara internasional dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan juga ada Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak.
“Jadi penegakan hukum harus memperhatikan itu juga, termasuk hak perempuan. Juga ada di situ,” ujar Hermono kepada ANTARA di Kuala Lumpur, Rabu (8/2).
Menyentuh majikan
Pemerintah Indonesia juga minta penegakan hukum terhadap PATI harus adil, artinya semua pihak yang melanggar undang-undang di Malaysia juga harus ditindak.
Sementara, yang saat ini terlihat ditindak hanya PATI, sedangkan majikannya hampir tidak pernah ditindak. "Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak signifikan," ujar Hermono.
Baca juga: PMI di Malaysia sambut baik perpanjangan program rekalibrasi tenaga kerja
Baca juga: Serikat buruh migran berharap majikan mau mengurus rekalibrasi pekerjanya
Mereka di Nilai Spring juga bukan sedang piknik karena mereka bekerja. Karena itu, ia menegaskan majikan juga harus ditindak. Di antara mereka ada yang mengatakan gaji belum dibayar karenanya pantas jika majikan pun harus ditindak.
Menurut Hermono, penegakan hukum menjadi hanya sepihak saja. Malaysia hanya memanfaatkan para PATI saja, begitu ada masalah, mereka ditindak.
“Masalah PATI di Malaysia bukan 100.000-200.000 tapi jutaan (orang), lalu bagaimana penegakan hukum terhadap majikan? Jadi itu yang kita minta. Jadi kalau Malaysia mau menindak PATI, majikannya juga harus ditindak juga. Karena semua PATI pasti ada majikannya, enggak ada PATI yang enggak punya majikan. Artinya ada yang mempekerjakan,” kata Hermono.
Hak anak dan perempuan
Pada Selasa (7/2), Hermono menemui 67 WNI yang berada di Depot Imigrasi Lenggeng, Negeri Sembilan. Menurut dia, di sana juga ada masalah ketakutan anak-anak.
Jadi memang anak perempuan disatukan dengan ibunya dan anak laki-laki dengan bapak mereka dalam ruang berbentuk bangsal. Akan tetapi di sana ada tahanan lain.
Kondisi tersebut bagi anak-anak tentu akan buat trauma psikologis untuk masa depan mereka. Karena itu, Pemerintah Indonesia meminta Malaysia mendeportasi mereka sesegera mungkin.
Hal itu juga harus diperhatikan karena bagaimanapun di dalam penjara, bagi anak-anak menimbulkan suatu pengalaman traumatik.
“Memang di sana ada orang tuanya, tapi anak-anak adalah anak-anak, bukan tempatnya di tahanan. Ini juga harus kita minta kepada mereka,” kata Hermono.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur sudah memberikan bantuan pakaian, pampers (popok), dan lain-lain. Mereka akan mengirimkan lagi pakaian dan keperluan lainnya mengingat mereka yang ditahan tidak membawa apa pun.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI juga telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait dengan razia dan penangkapan di Nilai Spring tersebut, yang intinya semua harus memperhatikan hak-hak anak dan perempuan.
Termasuk merekomendasikan kepada SUHAKAM yang merupakan Komnas HAM Malaysia, untuk melakukan investigasi dugaan pelanggaran terhadap hak asasi manusia saat razia yang berujung pada penangkapan dan penahanan terjadi.
Menanggapi rekomendasi Komnas HAM RI tersebut, Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Datuk Seri Khairul Dzaimee Daud dalam pernyataan medianya pada Selasa (7/2), mengatakan operasi yang dilaksanakan oleh imigrasi terorganisasi dan mengikuti SOP yang ditetapkan.
Penahanan dilakukan karena mereka tidak memiliki dokumen identitas diri, melebihi masa tinggal, dan kesalahan lain melanggar Akta Imigrasi 1957/63, Akta Paspor 1966, dan Peraturan-Peraturan Imigrasi 1963.
Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Sabtu (14-1-2023).
Dari pemeriksaan, menurut dia, para WNI tersebut tidak berniat untuk pulang, sebaliknya ingin terus berada di sini dalam waktu panjang walau tanpa dokumen yang sah.
Ia juga mengatakan operasi tersebut tidak terkait dengan pelaksanaan Program Rekalibrasi Tenaga Kerja 2.0 (RTK 2.0) yang berlaku mulai pada 27 Januari hingga 31 Desember 2023.
Berkaitan dengan soal kesejahteraan tahanan di depot-depot tahanan Imigrasi, ia mengatakan pihaknya selalu memastikan semua aspek kesejahteraan tahanan selalu terjaga dengan mematuhi standar yang ditetapkan termasuk kepada tahanan wanita dan anak-anak.
Soal perlindungan dan kesejahteraan warga asing khususnya anak-anak, katanya, selalu dilindungi. Hal itu juga menjadi agenda pertemuan Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail dengan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 31 Januari lalu.
Penahanan paspor
Menurut Hermono, ada di antara WNI yang ditangkap di Nilai Spring memiliki permit namun memang ditahan oleh majikan sehingga tidak memegang dokumen.
Itu sebuah pelanggaran majikan menahan paspor sehingga berdampak pada penangkapan. “Kalau tidak ditahan paspornya pasti tidak ditangkap," katanya.
Penahanan paspor pekerja adalah praktik yang sangat umum di Malaysia. Hermono mengatakan menahan dokumen identitas seorang pekerja juga merupakan pelanggaran.
“Itu sangat umum, bukan masalah 1.000-2.000 orang yang paspornya ditahan supaya enggak lari atau sebagai apa. Akan tetapi ini kan namanya pemaksaan, orang untuk bekerja tidak bisa lari karena paspornya ditahan,” ujar dia.
Baca juga: Indonesia mengharapkan Anwar Ibrahim segera selesaikan isu PMI di Malaysia
Baca juga: Joko Widodo menyambut baik komitmen PM Malaysia lindungi PMI
Hal seperti itu, Hermono mengatakan perlu juga ditindak jika Malaysia komitmen menyelesaikan masalah PATI. Sudah bertahun-tahun Malaysia hidup dengan jutaan PATI, bukan baru sekarang, ekonomi Malaysia juga digerakkan oleh PATI.
Mereka harus mengakui karena mungkin jumlah PATI juga lebih banyak dari yang legal, tidak cuma berasal dari Indonesia karena ada juga dari Bangladesh dan India, sedangkan dari Filipina relatif sedikit.
Maka Hermono meminta 67 WNI yang ditahan di Nilai Spring untuk segera dipulangkan bersamaan. Pemerintah Indonesia akan menanggung biaya pemulangan. “Itu yang terpenting," katanya.
Selain itu, ia mengatakan kejadian tersebut perlu dilihat dengan baik, dan juga disampaikan ke publik di Malaysia dan Indonesia, bagaimana persoalan PMI di Malaysia dapat diselesaikan dalam waktu 6 bulan.
Yang terlihat sekarang tidak ada tindakan yang berkontribusi menyelesaikan masalah pekerja migran Indonesia di Malaysia. Sebaliknya justru memperburuk suasana hanya dengan mengedepankan masalah penegakan hukum secara sepihak karena para pekerja yang terus dikejar-kejar, sedangkan majikannya bebas saja.
Jadi itu pun, menurut dia, tidak berkontribusi mewujudkan apa yang dijanjikan Perdana Menteri Anwar Ibrahim kepada Presiden Joko Widodo dan juga kepada rakyat Indonesia, mengingat saat menyampaikan akan menyelesaikan persoalan PMI di Malaysia dalam waktu 6 bulan dilakukan saat dirinya berbicara di hadapan publik di CT Corp saat melakukan kunjungan resmi ke Jakarta, pada awal Januari 2023.
Menurut Hermono, penyelesaian persoalan PMI dalam waktu 6 bulan mustahil jika penyelesaiannya seperti yang terjadi di Nilai Spring. Harus mengedepankan aspek HAM, bukan cuma penegakan hukumnya.
Mereka memang melanggar hukum tapi dalam penegakan hukumnya harus perhatikan aspek lain karena ada hak anak di sana, ada hak akses pendidikan untuk anak, ada elemen perlindungan perempuan, yang mana dalam konvensi internasional, Malaysia juga terlibat karena menjadi negara para pihak, kata Hermono.
Intinya apa yang terjadi di Malaysia perlu solusi strategis dengan melibatkan pengambil keputusan tertinggi karena ada hak anak dan juga hak pendidikan yang perlu dipenuhi.
Ia pun merekomendasikan untuk menghentikan dulu seluruh penempatan tenaga kerja ke Malaysia agar kedua negara dapat menyelesaikan masalah residual di sana.
“Saya sudah bilang kemarin bahwa sejalan dengan komitmen Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk menyelesaikan masalah residu yang ada sekarang ya kita hentikan dulu penempatan dan kita fokus menyelesaikan masalah-masalah yang ada di depan mata kita ini,” ujar dia seraya menyatakan meski tidak semua akan setuju dengan rekomendasi tersebut.
Dalam sekapur sirih Kenangan 51 Tahun Silam di buku "Setengah Abad Hubungan Malaysia-Indonesia", Des Alwi, yang merupakan sejarawan, diplomat, penulis, dan advokat Indonesia dari Kepulauan Banda, menulis pengiriman guru ke Malaysia dari Indonesia dilakukan sejak akhir 1960-an dan berlanjut dengan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) sejak 1980-an.
TKI yang dikirim ke Malaysia sangat menguntungkan kedua belah pihak karena di Malaysia tenaga kerja Indonesia banyak dipakai untuk membangun, salah satunya Putrajaya dan lain-lain, dan banyak ahli yang bekerja di Malaysia.
Sebaliknya, Indonesia mendapat devisa dari tenaga kerja yang bekerja di Malaysia sekitar ratusan ribuan dolar AS per tahun, tulis Des Alwi.
Dalam masa panjang hubungan dua negara terkait penempatan tenaga kerja itu, pada kenyataannya tidak semuanya berjalan mulus.
Oleh karena itu, respons pemimpin tertinggi kedua negara diyakini dapat mempercepat penyelesaian residu dari persoalan pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Baca juga: KJRI Kuching dampingi pemulangan 200 WNI dari Malaysia
Baca juga: Kemnaker laporkan kasus penempatan migran nonprosedural ke Polda Jatim
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membereskan residu masalah PMI di Malaysia pascakasus di Nilai Spring
Media lokal melaporkan pada 1 Februari lalu pada pukul 01.30 dini hari waktu setempat, Departemen Imigrasi Malaysia Negeri Sembilan (JIMNS) menyerbu permukiman ilegal di sebuah perkebunan di wilayah Nilai Spring, Negeri Sembilan.
Dalam reportase itu disebutkan petugas imigrasi menyerbu lokasi yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari jalan utama Nilai Spring dalam satu operasi, setelah menerima aduan masyarakat setempat, dengan bantuan Pasukan Gerakan Am (PGA), Jabatan Pendaftaran Negara (JPN), dan Angkatan Pertahanan Awam Malaysia (APM).
Dari operasi itu, aparat menahan 67 orang pendatang asing tanpa izin (PATI) yang berusia antara 2 bulan hingga 72 tahun, terdiri atas 11 laki-laki, 20 perempuan, 20 anak laki-laki, dan 16 anak perempuan.
Pejabat JIMNS meyakini PATI tinggal di permukiman tersebut agar tidak terdeteksi oleh pihak berwenang. Dan saat operasi, beberapa senjata tajam seperti tombak dan parang ditemukan di tempat mereka.
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia Hermono di Kuala Lumpur mengatakan prinsipnya Indonesia tidak mempersoalkan masalah penegakan hukum kepada para PATI karena masalah itu merupakan kedaulatan Malaysia.
Namun, ia mengatakan Indonesia meminta agar dalam proses penegakan hukum perlu memperhatikan aspek-aspek lain, yaitu aspek hak asasi manusia (HAM). Apalagi ada anak-anak yang secara internasional dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan juga ada Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak.
“Jadi penegakan hukum harus memperhatikan itu juga, termasuk hak perempuan. Juga ada di situ,” ujar Hermono kepada ANTARA di Kuala Lumpur, Rabu (8/2).
Menyentuh majikan
Pemerintah Indonesia juga minta penegakan hukum terhadap PATI harus adil, artinya semua pihak yang melanggar undang-undang di Malaysia juga harus ditindak.
Sementara, yang saat ini terlihat ditindak hanya PATI, sedangkan majikannya hampir tidak pernah ditindak. "Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak signifikan," ujar Hermono.
Baca juga: PMI di Malaysia sambut baik perpanjangan program rekalibrasi tenaga kerja
Baca juga: Serikat buruh migran berharap majikan mau mengurus rekalibrasi pekerjanya
Mereka di Nilai Spring juga bukan sedang piknik karena mereka bekerja. Karena itu, ia menegaskan majikan juga harus ditindak. Di antara mereka ada yang mengatakan gaji belum dibayar karenanya pantas jika majikan pun harus ditindak.
Menurut Hermono, penegakan hukum menjadi hanya sepihak saja. Malaysia hanya memanfaatkan para PATI saja, begitu ada masalah, mereka ditindak.
“Masalah PATI di Malaysia bukan 100.000-200.000 tapi jutaan (orang), lalu bagaimana penegakan hukum terhadap majikan? Jadi itu yang kita minta. Jadi kalau Malaysia mau menindak PATI, majikannya juga harus ditindak juga. Karena semua PATI pasti ada majikannya, enggak ada PATI yang enggak punya majikan. Artinya ada yang mempekerjakan,” kata Hermono.
Hak anak dan perempuan
Pada Selasa (7/2), Hermono menemui 67 WNI yang berada di Depot Imigrasi Lenggeng, Negeri Sembilan. Menurut dia, di sana juga ada masalah ketakutan anak-anak.
Jadi memang anak perempuan disatukan dengan ibunya dan anak laki-laki dengan bapak mereka dalam ruang berbentuk bangsal. Akan tetapi di sana ada tahanan lain.
Kondisi tersebut bagi anak-anak tentu akan buat trauma psikologis untuk masa depan mereka. Karena itu, Pemerintah Indonesia meminta Malaysia mendeportasi mereka sesegera mungkin.
Hal itu juga harus diperhatikan karena bagaimanapun di dalam penjara, bagi anak-anak menimbulkan suatu pengalaman traumatik.
“Memang di sana ada orang tuanya, tapi anak-anak adalah anak-anak, bukan tempatnya di tahanan. Ini juga harus kita minta kepada mereka,” kata Hermono.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur sudah memberikan bantuan pakaian, pampers (popok), dan lain-lain. Mereka akan mengirimkan lagi pakaian dan keperluan lainnya mengingat mereka yang ditahan tidak membawa apa pun.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI juga telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait dengan razia dan penangkapan di Nilai Spring tersebut, yang intinya semua harus memperhatikan hak-hak anak dan perempuan.
Termasuk merekomendasikan kepada SUHAKAM yang merupakan Komnas HAM Malaysia, untuk melakukan investigasi dugaan pelanggaran terhadap hak asasi manusia saat razia yang berujung pada penangkapan dan penahanan terjadi.
Menanggapi rekomendasi Komnas HAM RI tersebut, Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Datuk Seri Khairul Dzaimee Daud dalam pernyataan medianya pada Selasa (7/2), mengatakan operasi yang dilaksanakan oleh imigrasi terorganisasi dan mengikuti SOP yang ditetapkan.
Penahanan dilakukan karena mereka tidak memiliki dokumen identitas diri, melebihi masa tinggal, dan kesalahan lain melanggar Akta Imigrasi 1957/63, Akta Paspor 1966, dan Peraturan-Peraturan Imigrasi 1963.
Dari pemeriksaan, menurut dia, para WNI tersebut tidak berniat untuk pulang, sebaliknya ingin terus berada di sini dalam waktu panjang walau tanpa dokumen yang sah.
Ia juga mengatakan operasi tersebut tidak terkait dengan pelaksanaan Program Rekalibrasi Tenaga Kerja 2.0 (RTK 2.0) yang berlaku mulai pada 27 Januari hingga 31 Desember 2023.
Berkaitan dengan soal kesejahteraan tahanan di depot-depot tahanan Imigrasi, ia mengatakan pihaknya selalu memastikan semua aspek kesejahteraan tahanan selalu terjaga dengan mematuhi standar yang ditetapkan termasuk kepada tahanan wanita dan anak-anak.
Soal perlindungan dan kesejahteraan warga asing khususnya anak-anak, katanya, selalu dilindungi. Hal itu juga menjadi agenda pertemuan Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail dengan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 31 Januari lalu.
Penahanan paspor
Menurut Hermono, ada di antara WNI yang ditangkap di Nilai Spring memiliki permit namun memang ditahan oleh majikan sehingga tidak memegang dokumen.
Itu sebuah pelanggaran majikan menahan paspor sehingga berdampak pada penangkapan. “Kalau tidak ditahan paspornya pasti tidak ditangkap," katanya.
Penahanan paspor pekerja adalah praktik yang sangat umum di Malaysia. Hermono mengatakan menahan dokumen identitas seorang pekerja juga merupakan pelanggaran.
“Itu sangat umum, bukan masalah 1.000-2.000 orang yang paspornya ditahan supaya enggak lari atau sebagai apa. Akan tetapi ini kan namanya pemaksaan, orang untuk bekerja tidak bisa lari karena paspornya ditahan,” ujar dia.
Baca juga: Indonesia mengharapkan Anwar Ibrahim segera selesaikan isu PMI di Malaysia
Baca juga: Joko Widodo menyambut baik komitmen PM Malaysia lindungi PMI
Hal seperti itu, Hermono mengatakan perlu juga ditindak jika Malaysia komitmen menyelesaikan masalah PATI. Sudah bertahun-tahun Malaysia hidup dengan jutaan PATI, bukan baru sekarang, ekonomi Malaysia juga digerakkan oleh PATI.
Mereka harus mengakui karena mungkin jumlah PATI juga lebih banyak dari yang legal, tidak cuma berasal dari Indonesia karena ada juga dari Bangladesh dan India, sedangkan dari Filipina relatif sedikit.
Maka Hermono meminta 67 WNI yang ditahan di Nilai Spring untuk segera dipulangkan bersamaan. Pemerintah Indonesia akan menanggung biaya pemulangan. “Itu yang terpenting," katanya.
Selain itu, ia mengatakan kejadian tersebut perlu dilihat dengan baik, dan juga disampaikan ke publik di Malaysia dan Indonesia, bagaimana persoalan PMI di Malaysia dapat diselesaikan dalam waktu 6 bulan.
Yang terlihat sekarang tidak ada tindakan yang berkontribusi menyelesaikan masalah pekerja migran Indonesia di Malaysia. Sebaliknya justru memperburuk suasana hanya dengan mengedepankan masalah penegakan hukum secara sepihak karena para pekerja yang terus dikejar-kejar, sedangkan majikannya bebas saja.
Jadi itu pun, menurut dia, tidak berkontribusi mewujudkan apa yang dijanjikan Perdana Menteri Anwar Ibrahim kepada Presiden Joko Widodo dan juga kepada rakyat Indonesia, mengingat saat menyampaikan akan menyelesaikan persoalan PMI di Malaysia dalam waktu 6 bulan dilakukan saat dirinya berbicara di hadapan publik di CT Corp saat melakukan kunjungan resmi ke Jakarta, pada awal Januari 2023.
Menurut Hermono, penyelesaian persoalan PMI dalam waktu 6 bulan mustahil jika penyelesaiannya seperti yang terjadi di Nilai Spring. Harus mengedepankan aspek HAM, bukan cuma penegakan hukumnya.
Mereka memang melanggar hukum tapi dalam penegakan hukumnya harus perhatikan aspek lain karena ada hak anak di sana, ada hak akses pendidikan untuk anak, ada elemen perlindungan perempuan, yang mana dalam konvensi internasional, Malaysia juga terlibat karena menjadi negara para pihak, kata Hermono.
Intinya apa yang terjadi di Malaysia perlu solusi strategis dengan melibatkan pengambil keputusan tertinggi karena ada hak anak dan juga hak pendidikan yang perlu dipenuhi.
Ia pun merekomendasikan untuk menghentikan dulu seluruh penempatan tenaga kerja ke Malaysia agar kedua negara dapat menyelesaikan masalah residual di sana.
“Saya sudah bilang kemarin bahwa sejalan dengan komitmen Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk menyelesaikan masalah residu yang ada sekarang ya kita hentikan dulu penempatan dan kita fokus menyelesaikan masalah-masalah yang ada di depan mata kita ini,” ujar dia seraya menyatakan meski tidak semua akan setuju dengan rekomendasi tersebut.
Dalam sekapur sirih Kenangan 51 Tahun Silam di buku "Setengah Abad Hubungan Malaysia-Indonesia", Des Alwi, yang merupakan sejarawan, diplomat, penulis, dan advokat Indonesia dari Kepulauan Banda, menulis pengiriman guru ke Malaysia dari Indonesia dilakukan sejak akhir 1960-an dan berlanjut dengan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) sejak 1980-an.
TKI yang dikirim ke Malaysia sangat menguntungkan kedua belah pihak karena di Malaysia tenaga kerja Indonesia banyak dipakai untuk membangun, salah satunya Putrajaya dan lain-lain, dan banyak ahli yang bekerja di Malaysia.
Sebaliknya, Indonesia mendapat devisa dari tenaga kerja yang bekerja di Malaysia sekitar ratusan ribuan dolar AS per tahun, tulis Des Alwi.
Dalam masa panjang hubungan dua negara terkait penempatan tenaga kerja itu, pada kenyataannya tidak semuanya berjalan mulus.
Oleh karena itu, respons pemimpin tertinggi kedua negara diyakini dapat mempercepat penyelesaian residu dari persoalan pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Baca juga: KJRI Kuching dampingi pemulangan 200 WNI dari Malaysia
Baca juga: Kemnaker laporkan kasus penempatan migran nonprosedural ke Polda Jatim
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membereskan residu masalah PMI di Malaysia pascakasus di Nilai Spring