Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan bahwa aspek keselamatan bagi jurnalis harus tersinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
"Selama ini kita bicara keselamatan, tetapi definisi keselamatan belum tersinkronisasi khususnya Undang-Undang Keselamatan Kerja, yang mana keselamatan kerja mencakup cukup luas, ya, dari aspek industrial hingga kekerasan," kata Ade yang hadir secara daring dalam merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 di Jakarta, Kamis.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa aspek keselamatan untuk jurnalis harus dibicarakan secara komprehensif.
"Jadi keselamatan jurnalis bukan cuma kekerasan, tetapi keselamatan terhadap lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan berbagai macam lainnya," ujarnya.
Sementara itu, ia menyebut terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi jurnalis saat mengalami kekerasan, sehingga berpengaruh terhadap keselamatannya.
"Tantangan yang cukup besar yang dialami oleh teman-teman jurnalis ketika berhadapan dengan hukum, yaitu, pertama, adalah keengganan teman-teman jurnalis yang jadi korban untuk melaporkan tindak pidana itu kepada pihak berwajib," katanya.
Ia mengatakan bahwa jurnalis enggan melaporkan karena melihat kasus-kasus yang dilaporkan terdahulu tidak memiliki progres yang cukup signifikan.
Berikutnya, kata dia, perusahaan pers mencabut laporan untuk tidak melanjutkan kasus kekerasan tersebut karena mempertimbangkan proses hukum yang memakan waktu tidak sebentar.
Ia menjelaskan seperti mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, sampai persidangan membutuhkan waktu yang panjang.
"Dan ketika sudah berkomitmen melakukan proses hukum, maka dia harus berkomitmen hadir dalam setiap proses itu, baik ketika dipanggil pihak penyidik dia harus datang, persidangan juga harus datang. Pertimbangan efektivitas atau waktu itu juga jadi pertimbangan mereka untuk menarik diri," katanya.
Walaupun demikian, dia mengingatkan tidak seharusnya kekerasan yang mengancam keselamatan jurnalis dibiarkan seperti itu.
"Di aspek yang lebih jauh sebenarnya itu merugikan terhadap kekerasan yang terjadi karena bisa membuat pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan," ujarnya.
Sebelumnya, Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman berkolaborasi dengan lembaga survei Populix merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, yang disebut mencapai angka sebesar 59,8 dari 100 atau termasuk kategori agak terlindungi.
Pengambilan data Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 dilakukan dengan menggunakan metode campuran, yakni kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan data dilakukan mulai 1 Januari 2024 hingga 13 Februari 2024.
Pada metode kuantitatif, dilakukan survei terhadap 536 responden dari jurnalis aktif, dan juga data kuantitatif lain berasal dari data sekunder yang dikumpulkan oleh AJI untuk bahan faktor koreksi, yakni data aktual kekerasan terhadap jurnalis selama 2019-2023.
Untuk metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan cara "focus group discussion" (FGD) atau diskusi kelompok terpumpun, dan juga wawancara mendalam kepada beberapa pemangku kepentingan.
Adapun "margin of error" (toleransi kesalahan) tidak diatur dan terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijawab lebih dari sekali atau "multiple answered".
Pengambilan data kuantitatif dilakukan terhadap jaringan-jaringan jurnalis yang disebar di tempat liputan atau ruang media untuk mendapatkan keterwakilan setiap wilayah.
Pengambilan data kualitatif di wilayah Jawa menggunakan jaringan aliansi AJI atau asosiasi jurnalis lainnya, sedangkan di luar Jawa, data diambil berdasarkan pengelompokan wilayaj.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: LBH Pers sebut keselamatan jurnalis harus sinkron dengan UU KK
"Selama ini kita bicara keselamatan, tetapi definisi keselamatan belum tersinkronisasi khususnya Undang-Undang Keselamatan Kerja, yang mana keselamatan kerja mencakup cukup luas, ya, dari aspek industrial hingga kekerasan," kata Ade yang hadir secara daring dalam merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 di Jakarta, Kamis.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa aspek keselamatan untuk jurnalis harus dibicarakan secara komprehensif.
"Jadi keselamatan jurnalis bukan cuma kekerasan, tetapi keselamatan terhadap lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan berbagai macam lainnya," ujarnya.
Sementara itu, ia menyebut terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi jurnalis saat mengalami kekerasan, sehingga berpengaruh terhadap keselamatannya.
"Tantangan yang cukup besar yang dialami oleh teman-teman jurnalis ketika berhadapan dengan hukum, yaitu, pertama, adalah keengganan teman-teman jurnalis yang jadi korban untuk melaporkan tindak pidana itu kepada pihak berwajib," katanya.
Ia mengatakan bahwa jurnalis enggan melaporkan karena melihat kasus-kasus yang dilaporkan terdahulu tidak memiliki progres yang cukup signifikan.
Berikutnya, kata dia, perusahaan pers mencabut laporan untuk tidak melanjutkan kasus kekerasan tersebut karena mempertimbangkan proses hukum yang memakan waktu tidak sebentar.
Ia menjelaskan seperti mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, sampai persidangan membutuhkan waktu yang panjang.
"Dan ketika sudah berkomitmen melakukan proses hukum, maka dia harus berkomitmen hadir dalam setiap proses itu, baik ketika dipanggil pihak penyidik dia harus datang, persidangan juga harus datang. Pertimbangan efektivitas atau waktu itu juga jadi pertimbangan mereka untuk menarik diri," katanya.
Walaupun demikian, dia mengingatkan tidak seharusnya kekerasan yang mengancam keselamatan jurnalis dibiarkan seperti itu.
"Di aspek yang lebih jauh sebenarnya itu merugikan terhadap kekerasan yang terjadi karena bisa membuat pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan," ujarnya.
Sebelumnya, Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman berkolaborasi dengan lembaga survei Populix merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, yang disebut mencapai angka sebesar 59,8 dari 100 atau termasuk kategori agak terlindungi.
Pengambilan data Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 dilakukan dengan menggunakan metode campuran, yakni kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan data dilakukan mulai 1 Januari 2024 hingga 13 Februari 2024.
Pada metode kuantitatif, dilakukan survei terhadap 536 responden dari jurnalis aktif, dan juga data kuantitatif lain berasal dari data sekunder yang dikumpulkan oleh AJI untuk bahan faktor koreksi, yakni data aktual kekerasan terhadap jurnalis selama 2019-2023.
Untuk metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan cara "focus group discussion" (FGD) atau diskusi kelompok terpumpun, dan juga wawancara mendalam kepada beberapa pemangku kepentingan.
Adapun "margin of error" (toleransi kesalahan) tidak diatur dan terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijawab lebih dari sekali atau "multiple answered".
Pengambilan data kuantitatif dilakukan terhadap jaringan-jaringan jurnalis yang disebar di tempat liputan atau ruang media untuk mendapatkan keterwakilan setiap wilayah.
Pengambilan data kualitatif di wilayah Jawa menggunakan jaringan aliansi AJI atau asosiasi jurnalis lainnya, sedangkan di luar Jawa, data diambil berdasarkan pengelompokan wilayaj.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: LBH Pers sebut keselamatan jurnalis harus sinkron dengan UU KK