Jakarta, (AntaraKL) - "Kalau nanti Bapak sampai meninggal belum sempat melihat hilal, Bapak enggak rida." Itulah sepenggal dialog yang terlontar dari Mahmud saat dilarang anak perempuannya Hilda agar dia tidak pergi sendirian untuk melihat hilal menjelang Idulfitri.

Hilal adalah bulan sabit pertama yang dapat dilihat setelah terjadi konjungsi. Umat Islam yang menggunakan perhitungan bulan, menunggu hilal sebagai pertanda masuknya bulan baru.

Keinginan Mahmud untuk melihat hilal bermula setelah dia mengetahui bahwa sidang isbat yang diselenggarakan Kementerian Agama menelan dana hingga Rp9 miliar.

Ia yang berprofesi sebagai pedagang kelontong di pasar selalu menerapkann perintah Islam secara kafah di dalam segala aspek hidupnya. Untuk itu, dia ingin kembali mengulang masa mencari hilal pada saat duduk di bangku pesantren.

Namun, karena umurnya sudah tua dan kondisi kesehatannya mulai menurun, akhirnya Hilda menyuruh adiknya semata wayang Heli untuk menemani ayahnya.

Heli yang berprofesi sebagai aktivis menolak mentah-mentah permintaan kakaknya tersebut. Dia enggan bepergian dengan ayahnya karena hubungan keduanya selama ini renggang.

Dengan sedikit ancaman dari Hilda yang bekerja di Kantor Imigrasi, bahwa paspornya yang dia butuhkan untuk pergi ke Nikaragua tidak diurus, Heli pun dengan berat hati untuk menemaninya.

Dalam perjalanan, Heli selalu mempertanyakan segala hal yang dilakukan ayanya karena dia merasa apa pun yang dilakukan oleh ayahnya tidak sejalan dengan pemikirannya.

Ayahnya pun lelah meladeni pertanyaan Heli, menyuruhnya untuk berhenti bertanya dan ikuti saja ke mana dia pergi.

Dalam perjalanan itu, mereka menemukan berbagai hal, seperti perbedaan cara pandang masyarakat dalam mengartikan ajaran agama.

Perjalanan itu pun juga menjadi momen keduanya berusaha memperbaiki hubungan satu sama lain.

Film "Mencari Hilal" berusaha menampilkan keadaan hubungan masyarakat Islam yang begitu beragam dari perjalanan ayah dan anak ini.

Sering kali isu-isu agama yang berbeda cara pandang menjadi pemicu perpecahan, mulai dari perbedaan penentuan hilal, hingga hubungan dengan pemeluk agama lain.

Padahal, masalah-masalah tersebut dapat terselesaikan tanpa kekerasan asalkan semua pihak dapat saling memahami dan saling menghargai.

Film ini juga dapat dijadikan film keluarga, yang menyoroti hubungan ayah dan anak laki-lakinya yang sering tidak harmonis.

Deddy Sutomo yang berperan sebagai ayah dari Heli yang diperankan oleh Oka Antara sangat menjiwai lakonnya dalam film tersebut. Aktingnya begitu alami, takheran penonton akan tersentuh melihat dua orang lintas generasi tersebut dalam film itu.

Penonton disajikan suasana kaku dari hubungan yang tidak harmonis. Seiring dengan makin banyak waktu yang dihabiskan, hubungan mereka pun mulai lumer.

Penonton dapat merasakan saat ayahnya yang gengsi menunjukkan rasa sayang kepada anaknya, dan anak yang selalu berpendapat bahwa ayahnya tidak pernah mengerti tentang dirinya.

Ismail Basbeth sebagai sutradara merasa tertarik untuk menggarap film tersebut karena temanya sangat dekat dengan dirinya.

Ia juga mengalami hubungan dirinya dengan Ayahnya yang tidak terlalu harmonis. Sebagai orang Islam dan warga negara Indonesia, dia merasa penting untuk menyoroti permasalahan perbedaan pandangan yang begitu plural di negeri ini.

Dalam film panjangnya kedua ini, Ismail yang pernah menyutradari film "Another Trip to the Moon" dan masuk dalam kompetisi Tiger Awards Internationa Film Festival Rotterdam 2015, ingin menyuarakan bahwa Islam sesunggguhnya bukanlah teror, melainkan indahnya pemahaman dan penerimaan.

Secara teknis, film ini adalah perpaduan yang proposional, begitu filmis, artistik tetapi tidak berlebihan.

Cerita film ini juga menampilkan proposi yang tepat, sederhana tetapi mampu menyoroti hal-hal yang kompleks, tidak berusaha menggurui, dan tidak berusaha membenarkan suatu kaum. Konflik-konflik yang ditampilkan pun sangat dekat dengan kondisi Islam di Indonesia.

Seperti bagaimana sebagian masyarakat Indonesia masih mencampurkan antara budaya dan agama, bagaimana ormas Islam sering kali melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang dianggap bertentangan dengan pandangannya.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memuji film "Mencari Hilal" sebagai film yang mampu menggugah pikiran serta hati penonton mengenai keberagaman di Indonesia, termasuk agama.

"Film ini mengajarkan bahwa cara terbaik menyikapi keragaman adalah dengan kearifan," kata Lukman.

Melalui film ini, dia berharap penonton dapat mengambil pesan moral bahwa manusia tidak dapat mengklaim kebenaran hanya dari sudut pandangnya tanpa menghormati pendapat lain.

Selain memuji kualitas skenario, Lukman juga mengapresiasi akting setiap pemain yang didukung oleh sinematografi indah berlatar belakang Kota Yogjakarta.

Menurut dia, film ini layak ditonton oleh masyarakat Indonesia sehingga dapat memetik pelajaran bagaimana menanggapi perbedaan pandang di Indonesia.

Ia berharap akan ada makin banyak film semacam "Mencari Hilal" yang dapat menjadi sarana pelajaran bagi masyarakat untuk menerima keragaman dalam kehidupan sehari-hari.

Film ini diproduksi oleh lima rumah produksi, yaitu MVP Picture, Studio Demmy J.A., Dapur Film, Argi Film, dan Mizan Production, kelima rumah produksi tersebut memang fokus meluncurkan film-film yang mendorong dialog dan pemahaman keagamaan yang toleran, pandangan itu digagas oleh Gerakan Islam Cinta dan Indonesia Tanpa Diskriminasi.

Dalam produksinya, film yang akan dirilis pada tanggal 15 Juli mendatang ini telah menelan biaya sekitar Rp2,5 miliar dan masa syuting sekitar dua minggu.

Sebelumnya, Gerakan Islam Cinta juga telah mengeluarkan film Ayat-Ayat Adinda. (Aubrey Kandlelila Fanani/sh)


Pewarta : "Karena rasa kuenya sudah berat, jadi minumannya j
Editor :
Copyright © ANTARA 2024