Kuala Lumpur (ANTARA) - Ada berbagai cerita mengapa 105 WNI yang pada Kamis (14/11) lalu akhirnya dideportasi melalui Pelabuhan Stulang Laut Malaysia di Johor Bahru menuju Pelabuhan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ternyata tidak semua dari mereka masuk dan bekerja secara ilegal.

Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air di atas kapal cepat menuju Tanjung Pinang, Ahmad Bustami (25) asal Lhokseumawe, Aceh, kepada ANTARA mengatakan sudah 4 tahun berada di Malaysia. Pada 2 tahun awal di negara itu, ia belum memiliki pekerjaan yang jelas, baru di 2 tahun berikutnya ia mulai bekerja.

Lokasi menetapnya sempat berpindah-pindah. Ia mengaku pernah digaji hanya untuk menunggui sebuah rumah kosong.

Lalu sempat juga tinggal di Chow Kit, Kuala Lumpur, sampai akhirnya bekerja di sebuah restoran di Johor dan ditangkap pihak berwenang di sana. Ia sudah sempat mengirimkan sebagian gaji hasil keringatnya ke kampung.

Ahmad anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak paling tua bekerja di Jakarta, sedangkan ibunya ada di Aceh, merawat neneknya yang sakit dan harus rutin cuci darah.

Dalam perjalanan pulang itu, ia telah berkomunikasi dengan kakaknya di Jakarta, yang kemudian memintanya untuk datang untuk mencari kerja di sana saja sehingga tidak perlu pulang ke Aceh.

Moh Rizky Maulana (20) asal Kediri, Jawa Timur, masuk ke Johor melalui Batam sebagai turis dan sempat bekerja di restoran di Johor Bahru selama 1 bulan sampai akhirnya ditangkap bersama teman-teman yang juga merupakan tetangga di kampungnya.

Ia telah menjalani proses hukum, sempat dipenjara 2 bulan sebelum dipindahkan ke Depo Imigresen Pekan Nenas dan menunggu pemulangan di sana sekitar 3,5 bulan. Di sana ia pertama kali mengenal Ahmad Bustami, dan telah saling bercerita tentang pengalaman hidup mereka masing-masing.

Meski baru sekitar sebulan, Rizky yang punya hobi dan paham fotografi itu mengatakan sudah sempat merasakan menerima gaji sebesar RM1.800 (sekitar Rp6,3 juta) dari hasil kerjanya di restoran di Johor Bahru.

Anak pertama dari empat bersaudara itu mengaku kapok jika harus kembali bekerja ke Malaysia melalui jalur tidak resmi. Ia ingin kembali ke Kalimantan, bekerja lagi di sana.

Sebelumnya ia mengatakan pernah bekerja di tambang batu bara di Kalimantan Timur selama 1,5 tahun. Baru setelah kontraknya selesai dirinya diajak tetangganya untuk bekerja di Malaysia.
  WNI yang telah menyelesaikan proses hukum di Malaysia berada di kapal cepat mengikuti pemulangan melalui Pelabuhan Stulang Laut Malaysia di Johor Bahru, Malaysia, Kamis (14/11/2024). Sebanyak 105 WNI mengikuti pemulangan bermartabat yang difasilitasi KJRI Johor Bahru dengan kapal cepat menuju pelabuhan di Tanjung Pinang, Kepualauan Riau. ANTARA/Virna P Setyorini


Sementara itu, Hotmaulina Sitohang (35) asal Medan, Sumatera Utara, mengaku bekerja di Malaysia sekitar 1,5 tahun sampai kemudian ditangkap pihak berwenang bersama bayinya yang masih berusia 6,5 bulan.

Suaminya asal Purwodadi, Jawa Tengah, yang memiliki visa kerja sah masih bekerja saat ia dan bayinya ditangkap. Mereka menikah secara agama di Malaysia hingga kemudian memiliki anak.

Ia mengaku kapok harus merasakan lantai dingin depo selama 1,5 bulan sebelum akhirnya dideportasi. Karena itu, ia lega ketika bisa lebih cepat kembali ke Tanah Air bersama bayinya.

Pada kondisi itu ia mengatakan bersyukur karena bayi perempuannya kuat, tidak rewel, dan mudah akrab dengan siapa saja. Bayi mungil itu seolah tahu mereka sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja sehingga tidak mau semakin menyulitkan orang tuanya.

Saat di depo maupun di rumah perlindungan, banyak rekan WNI lainnya yang mau membantu mengasuh bayinya itu. Mereka bergantian menggendong atau sekadar mengajaknya bermain sehingga sang ibu bisa memiliki waktu beristirahat.

Lain lagi cerita Andriko (42), pemegang MyPR, kartu identitas Malaysia untuk penduduk tetap atau permanent resident. Ia mengaku pertama kali masuk negara itu saat usianya empat tahun bersama kedua orang tuanya yang mulai bekerja di sana.

Kini kedua orang tuanya telah kembali ke Tanah Air, dan menetap di Batam, Kepulauan Riau.

Ia pernah menikah dengan warga Malaysia dan dikaruniai seorang anak yang kini berusia 6 tahun dan berkewarganegaraan Malaysia. Anak itu kini harus tinggal dengan mantan istrinya setelah ia dideportasi.

Andriko bekerja sebagai supir truk logistik. Dalam sehari, dua kali menyeberangi perbatasan dua negara, Malaysia dan Singapura, untuk mengantar barang.

Perusahaannya memberi gaji RM9.000 atau sekitar Rp32,2 juta per bulan. Ia pun secara rutin membayar pajak di Malaysia, dan menyisihkan gaji untuk membayar dana pensiun karyawan (Kumpulan Wang Simpanan Pekerja/KWSP) sebesar RM1.000 (sekitar Rp3,5 juta) per bulan.

Aturan tingkat iuran dalam KWSP memang mengharuskan permanent resident seperti Andriko menyisihkan 11 persen dari gaji bulanannya, sedangkan majikan atau perusahaan, akan menanggung sisanya, yakni 12 persen, jika gaji karyawannya di atas RM5.000 (sekitar Rp18 juta) per bulan.

Pria kelahiran Padang itu terjerat kasus hukum, setelah Departemen Perlindungan Satwa Liar dan Taman Nasional (Perhilitan) menangkapnya pada 2019 lalu atas kepemilikan lima ekor burung murai batu yang di Malaysia berstatus dilindungi. Namun proses persidangan baru berjalan pada 2024 dan ia memilih hukuman denda sebesar RM35.000 (sekitar Rp126 juta) ketimbang hukuman penjara.

Imigrasi Malaysia melakukan deportasi terhadap Andriko, memotong MyPR miliknya, dan akhirnya harus keluar dari Malaysia bersama 104 WNI lainnya. Dengan demikian ia tidak dapat masuk ke Malaysia dalam 5 tahun ke depan karena masuk dalam "daftar hitam".

Andriko meluahkan banyak hal saat dalam perjalanan pulang di atas kapal cepat dan di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Tanjung Pinang. Ia berpikir keras bagaimana dapat kembali ke Malaysia untuk menemui anaknya, selain juga memikirkan pekerjaan yang terpaksa ditinggalkannya di sana.

Dan bagaimana dirinya bisa “menikmati” uang pensiun dari KWSP nantinya karena setiap bulan selama bekerja menjadi supir truk dirinya selalu menyetor uang iuran dana pensiun tersebut, patungan dengan majikannya.
 

Sementara itu, Sanjaya Ariopan (24) asal Lombok Timur, mengaku pertama kali bekerja di Malaysia dan pada awalnya masuk dan bekerja secara legal, mengikuti prosedur dan memiliki izin kerja di sebuah ladang sawit di Pahang selama dua tahun.
 
Namun ia mengaku akhirnya melarikan diri dari agen karena merasa gaji yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan, yakni RM1.500 (sekitar Rp5,3 juta). Jumlah tersebut ternyata masih harus dipotong untuk biaya hidup sehari-hari sehingga hanya dapat menerima sekitar Rp3 juta.

“Kalau tiga juta (rupiah) jauh-jauh ke Malaysia, mendingan kita kerja di Indonesia,” kata Sanjaya.

Setelah itu ia sempat kerja borongan di perkebunan sawit lainnya di Pahang, dan bisa mengantongi RM4.000 (sekitar Rp14,2 juta) hingga pekerjaannya selesai.

Dari sana ia berpindah ke Muar, Johor, bersama 11 rekan lainnya yang juga berasal dari Lombok Timur. Bekerja di sebuah tempat cuci mobil selama 1 bulan sampai akhirnya ditangkap pihak berwenang dan diserahkan ke Departemen Imigrasi Johor Bahru.

Sanjaya mengetahui program Rekalibrasi Pemulangan pendatang asing tanpa izin (PATI) yang sedang dijalankan Pemerintah Malaysia sepanjang tahun 2024 ini. Program itu memungkinkan pekerja migran nonprosedural seperti dirinya untuk pulang ke negara asal dengan hanya membayar denda maksimal RM500 (sekitar Rp1,8 juta) dan tidak perlu menghadapi proses hukum.

Ia mengaku memang sudah ingin pulang ke Lombok, tapi takut untuk mendatangi langsung Imigrasi Malaysia guna mengurus kepulangan ke Tanah Air. Terlebih lagi ia dan teman-temannya sudah tidak memegang paspor, yang artinya harus membuat dulu di salah satu Kantor Perwakilan RI di Malaysia.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Proses hukum pun tidak bisa lagi dielakkan, semua hanya bisa mereka hadapi dan jalani.

Sanjaya sudah bisa tersenyum dan tertawa saat berbincang dengan ANTARA di RPTC Tanjung Pinang pada Jumat (15/11), sehari setelah dideportasi dari Malaysia. Begitu pula dengan WNI lainnya yang untuk sementara menjalani rehabilitasi di sana.

Suasananya memang terasa berbeda saat mereka masih di Pelabuhan Stulang Laut Malaysia ketika hendak dipulangkan. Meski beberapa tampak biasa berbincang dengan petugas-petugas Imigrasi Malaysia di sana, namun tidak lepas seperti ketika mereka sudah berada di tanah air.

Kesedihan dan kebingungan masih terlihat dari raut wajah Ahmad Bustami, Moh Rizky Maulana, dan teman satu kampungnya, Muhammad Faizin, yang lebih banyak diam.

Mereka bertiga baru melewati 5,5 bulan di penjara dan depo Imigrasi Malaysia. Dari pengakuan beberapa WNI yang baru dideportasi, mereka memang harus tidur di atas lantai semen bersama seratusan lebih tahanan lainnya dari berbagai negara, dan itu menjadi pengalaman pertama bagi mereka.

Ahmad, Rizky, Faizin, Sanjaya, dan kawan-kawannya adalah bonus demografi yang sering disebut-sebut. Anak-anak muda inilah sesungguhnya bagian dari energi untuk membawa bangsa menuju Indonesia Emas 2045.

Jika memang peluang itu tidak ada di dalam negeri, setidaknya anak-anak muda ini dapat tetap berperan melalui peluang kerja di luar negeri. Maka bekalilah mereka, pastikan dapat bekerja sebagai migran dengan prosedur yang mudah, benar, terlindungi, dan bermartabat.

Editor: Achmad Zaenal M

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cerita 105 WNI dideportasi dari Malaysia (1)

Pewarta : Virna P Setyorini
Editor : Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2024