Cirebon (ANTARA) - Di balik tembok merah yang kokoh berdiri, Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kota Cirebon, Jawa Barat, menyimpan sejarah panjang yang tak lekang oleh waktu.
Dinding-dindingnya yang mulai berkerut oleh usia tetap tegak berdiri, seakan tak ingin menyerah pada gerusan derasnya arus modernisasi.
Di sini, setiap Jumat, terdengar suara azan yang tidak biasa. Bukan satu suara seperti lazimnya, melainkan tujuh suara yang bergema bersamaan. Disebut sebagai "azan pitu", tradisi unik ini telah bertahan selama ratusan tahun.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 12.10 WIB, ketujuh muazin dengan jubah hijau dan sorban putih melangkah pelan menuju saf khusus mereka.
Mereka berdiri di ruang utama masjid, siap untuk mengumandangkan seruan suci yang menjadi ciri khas tempat ini, sekaligus menandai dimulainya Shalat Jumat.
Lalu, ketika suara azan mulai berkumandang, ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Suaranya terdengar begitu selaras, seolah tiap nada telah dipersiapkan dengan presisi tinggi.
Di salah satu tiang, tujuh pengeras suara tersusun rapi, memperkuat lantunan azan yang menggema hingga ke sudut-sudut masjid.
Ada aura magis dalam momen tersebut, seakan waktu berhenti sejenak untuk mendengarkan seruan yang membawa pesan perdamaian dan keselamatan.
Momen tersebut, kini semakin syahdu, karena bertepatan dengan momen bulan suci Ramadhan 1446 Hijriah/2025.
Dari masa lampau
Tradisi azan pitu bermula dari masa Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah, salah satu anggota Wali Sanga.
Pada zamannya, dikisahkan ada penyakit mewabah di Keraton Cirebon. Bahkan, Nyimas Pakungwati, istri Sunan Gunung Jati, juga terjangkit wabah itu. Banyak masyarakat yang sakit maupun meninggal dunia.
“Sunan Gunung Jati kemudian memohon petunjuk kepada Allah SWT. Kemudian beliau mendapat petunjuk bahwa wabah akan hilang jika azan dikumandangkan oleh tujuh orang secara bersamaan,” kata salah satu pengurus Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kiai Ahmad ketika ditemui ANTARA.
Setelah petunjuk itu dilaksanakan, wabah itu perlahan mereda. Sejak saat itulah, tradisi azan pitu terus dilestarikan sebagai bentuk syukur dan permohonan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
Ahmad mengatakan dahulu, azan ini dikumandangkan setiap shalat lima waktu. Namun, seiring perkembangan zaman, pelaksanaannya kini hanya dilakukan pada hari Jumat.
Dalam tradisi Jawa, angka tujuh kerap dianggap sakral. Dalam konteks azan pitu, angka ini melambangkan ikhtiar sebagai penolak bala.
Tujuh suara yang bersatu dalam azan ini menjadi simbol doa bersama untuk keselamatan dan kesejahteraan.
Tradisi ini, bahkan juga dipraktikkan saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Setelah azan pitu dikumandangkan, angka paparan virus Corona di sekitar masjid tidak sebanyak di wilayah lain.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa tradisi ini tidak hanya sekadar ritual budaya, tetapi juga sarana spiritualitas yang diyakini membawa berkah bagi masyarakat sekitar.
Uniknya, para muazin yang bertugas bukan sembarang orang. Mereka berasal dari keluarga Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Jika ada yang meninggal, posisinya digantikan oleh anggota keluarga lainnya.
Syarat untuk menjadi muazin cukup sederhana, namun penting, yakni harus bisa membaca Al-Quran dengan fasih, memiliki iman yang kuat, serta berakhlak Islami.
Salah satu muazin, Munandi (35), telah menjalankan tugas ini selama tujuh tahun, meneruskan jejak ayahnya.
Bagi Munandi, menjadi bagian dari tradisi ini adalah tanggung jawab besar, sekaligus kebanggaan. Ada rasa senang, tetapi juga beban karena ini adalah amanah yang harus dijaga.
Ikon sejarah
Masjid Agung Sang Cipta Rasa sendiri memiliki sejarah yang tidak kalah menarik. Dibangun pada tahun 1480 oleh Sunan Gunung Jati, masjid ini didesain oleh dua tokoh besar, Sunan Kalijaga dan Raden Sepat.
Konon, pembangunannya hanya memakan waktu semalam, dikerjakan oleh 500 pekerja dari Kerajaan Majapahit, Demak, dan Cirebon.
Arsitektur masjid ini memadukan gaya Jawa dan Hindu Majapahit. Gapura di halaman masjid, atap yang menyerupai rumah joglo, serta mihrab yang dihiasi motif tertentu adalah bukti nyata akulturasi budaya yang terjalin di masa lampau.
Masjid ini memiliki sembilan pintu sebagai akses masuk. Pintu utama, yang hanya dibuka pada hari-hari besar Islam, melambangkan penghormatan dan kerendahan hati.
Sementara delapan pintu lainnya lebih rendah ukurannya, mengingatkan kalau semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan.
Pada bagian mihrab, terdapat tiga ubin yang dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang.
Ubin ini melambangkan iman, islam, dan ihsan, sebagai tiga pilar utama dalam ajaran Islam).
Mimbar masjid, yang diberi nama Sang Ranggakosa, juga memiliki desain unik dengan motif bunga dan rantai di setiap sisinya.
Kini, Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak hanya menjadi pusat ibadah, melainkan sebuah tujuan wisata religi yang menarik minat banyak orang.
Tradisi azan pitu pun telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh pemerintah. Dengan penetapan status ini, maka menjadi tantangan ke depan bagi pengelola masjid.
Tradisi ini harus terus dipelihara, tidak hanya oleh pengelola masjid, namun juga oleh masyarakat luas.
Peran pemerintah dan pengelola keraton pun, sangat penting dalam menjaga kelestarian masjid ini.
Di tengah pesatnya kemajuan zaman, Masjid Agung Sang Cipta Rasa tetap berdiri tegak, menyimpan nilai-nilai luhur yang terus hidup melalui tradisi azan pitu.
Bagi masyarakat Cirebon, masjid ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, tempat di mana sejarah dan spiritualitas berjalan beriringan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Cirebon Agus Sukmanjaya menegaskan pemerintah daerah sudah berkomitmen dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya serta sejarah di Kota Cirebon, termasuk tradisi azan pitu.
Sebagai kota yang kaya akan nilai budaya dan peninggalan sejarah, upaya pelestarian ini menjadi tanggung jawab bersama.
Disbudpar Kota Cirebon terus mengembangkan berbagai program yang mendukung keberlanjutan warisan budaya, termasuk melalui edukasi, promosi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Azan pitu", seruan tujuh suara yang menembus zaman