Jakarta (ANTARA) - Wacana pengembalian pemilihan presiden kepada MPR RI melalui amendemen UUD 1945 diusulkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam pertemuan dengan pimpinan MPR RI di kompleks Gedung MPR RI, Jakarta, Rabu (11-11-2019).
Usul yang disebutkan PBNU sebagai kesepakatan Munas PBNU di Cirebon pada tahun 2012 itu pun menyulut perbincangan oleh seluruh elemen bangsa, mulai dari publik, akademisi, pejabat, pimpinan partai politik, hingga Presiden RI.
Suara yang berkembang di tengah publik, mayoritas menolak usulan PBNU tersebut. Alih-alih dengan alasan mencegah pilpres berbiaya tinggi, usulan itu dinilai sebuah kemunduran.
Pemilihan presiden oleh MPR dilakukan pada era Orde Lama, Orde Baru, dan awal era Reformasi, yakni Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri.
Jika mekanisme pemilihan presiden itu dikembalikan kepada MPR, Indonesia akan mengulang era Orde Lama dan Orde Baru serta awal zaman Reformasi.
Presiden RI Joko Widodo sendiri menyatakan menolak usulan itu. Melalui Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman, Presiden menyatakan dirinya lahir dari pilkada langsung, baik saat menjabat Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta.
Presiden juga lahir dari pilpres langsung dua periode di Indonesia.
Pernyataan Presiden menjadi sinyal penolakan besar bangsa Indonesia atas usulan tersebut.
Sembilan partai politik yang ada di parlemen pun telah memberikan pendapatnya mengenai usulan PBNU tersebut.
Partai Demokrat, yang ketua umumnya Susilo Bambang Yudhono berhasil menjabat presiden dua periode dengan pemilihan langsung, dengan tegas menolak.
Bagi Demokrat, hak rakyat untuk memilih presiden secara langsung tidak boleh dirampas.
Gerindra melalui sekjennya yang juga Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani menyatakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat adalah hal yang selayaknya terjadi atau sebuah given.
PDI Perjuangan mempersilakan wacana itu dikaji. Namun, mengingatkan semangat awal melakukan amendemen pada rentang tahun 1999 hingga 2002 adalah untuk memperkuat sistem presidensial.
Partai Golkar menyatakan belum menentukan sikap atas usul PBNU tersebut. Namun, mereka menyimpulkan wacana itu perlu mendengarkan pendapat masyarakat yang dalam hal ini haknya untuk memilih presiden secara langsung akan ditiadakan.
Partai Amanat Nasional membaca usulan itu dilontarkan PBNU setelah melihat kerasnya pilpres beberapa waktu belakangan.
Meskipun demikian, Sekretaris Fraksi PAN di DPR RI Yandri Susanto menyatakan bahwa partainya memandang perlu pengkajian lebih dalam atas usul tersebut.
Partai NasDem melalui Sekretaris Fraksi NasDem di DPR RI Saan Mustopa menyatakan menolak usulan PBNU itu. Bagi NasDem, dengan sistem presidensial saat ini rakyat telah memiliki kedaulatan tertinggi.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai pengembalian pemilihan presiden oleh MPR, mengembalikan sistem oligarki.
Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan belum mengambil sikap. Mereka menyatakan masih menunggu respons masyarakat.
PKB satu-satunya partai yang sejauh ini memberikan sinyal persetujuan atas usulan PBNU. Bagi PKB, usul PBNU adalah sebuah nasihat.
PKB bahkan menyatakan keinginannya memperjuangkan aspirasi PBNU itu agar dapat diterima seluruh fraksi di parlemen.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai suara beberapa partai politik yang belum tegas menolak atau menerima usulan PBNU berkaitan dengan upaya kehati-hatian partai dalam menjaga citra di mata masyarakat.
Meskipun demikian, Pangi berpendapat mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR bukan solusi atas persoalan pemilu langsung.
Berkaca pada sejarah, pemilihan presiden oleh MPR justru memiliki potensi terjadinya instabilitas politik, contohnya ketika presiden keempat RI Gus Dur dimakzulkan.
Intelektual NU Ulil Abshar Abdalla juga menyesalkan usulan PBNU. Melalui akun Twitter-nya @Ulil, Ulil Abshar Abdalla tokoh Islam Liberal mengaku sangat sedih mendengar PBNU mendukung pemilihan presiden melalui MPR.
Ulil menegaskan bahwa pemilu langsung adalah salah satu capaian penting reformasi Indonesia. Usulan PBNU jika direalisasikan, menurut dia, akan menjadi sebuah kemunduran besar bagi demokrasi.
NU menurutnya tidak boleh menjadi bagian dari kekuatan "konservatif" untuk memundurkan demokasi di Indonesia.
Ulil tidak menyebut siapa yang dimaksud kekuatan "konservatif" itu. Namun, dia menegaskan bahwa pilpres langsung merupakan salah satu penanda bahwa Indonesia betul-betul demokratis.
Ia mengingatkan Indonesia selama ini melakukan diplomasi keluar, menjual Islam khas Indonesia yang ditandai dengan "kompatibilitas Islam dan demokrasi".
Jika pilpres langsung diakhiri, diplomasi Islam yang selama ini digaungkan bangsa Indonesia akan ambyar atau hancur lebur.
Apabila dilihat biayanya, kata Ulil, pilpres langsung memang mahal ketimbang pilpres melalui MPR.
Namun, dia berargumentasi, harus pula dilihat biaya politik yang harus dibayar setelah presiden terpilih lewat MPR seperti zaman Orde Baru, yakni berapa besar korupsi pada era Orde Baru.
PBNU selaku organisasi kemasyarakatan dengan pengikut besar semestinya berkaca dari sejarah. Pemilihan Kepala Negara oleh MPR berpotensi besar menimbulkan oligarki politik.
PBNU juga mestinya tidak membuka lubang yang sama bahwa tokoh besar NU Gus Dur pernah dimakzulkan secara politis dari jabatan Presiden oleh MPR.
Selain itu, pemilihan presiden oleh MPR, yang di dalamnya terdiri atas perwakilan partai politik, tidak sejalan dengan fakta masih rendahnya kepercayaan partai politik di benak publik.
Apa pun alasannya, jika wacana ini terus diperjuangkan, publik selaku pihak yang hak-haknya akan diamputasi, jelas akan memberikan berbagai suara penolakan melalui berbagai cara.