Peran RPTC Tanjung Pinang dalam pemulangan 105 WNI dari Malaysia
Kuala Lumpur (ANTARA) - Pemulangan 105 WNI yang telah menjalani proses hukum dari Malaysia pada Kamis (14/11) lalu, selain dari Kementerian Luar Negeri melalui Kantor Perwakilan RI di Johor Bahru, ada pula peran dari Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) Tanjung Pinang milik Kementerian Sosial RI.
Sesampainya WNI yang dipulangkan tersebut di Tanjung Pinang dan melewati asesmen Imigrasi dan Bea Cukai, mereka lalu dibawa dengan bus menuju RPTC Tanjung Pinang.
Koordinator RPTC Tanjung Pinang dari Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Bencana dan Kedaruratan Kementerian Sosial RI Sulistyaningsih yang akrab disapa Ani mengatakan ketika mendapat informasi dalam bentuk surat baik dari Kementerian Luar Negeri maupun KJRI Johor Bahru, mereka segera menyiapkan penjemputan.
Langkah awal yang RPTC lakukan adalah memberikan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu makanan. “Kami tahu bahwa mereka sudah lelah seharian di perjalanan maka itu (makanan) yang paling penting," ujar Ani.
Selanjutnya RPTC memberikan kebutuhan sandang berupa pakaian ganti, perlengkapan kebersihan. Ada handuk, paket sabun, odol, sampo, sikat gigi, dan sabun cuci, sehingga mereka bisa bersih-bersih sebelum istirahat sejenak sebelum dilanjutkan dengan sedikit edukasi terkait cara bermigrasi yang aman.
“Ya, karena hampir 90 persen itu mereka (migrasinya) asal pergi, tidak bawa dokumen. Meskipun ada berapa persen yang mereka bawa paspor, visa, tapi visanya kan melancong, bukan visa bekerja, yang mengakibatkan setelah visanya habis mereka menjadi warga negara (asing) yang ilegal, undocumented. Makanya ketika ada razia mereka juga tertangkap sebagai warga negara (asing) yang ilegal, overstay," ujar Ani.
Setelah berbulan-bulan menjalani hukuman penjara, kemudian ditampung di depo imigrasi sebelum deportasi ke negara asal tentu secara psikologis kurang begitu nyaman. Karena itu diupayakan suasana RPTC senyaman mungkin, menjadi “rumah kita” untuk semua.
Pemeriksaan kesehatan
Hari selanjutnya, Jumat (15/11), setelah sarapan pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh tim Puskesmas Batu 10 Tanjung Pinang. Skrining kesehatan biasanya cukup lengkap, mulai dari tuberkulosis (TB), HIV, gula darah, kolesterol, asam urat, dan bahkan sering kali sampai ke mitigasi kanker serviks.
Ada sekitar lima petugas kesehatan yang datang, termasuk dr. Vicky Desmianti, untuk memeriksa para WNI di sana. Dan, menurut dokter, yang paling banyak ditemukan adalah scabies atau biasa dikenal dengan kudis.
Dari 105 WNI yang dideportasi, sekitar 40 orang terkena scabies yang cukup parah.
Penyebabnya, menurut dr Vicky, adalah tungau kecil yang masuk ke dalam kulit dan berkembang di sana, menyebabkan gatal dan ruam yang hebat. Penyakit tersebut menular, karena tungau dapat berpindah ke mana-mana.
Dengan pakaian dan kondisi lingkungan yang tidak bersih, maka tungau kecil tersebut sangat mudah berkembang biak.
Tidak sedikit dari mereka yang pulang hari itu mengalami infeksi kulit parah, bahkan sulit berjalan karena telapak kaki dan tangannya infeksi parah hingga kondisinya berair.
Itu alasan setibanya di RPTC mereka segera memberikan kebutuhan sandang dan perlengkapan kebersihan. Lalu diberikan obat oral dan krim untuk mengobati kudis.
Kalau ditemukan WNI yang agak halusinasi, atau mungkin stres, atau bahasa teman-teman PMI ini “masuk air”, kalau diajak ngobrol kurang begitu nyambung, maka RPTC akan menghadirkan psikolog untuk konseling.
“Biar lebih keluar unek-unek dan sebagainya. Tapi alhamdulillah tidak terlalu banyak ya kalau yang parah-parah,” kata Ani.
Jika tim kesehatan menemukan ada yang sakit parah maka akan berkoordinasi dengan RSUD Tanjung Pinang untuk rehab medis.
Tugas Kementerian Sosial RI sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi. Karena itu, mereka sadar betul kompetensinya dan memilih mengirimkan ke rumah sakit sehingga tidak terjadi malapraktik.
Pernah ada beberapa WNI harus dirawat di RSUD sampai seminggu atau bahkan 10 hari. Ketika mereka sudah sehat maka RPTC akan menjemput dan memastikan mereka diantar sampai ke rumah.
Tim Kementerian Sosial dari sentra-sentra sesuai dengan wilayah kerjanya sudah menunggu dan mengantar sampai ke daerah asal.
Asesmen psikososial
Bagi WNI yang akan dipulangkan ke Aceh dan Medan ada Sentra Insaf, Sentra Bahagia, Sentra Darusada yang menangani. Jika ke Riau ada Sentra Abiseka, yang ke daerah Jawa ada Sentra Dokter Suharso, Sentra Inten Suweno, Sentra Pangudiluhur, Sentra Terpadu Kartini, dan sebagainya.
Adapun WNI yang daerah asalnya NTT akan ditangani Sentra Evata Kupang, dan yang di NTB ditangani Sentra Paramita.
Pemulangan ke wilayah Indonesia timur dari Tanjung Pinang di Kepulauan Riau akan menggunakan kapal ke Tanjung Priok di Jakarta, sebelum nantinya dijemput untuk diantar pulang ke daerah masing-masing.
Untuk mengetahui secara pasti data para WNI atau PMI, ke mana harus diantar agar tidak salah alamat, maka asesmen psikososial dilakukan oleh RPTC. Dalam 2 hari biasanya selesai dilakukan, termasuk sekaligus asesmen kewirausahaan, yang semua datanya akan dimasukkan ke Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial.
Semua tim Kementerian Sosial di seluruh Indonesia sudah dapat mengakses data WNI dan bergerak menghubungi atau mengunjungi keluarga. Jadi, meski mereka masih ada di Tanjung Pinang, keluarga di rumah sudah bisa membuat persiapan.
Asesmen pertama yang RPTC lakukan, yakni mengkonfirmasi nomor induk kependudukan (NIK) di kartu tanda penduduk (KTP).
NIK adalah “harga mati”. Karena data yang digunakan Kementerian Sosial semua berdasarkan nomor itu, bukan berdasarkan SPLP.
Petugas Kementerian Sosial akan melakukan padan data untuk memastikan nama WNI tidak berbeda. Karena itu, mereka membutuhkan NIK dan kartu keluarga (KK) sebelum data yang didapat dimasukkan ke Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial.
Mereka juga melakukan pengecekan, apakah WNI atau PMI tersebut ada dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jika memang ada maka mereka berhak mendapatkan semua perlindungan sosial yang diberikan negara, sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku, kata Ani.
Biasanya, sentra-sentra di daerah akan melakukan asesmen terhadap keluarga PMI tersebut untuk mengetahui apakah ada yang membutuhkan dukungan keluarga.
Jika ada lansia di sana, maka ada pemberian nutrisi lansia. Ketika ada ditemukan balita di sana maka mereka akan memberikan nutrisi balita, dan jika ternyata ada disabilitas maka ada advokasi ke program yang mendukung orang berkebutuhan khusus ini.
Asesmen kewirausahaan
Dalam proses rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi tersebut ada pula upaya yang Kementerian Sosial lakukan, yang intinya untuk mencegah mereka kembali menghadapi persoalan sama melalui kewirausahaan sosial.
Selain melakukan asesmen psikososial, RPTC biasanya juga melakukan asesmen kewirausahaan bagi korban TPPO, menanyakan minat para mantan pekerja migran tersebut. Mereka “mengulik” apa usaha yang pernah dilakukan sebelum bermigrasi keluar negeri, dan menanyakan apakah ada minat untuk melakukan usaha yang sama dan siap membantu pemodalan.
Atau, ketika sampai di Jakarta atau di pusat rehabilitasi yang memiliki fasilitas lebih lengkap, mereka ditawari mengikuti pelatihan maupun keterampilan khusus yang tujuannya membuat mereka lebih berdaya. Mereka pun juga berkesempatan mendapatkan modal untuk memulai usahanya itu.
Menurut Ani, bantuan pemodalan itu cukup besar, paling sedikit Rp5 juta bahkan ada yang sampai Rp7 juta atau lebih.
Langkah itu yang sebetulnya menjadi upaya pencegahan agar mereka tidak kembali lagi. Ada aktivitas di rumah yang, menurut Ani, Insya-Allah menghasilkan meskipun mungkin sedikit.
Penanganan PMI menyeluruh
Kementerian Sosial, sesuai dengan UU 21 tahun 2007 tentang Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Gugus Tugas Penanganan Korban TPPO, adalah Sub-gugus Tugas Rehabilitasi Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi Sosial untuk korban TPPO.
Adapun yang 105 WNI yang dideportasi dari Malaysia tersebut, menurut dia, semestinya menjadi tanggung jawab lembaga yang menangani PMI sesuai dengan UU 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Harapannya, dengan telah terbentuknya Kementerian Perlindungan Pekerja Migran (PPMI) dalam Kabinet Merah Putih, maka semestinya tata kelola pelindungan terhadap PMI dilakukan dengan pendekatan dari hulu sampai dengan hilir sehingga seluruh kewenangan pelindungan pekerja migran Indonesia dilaksanakan secara terintegrasi oleh kementerian tersebut.
Menurut Ani, hingga 15 November lalu, RPTC Tanjung Pinang telah melayani 1.091 WNI, sudah termasuk 105 orang yang pada Kamis (14/11) tiba di sana. Dari yang baru tiba itu terbanyak berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ada 29 orang, diikuti oleh Jawa Timur ada 18 orang, Sumatera Utara ada 13 orang, lalu sisanya berasal daerah lain di Indonesia.
Hampir di setiap pemulangan WNI dan masuk menjalani rehabilitasi RPTC Tanjung Pinang, terbanyak berasal dari NTB, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Mereka diharapkan tidak kembali lagi ke sana, kalaupun kembali bekerja di luar negeri harus dengan cara yang aman. Pemerintah sebenarnya sudah memfasilitasi tata kelola penempatan pelindungan warga negara yang melakukan migrasi dengan aman.
Kalaupun ternyata masih ada calon pekerja migran yang berdalih proses penempatan bekerja di luar negeri lama dan berbelit-belit, sering kali akhirnya mereka tergiur dengan tawaran yang menyesatkan.
Persoalan PMI nonprosedural harus menjadi evaluasi bersama bagi semua pemangku kepentingan di Kabinet Merah Putih.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peran RPTC Tanjung Pinang dalam pemulangan 105 WNI dari Malaysia (3)
Sesampainya WNI yang dipulangkan tersebut di Tanjung Pinang dan melewati asesmen Imigrasi dan Bea Cukai, mereka lalu dibawa dengan bus menuju RPTC Tanjung Pinang.
Koordinator RPTC Tanjung Pinang dari Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Bencana dan Kedaruratan Kementerian Sosial RI Sulistyaningsih yang akrab disapa Ani mengatakan ketika mendapat informasi dalam bentuk surat baik dari Kementerian Luar Negeri maupun KJRI Johor Bahru, mereka segera menyiapkan penjemputan.
Langkah awal yang RPTC lakukan adalah memberikan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu makanan. “Kami tahu bahwa mereka sudah lelah seharian di perjalanan maka itu (makanan) yang paling penting," ujar Ani.
Selanjutnya RPTC memberikan kebutuhan sandang berupa pakaian ganti, perlengkapan kebersihan. Ada handuk, paket sabun, odol, sampo, sikat gigi, dan sabun cuci, sehingga mereka bisa bersih-bersih sebelum istirahat sejenak sebelum dilanjutkan dengan sedikit edukasi terkait cara bermigrasi yang aman.
“Ya, karena hampir 90 persen itu mereka (migrasinya) asal pergi, tidak bawa dokumen. Meskipun ada berapa persen yang mereka bawa paspor, visa, tapi visanya kan melancong, bukan visa bekerja, yang mengakibatkan setelah visanya habis mereka menjadi warga negara (asing) yang ilegal, undocumented. Makanya ketika ada razia mereka juga tertangkap sebagai warga negara (asing) yang ilegal, overstay," ujar Ani.
Setelah berbulan-bulan menjalani hukuman penjara, kemudian ditampung di depo imigrasi sebelum deportasi ke negara asal tentu secara psikologis kurang begitu nyaman. Karena itu diupayakan suasana RPTC senyaman mungkin, menjadi “rumah kita” untuk semua.
Pemeriksaan kesehatan
Hari selanjutnya, Jumat (15/11), setelah sarapan pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh tim Puskesmas Batu 10 Tanjung Pinang. Skrining kesehatan biasanya cukup lengkap, mulai dari tuberkulosis (TB), HIV, gula darah, kolesterol, asam urat, dan bahkan sering kali sampai ke mitigasi kanker serviks.
Ada sekitar lima petugas kesehatan yang datang, termasuk dr. Vicky Desmianti, untuk memeriksa para WNI di sana. Dan, menurut dokter, yang paling banyak ditemukan adalah scabies atau biasa dikenal dengan kudis.
Dari 105 WNI yang dideportasi, sekitar 40 orang terkena scabies yang cukup parah.
Penyebabnya, menurut dr Vicky, adalah tungau kecil yang masuk ke dalam kulit dan berkembang di sana, menyebabkan gatal dan ruam yang hebat. Penyakit tersebut menular, karena tungau dapat berpindah ke mana-mana.
Dengan pakaian dan kondisi lingkungan yang tidak bersih, maka tungau kecil tersebut sangat mudah berkembang biak.
Tidak sedikit dari mereka yang pulang hari itu mengalami infeksi kulit parah, bahkan sulit berjalan karena telapak kaki dan tangannya infeksi parah hingga kondisinya berair.
Itu alasan setibanya di RPTC mereka segera memberikan kebutuhan sandang dan perlengkapan kebersihan. Lalu diberikan obat oral dan krim untuk mengobati kudis.
Kalau ditemukan WNI yang agak halusinasi, atau mungkin stres, atau bahasa teman-teman PMI ini “masuk air”, kalau diajak ngobrol kurang begitu nyambung, maka RPTC akan menghadirkan psikolog untuk konseling.
“Biar lebih keluar unek-unek dan sebagainya. Tapi alhamdulillah tidak terlalu banyak ya kalau yang parah-parah,” kata Ani.
Jika tim kesehatan menemukan ada yang sakit parah maka akan berkoordinasi dengan RSUD Tanjung Pinang untuk rehab medis.
Tugas Kementerian Sosial RI sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi. Karena itu, mereka sadar betul kompetensinya dan memilih mengirimkan ke rumah sakit sehingga tidak terjadi malapraktik.
Pernah ada beberapa WNI harus dirawat di RSUD sampai seminggu atau bahkan 10 hari. Ketika mereka sudah sehat maka RPTC akan menjemput dan memastikan mereka diantar sampai ke rumah.
Tim Kementerian Sosial dari sentra-sentra sesuai dengan wilayah kerjanya sudah menunggu dan mengantar sampai ke daerah asal.
Asesmen psikososial
Bagi WNI yang akan dipulangkan ke Aceh dan Medan ada Sentra Insaf, Sentra Bahagia, Sentra Darusada yang menangani. Jika ke Riau ada Sentra Abiseka, yang ke daerah Jawa ada Sentra Dokter Suharso, Sentra Inten Suweno, Sentra Pangudiluhur, Sentra Terpadu Kartini, dan sebagainya.
Adapun WNI yang daerah asalnya NTT akan ditangani Sentra Evata Kupang, dan yang di NTB ditangani Sentra Paramita.
Pemulangan ke wilayah Indonesia timur dari Tanjung Pinang di Kepulauan Riau akan menggunakan kapal ke Tanjung Priok di Jakarta, sebelum nantinya dijemput untuk diantar pulang ke daerah masing-masing.
Untuk mengetahui secara pasti data para WNI atau PMI, ke mana harus diantar agar tidak salah alamat, maka asesmen psikososial dilakukan oleh RPTC. Dalam 2 hari biasanya selesai dilakukan, termasuk sekaligus asesmen kewirausahaan, yang semua datanya akan dimasukkan ke Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial.
Semua tim Kementerian Sosial di seluruh Indonesia sudah dapat mengakses data WNI dan bergerak menghubungi atau mengunjungi keluarga. Jadi, meski mereka masih ada di Tanjung Pinang, keluarga di rumah sudah bisa membuat persiapan.
Asesmen pertama yang RPTC lakukan, yakni mengkonfirmasi nomor induk kependudukan (NIK) di kartu tanda penduduk (KTP).
NIK adalah “harga mati”. Karena data yang digunakan Kementerian Sosial semua berdasarkan nomor itu, bukan berdasarkan SPLP.
Petugas Kementerian Sosial akan melakukan padan data untuk memastikan nama WNI tidak berbeda. Karena itu, mereka membutuhkan NIK dan kartu keluarga (KK) sebelum data yang didapat dimasukkan ke Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial.
Mereka juga melakukan pengecekan, apakah WNI atau PMI tersebut ada dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jika memang ada maka mereka berhak mendapatkan semua perlindungan sosial yang diberikan negara, sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku, kata Ani.
Biasanya, sentra-sentra di daerah akan melakukan asesmen terhadap keluarga PMI tersebut untuk mengetahui apakah ada yang membutuhkan dukungan keluarga.
Jika ada lansia di sana, maka ada pemberian nutrisi lansia. Ketika ada ditemukan balita di sana maka mereka akan memberikan nutrisi balita, dan jika ternyata ada disabilitas maka ada advokasi ke program yang mendukung orang berkebutuhan khusus ini.
Asesmen kewirausahaan
Dalam proses rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi tersebut ada pula upaya yang Kementerian Sosial lakukan, yang intinya untuk mencegah mereka kembali menghadapi persoalan sama melalui kewirausahaan sosial.
Selain melakukan asesmen psikososial, RPTC biasanya juga melakukan asesmen kewirausahaan bagi korban TPPO, menanyakan minat para mantan pekerja migran tersebut. Mereka “mengulik” apa usaha yang pernah dilakukan sebelum bermigrasi keluar negeri, dan menanyakan apakah ada minat untuk melakukan usaha yang sama dan siap membantu pemodalan.
Atau, ketika sampai di Jakarta atau di pusat rehabilitasi yang memiliki fasilitas lebih lengkap, mereka ditawari mengikuti pelatihan maupun keterampilan khusus yang tujuannya membuat mereka lebih berdaya. Mereka pun juga berkesempatan mendapatkan modal untuk memulai usahanya itu.
Menurut Ani, bantuan pemodalan itu cukup besar, paling sedikit Rp5 juta bahkan ada yang sampai Rp7 juta atau lebih.
Langkah itu yang sebetulnya menjadi upaya pencegahan agar mereka tidak kembali lagi. Ada aktivitas di rumah yang, menurut Ani, Insya-Allah menghasilkan meskipun mungkin sedikit.
Penanganan PMI menyeluruh
Kementerian Sosial, sesuai dengan UU 21 tahun 2007 tentang Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Gugus Tugas Penanganan Korban TPPO, adalah Sub-gugus Tugas Rehabilitasi Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi Sosial untuk korban TPPO.
Adapun yang 105 WNI yang dideportasi dari Malaysia tersebut, menurut dia, semestinya menjadi tanggung jawab lembaga yang menangani PMI sesuai dengan UU 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Harapannya, dengan telah terbentuknya Kementerian Perlindungan Pekerja Migran (PPMI) dalam Kabinet Merah Putih, maka semestinya tata kelola pelindungan terhadap PMI dilakukan dengan pendekatan dari hulu sampai dengan hilir sehingga seluruh kewenangan pelindungan pekerja migran Indonesia dilaksanakan secara terintegrasi oleh kementerian tersebut.
Menurut Ani, hingga 15 November lalu, RPTC Tanjung Pinang telah melayani 1.091 WNI, sudah termasuk 105 orang yang pada Kamis (14/11) tiba di sana. Dari yang baru tiba itu terbanyak berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ada 29 orang, diikuti oleh Jawa Timur ada 18 orang, Sumatera Utara ada 13 orang, lalu sisanya berasal daerah lain di Indonesia.
Hampir di setiap pemulangan WNI dan masuk menjalani rehabilitasi RPTC Tanjung Pinang, terbanyak berasal dari NTB, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Mereka diharapkan tidak kembali lagi ke sana, kalaupun kembali bekerja di luar negeri harus dengan cara yang aman. Pemerintah sebenarnya sudah memfasilitasi tata kelola penempatan pelindungan warga negara yang melakukan migrasi dengan aman.
Kalaupun ternyata masih ada calon pekerja migran yang berdalih proses penempatan bekerja di luar negeri lama dan berbelit-belit, sering kali akhirnya mereka tergiur dengan tawaran yang menyesatkan.
Persoalan PMI nonprosedural harus menjadi evaluasi bersama bagi semua pemangku kepentingan di Kabinet Merah Putih.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Peran RPTC Tanjung Pinang dalam pemulangan 105 WNI dari Malaysia (3)