Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri RI mengatakan putusan Mahkamah Persekutuan Malaysia di Putrajaya yang menguatkan putusan pengadilan banding untuk membebaskan S Ambika, majikan dari tenaga kerja asal Indonesia Adelina Lisao yang meninggal akibat penyiksaan, mengecewakan dan melukai rasa keadilan.
“Putusan ini tentu sangat mengecewakan dan melukai rasa keadilan masyarakat Indonesia,” kata Direktur Perlindungan WNI (PWNI) Kemlu RI Judha Nugraha dalam pernyataan melalui pesan singkat, Sabtu.
Menurut dia, penuntutan dalam kasus tersebut dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sesuai dengan hukum yang berlaku di Malaysia.
KBRI Kuala Lumpur dan Konsulat Jenderal RI di Penang juga telah menunjuk pengacara (retainer lawyer) untuk memantau proses persidangan.
Judha mengatakan bahwa dari hasil pengamatan persidangan, terlihat bahwa JPU tidak cermat dan tak serius dalam menangani kasus Adelina.
“Berbagai upaya telah dilakukan sejak awal oleh Pemerintah RI untuk memberikan keadilan bagi Adelina dan keluarganya. Di Indonesia, berkat kerja sama dengan Kepolisian dan Pemerintah Daerah NTT, tiga orang perekrut mendiang Adelina telah ditangkap,” kata Judha.
Dengan keluarnya putusan tersebut, perjuangan mendapatkan keadilan bagi Adelina Lisao melalui jalur hukum telah berakhir.
Meski demikian, kata Judha, pemerintah akan tetap menempuh jalur lain, yakni jalur perdata.
Ia menambahkan bahwa tuntutan perdata harus diajukan oleh ahli waris Adelina. Namun pemerintah akan mengawal prosesnya jika tuntutan diajukan melalui KBRI Kuala Lumpur dan KJRI Penang, termasuk menyediakan jasa pengacara.
Baca juga: KBRI Kuala Lumpur aktifkan lagi layanan jemput bola untuk WNI di Malaysia
Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono usai mengikuti jalannya persidangan di Mahkamah Persekutuan Malaysia pada Kamis (23/6) mengatakan seluruh rakyat Indonesia, terutama keluarga korban, sangat kecewa dengan putusan sidang tersebut.
Sejak awal semua memandang kasus ini masalah yang serius, karena menyangkut nyawa manusia sehingga sulit bagi keluarga korban maupun bangsa Indonesia secara umum menerima bagaimana kasus seperti yang dialami Adelina yang meninggal secara tragis tetapi tidak ada yang harus bertanggungjawab.
"Tidak ada yang bertanggungjawab untuk kasus ini. Sangat sulit untuk dipahami, sebab kita tahu betul bahwa Adelina telah meninggal dengan kondisi seluruh tubuh terinfeksi. Tidak ada yang membawanya ke rumah sakit," ujar dia.
"Ini masalah kemanusiaan. Kita harus berpikir dari perspektif keluarga. Bagaimana keluarganya melihat anggota keluarganya meninggal dengan cara yang tragis dan tidak ada yang bertanggungjawab. Saya kira ini yang jadi persoalan," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Tenaganita Glorene A Das mengatakan mereka sangat kecewa bagaimana arah kasus tersebut telah dibawa untuk Adelia Lisao. Hal yang disayangkannya adalah hasil putusan tersebut berarti terus memupuk budaya impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Tenaganita, menurut Glorene, akan terus mencari keadilan untuk Adelina. Mereka akan menghubungi perwakilan KBRI untuk kemungkinan pengajuan gugatan perdata, dengan persetujuan keluarga tentunya.
Adelina Lisao, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga, meninggal pada 2018 setelah mengalami penyiksaan yang diduga dilakukan oleh majikannya, S Ambika.
Hakim Mahkamah Persekutuan memutuskan pada Kamis (23/6) untuk menolak banding yang diajukan jaksa atas putusan Pengadilan Tinggi pada April 2019 yang dikuatkan Mahkamah Banding Malaysia pada September 2020 terkait pembebasan Ambika, terdakwa dalam kasus tersebut.
Baca juga: Seorang PMI asal Aceh butuh bantuan untuk pulang dari Malaysia