Kuala Lumpur (ANTARA) - Waktu terasa cepat berlalu saat berbincang dengan Zaki dan Citra, dua pekerja migran Indonesia (PMI) yang kini bekerja dan menetap di Johor Bahru, Malaysia.
Pemilik nama lengkap Nur Yamsi Zakina (38) tidak putus bercerita tentang pengalamannya selama bekerja di luar negeri saat ditemui di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru. Dari cerita itu bisa dibilang Zaki bukanlah pekerja migran kemarin sore.
Dengan niat membantu orang tua terlepas dari lilitan utang, perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, itu meninggalkan kampung halamannya pada 2006. Impiannya bisa bekerja di Hong Kong, namun Singapura menjadi tempat pertamanya berlabuh.
Tentu itu bukan sebuah kegagalan dari seorang Zaki untuk mencapai impiannya menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) sukses. Semua harus berproses, dan Singapura hanya awal dari proses yang harus dilaluinya ketika itu.
“Keinginan saya itu, ingin pergi ke Hong Kong. Namun karena belum pandai dalam bahasa, akhirnya saya dianjurkan ke Singapura. Akhirnya saya masuk Singapura karena basic-nya bisa bahasa Inggris saja,” kata Zaki.
Hanya sekitar satu tahun delapan bulan ia bekerja di Singapura sebagai pengasuh anak, lalu kembali ke Tanah Air untuk segera mengurus semua perizinan agar dapat bekerja di Hong Kong secara legal.
Darah mudanya bergemuruh mengalir deras mencari hal baru yang lebih menantang hingga sempat pindah ke Makau untuk bekerja di sana. Sampai pada titik dirinya merasa sudah terlampau jauh melenceng dari apa yang menjadi mimpinya, Zaki memutuskan kembali ke Hong Kong dan bekerja sebagai pengasuh anak.
Mahasiswa Universitas Terbuka Pokjar Johor Bahru yang juga pekerja Indonesia Nur Yamsi Zakina di perpustakaan Sekolah Indonesia Johor Bahru saat wawancara dengan ANTARA di Johor Bahru, Malaysia, (3/12/2022). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Di sana ia mulai mengenal dan bergabung dengan sebuah organisasi yang khusus membela hak-hak TKI bernama Pilar. Zaki aktif ikut memperjuangkan hak-hak tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong, mulai dari gaji yang harus naik, uang makan, hingga perlindungan bagi profesinya, yang saat itu dirasakan belum cukup.
Ia juga menyalurkan hobi dan bakatnya berkesenian dengan bergabung dalam klub tari bernama You Can Dance, yang kemudian dilanjutkannya ketika kembali bekerja di Singapura.
Zaki bersama kelompok tarinya juga sempat mewakili Indonesia dalam sebuah lomba di Singapura dan berhasil meraih juara 1, dengan menampilkan tarian yang memadukan modern dance dengan sentuhan tradisional. Ia sempat mengenakan kostum Leak Bali ketika itu.
Sambil bekerja sebagai pengasuh anak, ternyata dirinya juga aktif berjualan batik secara daring. Ia bahkan mengaku kerap mendesain dan memproduksi sendiri model baju batiknya untuk dijual.
“Waktu lagi panas-panasnya budaya Korea, saya mix up dengan batik. Jadi saya memproduksi sebuah celana yang namanya celana kodok, jadi kayak hip hop style, seperti saya pakai sekarang. Keren juga,” kata Zaki.
Baca juga: Presiden Jokowi berharap penempatan satu kanal PMI di Malaysia berjalan baik
Ia mengunggah foto model-model batik yang diproduksinya di media sosial dan ternyata mendapat respons positif dari rekan-rekannya. Namun Zaki harus pulang ke Indonesia. Selain karena memang majikannya kembali ke Kanada, ternyata aktivitasnya berjualan daring di sana terbentur soal perizinan.
Akhirnya ia kembali ke Batam, ke rumah yang dibelinya dari hasil keringatnya selama menjadi pekerja migran di luar negeri. Ada kesempatan untuk menghela napas sejenak sambil mencari peluang lainnya.
Bagi PMI yang sudah pernah merasakan bekerja di negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, China atau Eropa, bahkan Amerika Serikat, bekerja di Malaysia mungkin menjadi opsi terakhir mengingat gaji yang akan diterima akan berbeda.
Karena merasa sulit mencari pekerjaan yang sesuai di Batam, Zaki akhirnya mencoba menerima tawaran kerja di Malaysia, tepatnya di Johor Bahru, sebagai cleaning service yang bekerja maksimal hanya 8 jam per hari di dua tempat berbeda.
Ia mengaku merasa lebih nyaman dan fleksibel bekerja di tempat yang sekarang, tidak harus 24 jam, seperti saat menjadi pengasuh anak. “Tempat kerja baik, di sini nyaman. Bosnya baik, jadi kami kerja di sini," katanya.
Sambil kuliah
Sementara Citra, pekerja migran Indonesia yang memiliki nama lengkap Citra Yudhi Lestari (22), mengatakan alasan utamanya mengambil pekerjaan di Malaysia justru karena ingin bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi.
Sempat lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Bangka Belitung, namun harus ia relakan kesempatan itu karena belum mendapat restu orang tua.
“Mungkin karena belum pernah keluar kota, (orang tua) bilangnya enggak usah lah terlalu jauh. Cari yang di dalam kota saja,” kata Citra, mengulangi perkataan orang tuanya.
Mahasiswa Universitas Terbuka Pokjar Johor Bahru yang juga merupakan pekerja Indonesia asal Medan Citra Yudhi Lestari di perpustakaan Sekolah Indonesia Johor Bahru saat wawancara dengan ANTARA di Johor Bahru, Malaysia, (3/12/2022). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Ada rasa kecewa memang, namun ia mengatakan tidak mau membantah kehendak orang tuanya. Citra yang lulus SMA pada 2017 akhirnya mencoba lagi, kali ini mengikuti kehendak ayahnya dengan mengikuti tes untuk menjadi bintara TNI Angkatan Udara di Lanud Soewondo dan Kepolisian, namun keduanya gagal.
“Kedua kali coba lagi di bintara, hampir lulus, tapi belum rezeki di situ. Yang penting saya sudah berusaha menyenangkan hati ayah,” ujar Citra, dengan suara sedikit terdengar parau dan mata berkaca-kaca saat mengenang peristiwa lampau itu.
Lalu muncul ide dari temannya untuk kuliah di Universitas Terbuka (UT) di Medan, yang ternyata memang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja. Citra mulai bersemangat lagi, dan mulai berpikir mencari pekerjaan, baru akan mendaftar kuliah.
Ia mencoba mengikuti rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Hukum dan HAM di 2018, dan lagi-lagi belum beruntung. Dirinya tidak langsung pulang ke rumah, tetapi memilih tinggal sementara di rumah temannya, dan menangis sejadi-jadinya di sana.
Sempat meratapi nasibnya dan berpikir mengapa terlalu banyak rintangannya.
Baca juga: Cerita mereka dari tempat perlindungan di Johor Bahru
Saat itulah temannya yang lain mengajaknya untuk mencoba menjadi TKI, yang tentu saja tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Terlebih, menurut dia, kesan seorang tenaga kerja Indonesia di kampungnya tidak begitu baik, komentar miring bertebaran di kalangan warga.
Namun Citra tidak peduli dan ingin membuktikan sebaliknya, bahwa menjadi TKI tidaklah buruk. Terlebih banyak teman SMA-nya yang secara akademis tidak sebaik dirinya, namun kini sudah dapat bekerja di pabrik-pabrik yang ada di Malaysia.
Jalan yang sebelumnya seperti tertutup rapat, menurut Citra, mulai terbuka. Perwakilan perusahaan Jepang yang beroperasi di Malaysia datang langsung mengadakan tes penerimaan tenaga kerja di Medan, dan kesempatan itu tidak disia-siakannya.
Citra bersama 14 Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya lolos dalam rekrutmen tersebut, dan mendapat kontrak kerja di Malaysia. Berita gembira itu, tidak segera disampaikan pada ibunya di rumah dan ayahnya yang saat itu sedang bekerja di sebuah ladang kelapa sawit di Papua.
Ia mengaku takut patah hati lagi jika sampai orang tuanya tidak mengizinkan. Hanya selang sekitar dua minggu sebelum keberangkatan ke Johor Bahru, barulah kabar itu disampaikannya pada keluarga.
Wejangan, nasihat, pesan mengalir dari keluarga besarnya. Citra anak pertama dan yang pertama akan bekerja di luar negeri, sudah sepatutnya semua keluarganya merasa khawatir.
Dan di Johor Bahru lah kini ia berada. Bekerja sebagai quality control di sebuah industri milik perusahaan Jepang yang beroperasi, sambil melanjutkan pendidikannya di Universitas Terbuka Kelompok Belajar (Pokjar) Johor Bahru.
Wajahnya begitu semringah saat menceritakan semua itu. Senyumnya mengembang.
Pekerja Indonesia, Nur Yamsi Zakina (kiri) dan Citra Yudhi Lestari (kanan) di ruang guru Sekolah Indonesia Johor Bahru usai wawancara dengan ANTARA di Johor Bahru, Malaysia, (3/12/2022). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Berbeda dengan Zaki yang dalam bekerja sehari-hari masih sempat membuka modul perkuliahan lewat aplikasi, Citra memilih untuk fokus melakukan kuliah daring hanya di akhir pekan. Mereka berdua menyesuaikan waktu yang paling fleksibel untuk dapat bekerja dan kuliah secara daring di UT.
Zaki saat ini masih berada di semester satu dan sengaja mengambil ilmu manajemen untuk bisa memajukan usaha batiknya. Sedangkan Citra ada di semester empat, dan segera ingin memberikan kejutan pada keluarganya saat nanti berstatus sarjana.
Citra menggambarkan dirinya lima tahun ke depan bisa menjadi guru yang berpartisipasi membangun kampungnya, terutama dalam hal pendidikan kaum muda. Akhlak, menurut dia, perlu diajarkan lebih baik bagi anak-anak di sana sebagai bekal untuk masa depan mereka.
Citra mengaku senang mengajar. Jika kesempatan itu ada, ia ingin menjadi guru.
Kebanggaan pekerja migran
Tidak ada kata minder menjadi seorang pekerja migran Indonesia. Karena bagi Zaki, mereka penyumbang besar devisa negara.
“Jadi kita itu penyumbang devisa terbesar nomor 1. Jadi enggak pernah tuh berpikir, ‘eh TKI di luar sana itu begitu ya’. Ah enggak. Dari uang itu kita bisa menggaji pejabat. Jadi bapak-bapak di DPR enggak boleh sombong ya,” kata Zaki, dilanjutkan dengan tawa.
Dan ketika sudah ada di luar negeri, Zaki mengatakan sangat penting untuk mengangkat nama Indonesia, sehingga tidak dipandang sebelah mata.
“Harus bisa menunjukkan Indonesia bukan butiran debu, seperti yang kau pikirkan kemarin. Jadi kita ingin kasih lihat kalau Indonesia itu bagus banget, indah banget,” kata Zaki yang berhasil menjawab pertanyaan dan membawa pulang sebuah sepeda dari Presiden Joko Widodo, saat masih bekerja di Singapura.
Itu juga yang menjadi alasan dirinya begitu semangat memperkenalkan batik di mancanegara. Batik Indonesia memiliki keragaman motif yang luar biasa kaya dan masing-masing memiliki filosofi tersendiri, lanjutnya.
Zaki berpesan untuk semua PMI di negara manapun mereka berada saat ini, untuk jangan pernah menyerah, terus semangat. Ketika merasa tertindas, cobalah untuk berbicara jangan hanya disimpan dalam hati, karena hanya akan membuat depresi.
“Terus kalian harus lebih mencintai diri sendiri. Jaga diri, karena ada keluarga kalian di Indonesia yang menunggu kalian,” ujar Zaki memberi semangat, terutama untuk para pekerja migran perempuan di luar sana.
Zaki dan Citra hanya mengenal kata maju. Karena kegagalan hanya butiran debu dari proses untuk terus maju.
Baca juga: Anak TKI tidak lagi harus jadi TKI
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Zaki dan Citra hanya kenal kata maju
Pemilik nama lengkap Nur Yamsi Zakina (38) tidak putus bercerita tentang pengalamannya selama bekerja di luar negeri saat ditemui di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru. Dari cerita itu bisa dibilang Zaki bukanlah pekerja migran kemarin sore.
Dengan niat membantu orang tua terlepas dari lilitan utang, perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, itu meninggalkan kampung halamannya pada 2006. Impiannya bisa bekerja di Hong Kong, namun Singapura menjadi tempat pertamanya berlabuh.
Tentu itu bukan sebuah kegagalan dari seorang Zaki untuk mencapai impiannya menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) sukses. Semua harus berproses, dan Singapura hanya awal dari proses yang harus dilaluinya ketika itu.
“Keinginan saya itu, ingin pergi ke Hong Kong. Namun karena belum pandai dalam bahasa, akhirnya saya dianjurkan ke Singapura. Akhirnya saya masuk Singapura karena basic-nya bisa bahasa Inggris saja,” kata Zaki.
Hanya sekitar satu tahun delapan bulan ia bekerja di Singapura sebagai pengasuh anak, lalu kembali ke Tanah Air untuk segera mengurus semua perizinan agar dapat bekerja di Hong Kong secara legal.
Darah mudanya bergemuruh mengalir deras mencari hal baru yang lebih menantang hingga sempat pindah ke Makau untuk bekerja di sana. Sampai pada titik dirinya merasa sudah terlampau jauh melenceng dari apa yang menjadi mimpinya, Zaki memutuskan kembali ke Hong Kong dan bekerja sebagai pengasuh anak.
Di sana ia mulai mengenal dan bergabung dengan sebuah organisasi yang khusus membela hak-hak TKI bernama Pilar. Zaki aktif ikut memperjuangkan hak-hak tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong, mulai dari gaji yang harus naik, uang makan, hingga perlindungan bagi profesinya, yang saat itu dirasakan belum cukup.
Ia juga menyalurkan hobi dan bakatnya berkesenian dengan bergabung dalam klub tari bernama You Can Dance, yang kemudian dilanjutkannya ketika kembali bekerja di Singapura.
Zaki bersama kelompok tarinya juga sempat mewakili Indonesia dalam sebuah lomba di Singapura dan berhasil meraih juara 1, dengan menampilkan tarian yang memadukan modern dance dengan sentuhan tradisional. Ia sempat mengenakan kostum Leak Bali ketika itu.
Sambil bekerja sebagai pengasuh anak, ternyata dirinya juga aktif berjualan batik secara daring. Ia bahkan mengaku kerap mendesain dan memproduksi sendiri model baju batiknya untuk dijual.
“Waktu lagi panas-panasnya budaya Korea, saya mix up dengan batik. Jadi saya memproduksi sebuah celana yang namanya celana kodok, jadi kayak hip hop style, seperti saya pakai sekarang. Keren juga,” kata Zaki.
Baca juga: Presiden Jokowi berharap penempatan satu kanal PMI di Malaysia berjalan baik
Ia mengunggah foto model-model batik yang diproduksinya di media sosial dan ternyata mendapat respons positif dari rekan-rekannya. Namun Zaki harus pulang ke Indonesia. Selain karena memang majikannya kembali ke Kanada, ternyata aktivitasnya berjualan daring di sana terbentur soal perizinan.
Akhirnya ia kembali ke Batam, ke rumah yang dibelinya dari hasil keringatnya selama menjadi pekerja migran di luar negeri. Ada kesempatan untuk menghela napas sejenak sambil mencari peluang lainnya.
Bagi PMI yang sudah pernah merasakan bekerja di negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, China atau Eropa, bahkan Amerika Serikat, bekerja di Malaysia mungkin menjadi opsi terakhir mengingat gaji yang akan diterima akan berbeda.
Karena merasa sulit mencari pekerjaan yang sesuai di Batam, Zaki akhirnya mencoba menerima tawaran kerja di Malaysia, tepatnya di Johor Bahru, sebagai cleaning service yang bekerja maksimal hanya 8 jam per hari di dua tempat berbeda.
Ia mengaku merasa lebih nyaman dan fleksibel bekerja di tempat yang sekarang, tidak harus 24 jam, seperti saat menjadi pengasuh anak. “Tempat kerja baik, di sini nyaman. Bosnya baik, jadi kami kerja di sini," katanya.
Sambil kuliah
Sementara Citra, pekerja migran Indonesia yang memiliki nama lengkap Citra Yudhi Lestari (22), mengatakan alasan utamanya mengambil pekerjaan di Malaysia justru karena ingin bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi.
Sempat lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Bangka Belitung, namun harus ia relakan kesempatan itu karena belum mendapat restu orang tua.
“Mungkin karena belum pernah keluar kota, (orang tua) bilangnya enggak usah lah terlalu jauh. Cari yang di dalam kota saja,” kata Citra, mengulangi perkataan orang tuanya.
Ada rasa kecewa memang, namun ia mengatakan tidak mau membantah kehendak orang tuanya. Citra yang lulus SMA pada 2017 akhirnya mencoba lagi, kali ini mengikuti kehendak ayahnya dengan mengikuti tes untuk menjadi bintara TNI Angkatan Udara di Lanud Soewondo dan Kepolisian, namun keduanya gagal.
“Kedua kali coba lagi di bintara, hampir lulus, tapi belum rezeki di situ. Yang penting saya sudah berusaha menyenangkan hati ayah,” ujar Citra, dengan suara sedikit terdengar parau dan mata berkaca-kaca saat mengenang peristiwa lampau itu.
Lalu muncul ide dari temannya untuk kuliah di Universitas Terbuka (UT) di Medan, yang ternyata memang diperuntukkan bagi mereka yang bekerja. Citra mulai bersemangat lagi, dan mulai berpikir mencari pekerjaan, baru akan mendaftar kuliah.
Ia mencoba mengikuti rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Hukum dan HAM di 2018, dan lagi-lagi belum beruntung. Dirinya tidak langsung pulang ke rumah, tetapi memilih tinggal sementara di rumah temannya, dan menangis sejadi-jadinya di sana.
Sempat meratapi nasibnya dan berpikir mengapa terlalu banyak rintangannya.
Baca juga: Cerita mereka dari tempat perlindungan di Johor Bahru
Saat itulah temannya yang lain mengajaknya untuk mencoba menjadi TKI, yang tentu saja tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Terlebih, menurut dia, kesan seorang tenaga kerja Indonesia di kampungnya tidak begitu baik, komentar miring bertebaran di kalangan warga.
Namun Citra tidak peduli dan ingin membuktikan sebaliknya, bahwa menjadi TKI tidaklah buruk. Terlebih banyak teman SMA-nya yang secara akademis tidak sebaik dirinya, namun kini sudah dapat bekerja di pabrik-pabrik yang ada di Malaysia.
Jalan yang sebelumnya seperti tertutup rapat, menurut Citra, mulai terbuka. Perwakilan perusahaan Jepang yang beroperasi di Malaysia datang langsung mengadakan tes penerimaan tenaga kerja di Medan, dan kesempatan itu tidak disia-siakannya.
Citra bersama 14 Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya lolos dalam rekrutmen tersebut, dan mendapat kontrak kerja di Malaysia. Berita gembira itu, tidak segera disampaikan pada ibunya di rumah dan ayahnya yang saat itu sedang bekerja di sebuah ladang kelapa sawit di Papua.
Ia mengaku takut patah hati lagi jika sampai orang tuanya tidak mengizinkan. Hanya selang sekitar dua minggu sebelum keberangkatan ke Johor Bahru, barulah kabar itu disampaikannya pada keluarga.
Wejangan, nasihat, pesan mengalir dari keluarga besarnya. Citra anak pertama dan yang pertama akan bekerja di luar negeri, sudah sepatutnya semua keluarganya merasa khawatir.
Dan di Johor Bahru lah kini ia berada. Bekerja sebagai quality control di sebuah industri milik perusahaan Jepang yang beroperasi, sambil melanjutkan pendidikannya di Universitas Terbuka Kelompok Belajar (Pokjar) Johor Bahru.
Wajahnya begitu semringah saat menceritakan semua itu. Senyumnya mengembang.
Berbeda dengan Zaki yang dalam bekerja sehari-hari masih sempat membuka modul perkuliahan lewat aplikasi, Citra memilih untuk fokus melakukan kuliah daring hanya di akhir pekan. Mereka berdua menyesuaikan waktu yang paling fleksibel untuk dapat bekerja dan kuliah secara daring di UT.
Zaki saat ini masih berada di semester satu dan sengaja mengambil ilmu manajemen untuk bisa memajukan usaha batiknya. Sedangkan Citra ada di semester empat, dan segera ingin memberikan kejutan pada keluarganya saat nanti berstatus sarjana.
Citra menggambarkan dirinya lima tahun ke depan bisa menjadi guru yang berpartisipasi membangun kampungnya, terutama dalam hal pendidikan kaum muda. Akhlak, menurut dia, perlu diajarkan lebih baik bagi anak-anak di sana sebagai bekal untuk masa depan mereka.
Citra mengaku senang mengajar. Jika kesempatan itu ada, ia ingin menjadi guru.
Kebanggaan pekerja migran
Tidak ada kata minder menjadi seorang pekerja migran Indonesia. Karena bagi Zaki, mereka penyumbang besar devisa negara.
“Jadi kita itu penyumbang devisa terbesar nomor 1. Jadi enggak pernah tuh berpikir, ‘eh TKI di luar sana itu begitu ya’. Ah enggak. Dari uang itu kita bisa menggaji pejabat. Jadi bapak-bapak di DPR enggak boleh sombong ya,” kata Zaki, dilanjutkan dengan tawa.
Dan ketika sudah ada di luar negeri, Zaki mengatakan sangat penting untuk mengangkat nama Indonesia, sehingga tidak dipandang sebelah mata.
“Harus bisa menunjukkan Indonesia bukan butiran debu, seperti yang kau pikirkan kemarin. Jadi kita ingin kasih lihat kalau Indonesia itu bagus banget, indah banget,” kata Zaki yang berhasil menjawab pertanyaan dan membawa pulang sebuah sepeda dari Presiden Joko Widodo, saat masih bekerja di Singapura.
Itu juga yang menjadi alasan dirinya begitu semangat memperkenalkan batik di mancanegara. Batik Indonesia memiliki keragaman motif yang luar biasa kaya dan masing-masing memiliki filosofi tersendiri, lanjutnya.
Zaki berpesan untuk semua PMI di negara manapun mereka berada saat ini, untuk jangan pernah menyerah, terus semangat. Ketika merasa tertindas, cobalah untuk berbicara jangan hanya disimpan dalam hati, karena hanya akan membuat depresi.
“Terus kalian harus lebih mencintai diri sendiri. Jaga diri, karena ada keluarga kalian di Indonesia yang menunggu kalian,” ujar Zaki memberi semangat, terutama untuk para pekerja migran perempuan di luar sana.
Zaki dan Citra hanya mengenal kata maju. Karena kegagalan hanya butiran debu dari proses untuk terus maju.
Baca juga: Anak TKI tidak lagi harus jadi TKI
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Zaki dan Citra hanya kenal kata maju