Jakarta (ANTARA) - Organisasi Migrant CARE melaporkan dugaan jual beli surat suara di Malaysia selama Pemilu 2024 ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
Staf Migrant CARE Muhammad Santosa menjelaskan modus jual beli surat suara adalah dengan memanfaatkan surat suara yang dikirimkan ke kotak pos di jalur tangga apartemen tanpa memberikannya kepada pemilih secara langsung.
"Misalkan saya sebagai yang penerima surat suara tersebut. Saya sering lalu-lalang di situ naik turun-naik turun, tetapi kan saya tidak tahu apakah saya mendapatkan kiriman surat suara pos atau tidak. Saya tidak pernah tahu," kata Santosa di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Selasa.
Santosa kemudian menuturkan pedagang surat suara kemudian memanfaatkan ketidaktahuan pemilih. Pedagang surat suara itu, kata dia, memang sengaja mengincar kotak pos di sejumlah apartemen.
"Mereka memang sengaja mencari dari kotak pos satu ke kotak pos yang lainnya. Akhirnya dari satu, dua, sembilan, sepuluh, sampai terkumpul banyak. Nah, ketika mereka terkumpul banyak, mereka akan mengamankan di satu tempat," ujarnya.
Setelah itu, lanjut dia, pedagang surat suara mencari peserta pemilu yang membutuhkan dan kemudian dijual dengan menggunakan mata uang Malaysia, ringgit.
"Jadi misalkan saya butuh seribu surat suara dari Malaysia. Si pedagang susu (surat suara) oke. 'Saya kasih satu surat suara, dua puluh lima ringgit. Saya kasih satu surat suara, lima puluh ringgit,' dan seterusnya, seperti itu," tuturnya.
Oleh sebab itu, Staf Migrant CARE Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan bahwa pihaknya merekomendasikan kepada Bawaslu untuk menghapus metode pemungutan surat suara berbasis pos.
"Inilah yang menjadi fokus kami di tiap tahunnya. Dari tahun 2009, 2014, 2019. Dan sekarang rekomendasi kami kepada Bawaslu tetap, yakni adanya penghapusan metode pos karena memang pelaksanaanya tidak transparan," kata Trisna.
Trisna menjelaskan bahwa pemilih yang menggunakan pos tidak bisa melacak surat suara yang akan digunakan sudah berada di mana.
"Itu tidak ada transparansi. Jadi nirpengawasan juga. Itulah yang pada tahun ini, kali ini juga makin mencuat bahwa perdagangan surat suara dalam bentuk mengakumulasi surat suara yang berada di pos-pos itu kian nyata kita saksikan bersama," ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Migrant CARE laporkan ke Bawaslu RI jual beli surat suara di Malaysia
Staf Migrant CARE Muhammad Santosa menjelaskan modus jual beli surat suara adalah dengan memanfaatkan surat suara yang dikirimkan ke kotak pos di jalur tangga apartemen tanpa memberikannya kepada pemilih secara langsung.
"Misalkan saya sebagai yang penerima surat suara tersebut. Saya sering lalu-lalang di situ naik turun-naik turun, tetapi kan saya tidak tahu apakah saya mendapatkan kiriman surat suara pos atau tidak. Saya tidak pernah tahu," kata Santosa di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Selasa.
Santosa kemudian menuturkan pedagang surat suara kemudian memanfaatkan ketidaktahuan pemilih. Pedagang surat suara itu, kata dia, memang sengaja mengincar kotak pos di sejumlah apartemen.
"Mereka memang sengaja mencari dari kotak pos satu ke kotak pos yang lainnya. Akhirnya dari satu, dua, sembilan, sepuluh, sampai terkumpul banyak. Nah, ketika mereka terkumpul banyak, mereka akan mengamankan di satu tempat," ujarnya.
Setelah itu, lanjut dia, pedagang surat suara mencari peserta pemilu yang membutuhkan dan kemudian dijual dengan menggunakan mata uang Malaysia, ringgit.
"Jadi misalkan saya butuh seribu surat suara dari Malaysia. Si pedagang susu (surat suara) oke. 'Saya kasih satu surat suara, dua puluh lima ringgit. Saya kasih satu surat suara, lima puluh ringgit,' dan seterusnya, seperti itu," tuturnya.
Oleh sebab itu, Staf Migrant CARE Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan bahwa pihaknya merekomendasikan kepada Bawaslu untuk menghapus metode pemungutan surat suara berbasis pos.
"Inilah yang menjadi fokus kami di tiap tahunnya. Dari tahun 2009, 2014, 2019. Dan sekarang rekomendasi kami kepada Bawaslu tetap, yakni adanya penghapusan metode pos karena memang pelaksanaanya tidak transparan," kata Trisna.
Trisna menjelaskan bahwa pemilih yang menggunakan pos tidak bisa melacak surat suara yang akan digunakan sudah berada di mana.
"Itu tidak ada transparansi. Jadi nirpengawasan juga. Itulah yang pada tahun ini, kali ini juga makin mencuat bahwa perdagangan surat suara dalam bentuk mengakumulasi surat suara yang berada di pos-pos itu kian nyata kita saksikan bersama," ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Migrant CARE laporkan ke Bawaslu RI jual beli surat suara di Malaysia