Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengemukakan kondisi lapar kerja di tengah masyarakat yang terjadi pascapandemi COVID-19 dimanfaatkan sindikat tindak pidana perdagangan orang atau TPPO untuk menjerat korban.
"Kondisi lapar kerja ini yang kemudian dimanfaatkan sindikat untuk membuka atau mengiming-iming pekerjaan dan pekerjaan-pekerjaan itu ke luar negeri, tetapi informasi yang diberikan tidak jelas,” kata Wahyu dalam diskusi daring bertema "Darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 dipantau di Jakarta, Rabu.
Wahyu memaparkan kondisi lapar kerja itu terjadi setelah eskalasi pengangguran dan kemiskinan meningkat di tengah masyarakat pada masa pandemi COVID-19.
"Kemudian banyak pekerja-pekerja migran kita yang ke luar negeri Itu dipulangkan, sementara ada penghentian sementara untuk kerja ke luar negeri pada waktu itu," ucapnya.
Maka setelah pandemi usai, lanjut Wahyu, masyarakat dengan kondisi lapar kerja berebut untuk mendapatkan peluang kerja meskipun dengan risiko yang tinggi.
"Pascapandemi kondisi ketenagakerjaan kita tidak langsung pulih ya, seperti itu. Jadi, kondisinya juga masih melanjutkan kerentanan yang lama, banyak pekerja atau kondisi ketenagakerjaan kita lebih banyak memberikan proses prekariatisasi pada kelompok pekerja,” tuturnya.
Wahyu kemudian mencontohkan sindikat TPPO memanfaatkan kondisi lapar kerja pascapandemi itu dengan menggunakan corak baru yang menyasar kelompok anak muda bekerja pada sektor kejahatan digital.
"Sektor digital yang kemudian menjadi iming-iming mereka untuk bisa kerja ke luar negeri dan ternyata mereka banyak dipekerjakan di sektor-sektor yang menggunakan teknologi digital, dan ternyata itu adalah kejahatan. Misalnya, scamming online atau judi online,” katanya.
Menurut dia, kerentanan pekerja migran Indonesia menjadi korban TPPO erat kaitannya dengan kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air yang belum kompetitif dalam pengupahan dan tenaga kerja yang lebih banyak masuk sektor pekerjaan informal.
"Ini yang juga menjadi salah satu faktor kemudian orang bekerja ke luar negeri dengan risiko apa pun karena juga iming-iming soal upah yang lebih tinggi, kemudian kerja di luar negeri itu juga lebih menjanjikan," katanya.
Pada diskusi tersebut, hadir pula sejumlah narasumber lainnya, di antaranya Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tengah Kombes Polisi Bagus Setiyawan, dan Direktur Sarinah Institute Eva Kusuma Sundari.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Migrant Care: Lapar kerja usai pandemi dimanfaatkan sindikat TPPO
"Kondisi lapar kerja ini yang kemudian dimanfaatkan sindikat untuk membuka atau mengiming-iming pekerjaan dan pekerjaan-pekerjaan itu ke luar negeri, tetapi informasi yang diberikan tidak jelas,” kata Wahyu dalam diskusi daring bertema "Darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 dipantau di Jakarta, Rabu.
Wahyu memaparkan kondisi lapar kerja itu terjadi setelah eskalasi pengangguran dan kemiskinan meningkat di tengah masyarakat pada masa pandemi COVID-19.
"Kemudian banyak pekerja-pekerja migran kita yang ke luar negeri Itu dipulangkan, sementara ada penghentian sementara untuk kerja ke luar negeri pada waktu itu," ucapnya.
Maka setelah pandemi usai, lanjut Wahyu, masyarakat dengan kondisi lapar kerja berebut untuk mendapatkan peluang kerja meskipun dengan risiko yang tinggi.
"Pascapandemi kondisi ketenagakerjaan kita tidak langsung pulih ya, seperti itu. Jadi, kondisinya juga masih melanjutkan kerentanan yang lama, banyak pekerja atau kondisi ketenagakerjaan kita lebih banyak memberikan proses prekariatisasi pada kelompok pekerja,” tuturnya.
Wahyu kemudian mencontohkan sindikat TPPO memanfaatkan kondisi lapar kerja pascapandemi itu dengan menggunakan corak baru yang menyasar kelompok anak muda bekerja pada sektor kejahatan digital.
"Sektor digital yang kemudian menjadi iming-iming mereka untuk bisa kerja ke luar negeri dan ternyata mereka banyak dipekerjakan di sektor-sektor yang menggunakan teknologi digital, dan ternyata itu adalah kejahatan. Misalnya, scamming online atau judi online,” katanya.
Menurut dia, kerentanan pekerja migran Indonesia menjadi korban TPPO erat kaitannya dengan kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air yang belum kompetitif dalam pengupahan dan tenaga kerja yang lebih banyak masuk sektor pekerjaan informal.
"Ini yang juga menjadi salah satu faktor kemudian orang bekerja ke luar negeri dengan risiko apa pun karena juga iming-iming soal upah yang lebih tinggi, kemudian kerja di luar negeri itu juga lebih menjanjikan," katanya.
Pada diskusi tersebut, hadir pula sejumlah narasumber lainnya, di antaranya Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tengah Kombes Polisi Bagus Setiyawan, dan Direktur Sarinah Institute Eva Kusuma Sundari.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Migrant Care: Lapar kerja usai pandemi dimanfaatkan sindikat TPPO