Kuala Lumpur, (AntaraKL) - Anggota parlemen ASEAN yang tengah menyelesaikan misi pencarian fakta menekankan perlunya tindakan regional lebih besar dalam upaya untuk menyelesaikan krisis Rohingya.

Seruan tersebut disampaikan oleh Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR), sebuah perkumpulan anggota parlemen di wilayah Asia Tenggara, Rabu, yang tengah melakukan pertemuan di Dhaka, Bangladesh, 21-24 Januari.

Pertemuan di Cox`s Bazar tersebut mencakup pertemuan dengan para pengungsi, aktor kemanusiaan, anggota parlemen, dan pejabat pemerintahan.

"Dimana ASEAN ? Inilah pertanyaan yang terus kami dengar dari setiap orang yang kami temui," kata Ketua APHR Charles Santiago, anggota Parlemen Malaysia, yang memimpin delegasi tersebut.

Dia mengatakan ASEAN sebagai blok regional harus memainkan peran utama dalam menyelesaikan krisis ini.

"Sebagai wakil rakyat ASEAN, kita berada di Dhaka untuk menuntut agar pemerintah kita untuk dapat segera beraksi. Oleh karena itu, kami meminta ASEAN untuk mengadakan pertemuan mendesak para menteri luar negeri dari semua negara anggota untuk membahas krisis tersebut dan membuat rencana tindakan untuk mengatasinya," katanya.

Mantan anggota parlemen dari Thailand, Rachada Dhnadirek mengatakan negara-negara ASEAN harus berhenti menggunakan prinsip tidak campur tangan (noninterference) sebagai alasan untuk tidak bertindak.

"Ini telah menjadi isu lama yang mempengaruhi seluruh wilayah, dan ASEAN perlu mengambil tindakan konkret dan kolektif untuk menghadapinya secara langsung. Komitmen finansial untuk mendukung bantuan kemanusiaan sangat penting, namun harus disertai dengan tekanan ke militer Myanmar untuk mengakhiri penganiayaan yang berada di akar krisis," katanya.

Pada 22 Januari delegasi APHR mengunjungi kemah pengungsian Kutupalong dan Balukhali, tempat ratusan ribu orang Rohingya telah menetap sejak Agustus 2017, bergabung dengan orang lain yang melarikan diri dari gelombang penganiayaan dan kekerasan sebelumnya di negara bagian Rakhine di Myanmar.

Anggota- anggota parlemen berbicara dengan para pengungsi tentang pengalaman mereka di Myanmar, juga tentang situasi mereka saat ini, kekhawatiran, dan harapan mereka di masa datang.

"Cerita yang kami dengar langsung dari pengungsi Rohingya sangat memilukan, dari orang tua yang menyaksikan anak-anak mereka terbunuh hingga anak-anak yang terluka parah," kata Louis Ng, anggota Parlemen Singapura.

Mantan anggota DPR RI, Lena Maryana Mukti mengatakan komunitas ASEAN harus berbicara dengan satu suara dan menunjukkan komitmen sejati untuk menyelesaikan krisis.

"Dengan jauh dari maksud untuk merendahkan kebijakan tidak campur tangan (non-interference policy) ASEAN, menangani masalah ini secara langsung akan menjadi kesempatan untuk memperkuat prinsip-prinsip inti Piagam ASEAN," kata Lena yang juga pengurus DPP PPP tersebut.

Kunjungan delegasi tersebut bertepatan dengan tanggal mulai mengumumkan untuk repatriasi pengungsi, berdasarkan sebuah kesepakatan bilateral antara pemerintah Bangladesh dan Myanmar yang ditandatangani pada November 2017.

Pada tanggal 16 Januari sebuah kelompok kerja yang dibentuk oleh kedua pemerintah sepakat untuk melakukan repatriasi dalam jangka waktu dua tahun, dengan pengembalian awal yang akan dimulai Minggu ini.

Namun pada 22 Januari para pejabat Bangladesh mengumumkan bahwa pemulangan tidak akan dimulai sesuai jadwal.

Pada 23 Januari anggota parlemen ASEAN bertemu dengan rekan-rekannya di Parlemen Bangladesh, termasuk Ketua Shirin Sharmin Chaudhury.

Anggota parlemen membahas apa yang dapat dilakukan oleh ASEAN dan anggota-anggota negara ASEAN untuk mendukung upaya penyelesaian krisis, termasuk dalam menekan Myanmar. 










Pewarta : Agus Setiawan
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024