Jakarta (ANTARA) -

Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Zainal Abidin Bakar menyebut lima nelayan Indonesia diculik di perairan Sabah karena mereka melaut pada malam hari.

Tindakan ini menyalahi aturan jam malam atau larangan melaut pada waktu tertentu yang diberlakukan oleh otoritas Malaysia.

“Kami diberitahu bahwa mereka pergi selama jam malam, dan karena itu pemerintah Malaysia tidak bisa melakukan pengawasan yang semestinya,” kata Zainal saat ditemui di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Kamis.

“Ini adalah salah satu alasan mengapa kita memberi nasihat agar seluruh kapal penangkap ikan Malaysia harus mematuhi aturan,” ia melanjutkan.

Kapal ikan berbendera Malaysia yang diawaki delapan WNI hilang di perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah pada 16 Januari 2020 pukul 20.00 waktu setempat.

Kasus ini terkonfirmasi sebagai penculikan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf karena keesokan harinya kapal tersebut terlihat masuk kembali ke perairan Tambisan dari arah Filipina, pada pukul 21.10 waktu setempat.

Di dalam kapal terdapat tiga ABK WNI yang dilepaskan penculik dan lima ABK WNI lainnya dibawa kelompok penculik.

Ketiga WNI yang kembali bersama kapalnya adalah Abdul Latif (37), Daeng Akbal (20), dan Pian bin Janiru (36), sedangkan lima rekannya yang hingga kini disandera oleh kelompok Abu Sayyaf adalah Arsyad bin Dahlan (42) selaku juragan, Arizal Kastamiran (29), La Baa (32), Riswanto bin Hayono (27), dan Edi bin Lawalopo (53).

Terkait kasus ini, Dubes Zainal mengakui sulitnya melakukan kontrol atas wilayah perairan yang cakupannya luas, apalagi ditambah para pemilik kapal dan nelayan yang tidak mematuhi aturan.

“Mereka menjadi sasaran empuk (untuk diculik). Hal yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana menasihati mereka dan menghentikan kejadian ini,” kata dia.

Pemerintah Malaysia sendiri, ia melanjutkan, telah menghabiskan banyak biaya untuk penegakan hukum di wilayah perairannya dan terus berkomitmen menjalankan kerja sama patroli trilateral bersama Indonesia dan Filipina.

Namun, ia menyatakan bahwa standar prosedur operasional (SOP) patroli trilateral perlu dikaji kembali sehingga tindakan yang lebih efektif dapat diambil.

Hal tersebut juga telah ia bahas bersama pihak Kemlu RI dan perwakilan Kedubes Filipina di Jakarta dalam pertemuan Rabu (22/1).

“Ini menjadi salah satu topik dalam diskusi kami, dan mungkin untuk meninjau mekanisme di antara otoritas tiga negara,” kata Zainal.

Di sisi lain, Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha meminta otoritas Malaysia mengintensifkan patroli, terutama pada malam hari saat penculikan paling sering terjadi.

Pasalnya, sejak 2016, tercatat 44 WNI menjadi korban dari 13 kasus penculikan yang terjadi di perairan Sabah.

“Kita meminta otoritas Malaysia untuk bisa mengintensifkan patroli, jadi ada penegakan hukum terhadap kapal-kapal yang melanggar jam malam,” tutur Judha.
 

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha ditemui di Jakarta, Rabu (23/1/2020). (ANTARA/Yashinta Difa)


Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi juga telah meminta para pemilik kapal Malaysia yang mempekerjakan nelayan atau anak buah kapal (ABK) WNI untuk ikut melindungi keselamatan mereka.

Di wilayah Sabah sendiri, diperkirakan 1.000-1.500 WNI bekerja di sektor perikanan.

“Memang mayoritas awak kapal yang bekerja di kapal-kapal ikan yang beroperasi di wilayah Sabah adalah WNI. Jadi ketika ada penculikan, kemungkinan warga kita tertangkap sangat besar,” kata Judha.

“Itulah sebabnya ketika situasi kondisi keamanan belum terjamin, yang bisa kita lakukan dalam waktu dekat adalah mengimbau para nelayan WNI agar tidak melaut karena ada faktor risiko,” ia menambahkan.
 


Pewarta : Yashinta Difa Pramudyani
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024