Ramallah (ANTARA) - Kepresidenan Palestina memperingatkan bahwa rencana serangan Israel terhadap Kota Rafah di Gaza selatan, yang berbatasan dengan Mesir, merupakan pelanggaran nyata yang tidak bisa diterima.
Pada Jumat (8/2), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militer Israel untuk menetapkan rencana ganda untuk mengevakuasi warga Palestina dari Rafah--rumah bagi lebih dari 1 juta orang yang mencari perlindungan dari perang--dan untuk mengalahkan batalyon terakhir kelompok Hamas di sana.
Dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, Kepresidenan Palestina di Tepi Barat dengan keras menolak dan mengutuk pernyataan Netanyahu tentang "rencana untuk memperluas serangan Israel ke Provinsi Rafah yang padat penduduk.
Kepresidenan Palestina menyatakan Israel bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari serangan tersebut, dan juga menekankan “tanggung jawab khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah eskalasi yang dapat menimbulkan bencana.”
“Rakyat Palestina tidak akan meninggalkan tanah mereka dan tidak akan menerima pengusiran paksa dari tanah air mereka," kata kantor kepresidenan.
Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, Israel memerintahkan penduduk di bagian utara dan tengah Gaza untuk mengungsi ke bagian selatan wilayah tersebut, yang menyebabkan kondisi yang penuh sesak saat ini di wilayah selatan, terutama di Rafah.
Israel terus melanjutkan serangannya di Gaza, di mana sedikitnya 27.947 warga Palestina telah terbunuh dan 67.459 orang lainnya terluka sejak 7 Oktober, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Serangan Israel dipicu serangan lintas batas yang dilancarkan Hamas, yang menurut Tel Aviv menewaskan hampir 1.200 korban.
Serangan Israel juga menyebabkan 85 persen penduduk Gaza terpaksa pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong itu rusak atau hancur, menurut PBB.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Palestina: serangan Israel ke Rafah pelanggaran yang tak bisa diterima
Pada Jumat (8/2), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militer Israel untuk menetapkan rencana ganda untuk mengevakuasi warga Palestina dari Rafah--rumah bagi lebih dari 1 juta orang yang mencari perlindungan dari perang--dan untuk mengalahkan batalyon terakhir kelompok Hamas di sana.
Dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, Kepresidenan Palestina di Tepi Barat dengan keras menolak dan mengutuk pernyataan Netanyahu tentang "rencana untuk memperluas serangan Israel ke Provinsi Rafah yang padat penduduk.
Kepresidenan Palestina menyatakan Israel bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari serangan tersebut, dan juga menekankan “tanggung jawab khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah eskalasi yang dapat menimbulkan bencana.”
“Rakyat Palestina tidak akan meninggalkan tanah mereka dan tidak akan menerima pengusiran paksa dari tanah air mereka," kata kantor kepresidenan.
Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, Israel memerintahkan penduduk di bagian utara dan tengah Gaza untuk mengungsi ke bagian selatan wilayah tersebut, yang menyebabkan kondisi yang penuh sesak saat ini di wilayah selatan, terutama di Rafah.
Israel terus melanjutkan serangannya di Gaza, di mana sedikitnya 27.947 warga Palestina telah terbunuh dan 67.459 orang lainnya terluka sejak 7 Oktober, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Serangan Israel dipicu serangan lintas batas yang dilancarkan Hamas, yang menurut Tel Aviv menewaskan hampir 1.200 korban.
Serangan Israel juga menyebabkan 85 persen penduduk Gaza terpaksa pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong itu rusak atau hancur, menurut PBB.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Palestina: serangan Israel ke Rafah pelanggaran yang tak bisa diterima