Buruh Migran Serukan Penghentian Perbudakan Modern

id Buruh Migran Serukan Penghentian Perbudakan Modern

Buruh Migran Serukan Penghentian Perbudakan Modern

Aksi di Hong Kong menuntut keadilan atas Erwiana, yang dipukuli hingga luka parah oleh majikannya. (REUTERS/Tyrone Siu )

Bandarlampung, (AntaraKL) - Aliansi Buruh Migran Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) dan Asian Migrant Coordinating Body (AMCB) berdemonstrasi ke kantor Konsulat Indonesia dan Pemerintah Hong Kong, untuk menyerukan praktik perbudakan modern segera diakhiri.

"Kami menggelar demonstrasi pada 1 Mei ini," kata Sringatin, juru bicara Justice for Erwiana and All Migrant Domestic Workers Committee melalui penjelasan yang diterima di Bandarlampung, Kamis (1/5).

Demonstrasi itu digelar untuk menuntut penghapusan aturan visa dua minggu dan pembatasan visa yang diskriminatif, menaikkan gaji menjadi HKD4.500, mencabut pemaksaan serumah dengan majikan (live-in), menerapkan aturan jam kerja serta menghapus praktik-praktik yang merendahkan martabat buruh migran.

"Kami mengundang buruh migran untuk bergabung dalam May Day ini. Kami akan memakai atribut serba merah dan berkumpul di Victoria Park pukul 11.00 WIB. Kami menyerukan kepada pemerintah Hong Kong dan Indonesia untuk segera mengakhiri perbudakan modern," kata Sringatin lagi.

Pada persidangan TKW Erwiana yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kwun Magistracy Court, Selasa (29/4), menurut Sringatin pula, sekitar 50 orang buruh migran dan pendukungnya melakukan aksi solidaritas di luar pengadilan.

"Kami menuntut agar pemerintah Hong Kong segera mengubah dan mencabut peraturan yang menyebabkan pekerja rumah tangga (PRT) migran diperbudak," ujarnya.

Problem TKI

Capacity Building Specialist Promote Project International Labour Organization (ILO) Jakarta, Irham Ali Saifuddin mengatakan, berbagai persoalan masih saja dihadapi para TKI di luar negeri.

Persoalan ini, ujar Irham, disebabkan banyak hal yang kompleks. "Salah satu yang paling signifikan adalah kelemahan produk peraturan atau perundangan yang benar-benar menjamin perlindungan dan berpihak kepada TKI," katanya lagi.

Irham menyatakan, masalah TKI tidak bisa dipisahkan dari persoalan PRT, karena hampir 80 persen TKI Indonesia adalah pekerja rumah tangga (PRT), salah satu pekerjaan tertua dan didominasi kaum perempuan.

Irham juga menilai, negara selama ini berkilah bahwa penanganan PRT sudah cukup dengan UU PKDRT, UU Trafficking, dan UU Perlindungan Anak.

"Di sini terlihat jelas bahwa negara lupa bahwa PRT adalah masalah ketenagakerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan ketiga UU tersebut saja. Jaminan PRT sebagai tenaga kerja perlu diberikan," kata dia menegaskan.

Ia menambahkan, jaminan itulah yang nantinya akan negara tuntut untuk juga diberikan oleh negara-negara penerima TKI Indonesia.

"Bila kita sudah memiliki UU PPRT, kita akan dengan gagah bisa menuntut negara-negara tujuan TKI tersebut untuk melindungi PRT sebagai pekerja, bukan hanya perlindungan dari tindak kekerasan, pelecehan atau perlakuan kurang manusiawi lainnya, melainkan perlindungan menyeluruh menyangkut hak-hak ketenagakerjaan mereka," kata Irham pula.