Jakarta (ANTARA) - Transisi energi berkelanjutan menjadi salah satu dari tiga isu utama yang diangkat Indonesia dalam menjalankan perannya sebagai Presiden G20 tahun ini.
Untuk mendukung komitmen menuju transisi energi berkelanjutan, Indonesia menggunakan kendaraan listrik (electric vehicles/EV) selama rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali, pada 15-16 November 2022.
Total kendaraan listrik yang akan digunakan dalam perhelatan akbar tersebut mencapai 1.452 unit untuk seluruh delegasi, dengan rincian sebanyak 962 mobil listrik, 454 motor listrik, dan sisanya sebanyak 36 bus listrik.
Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno, selain sejalan dengan misi transisi energi, penggunaan kendaraan listrik dalam puncak acara Presidensi G20 Indonesia juga bertujuan untuk mengurangi emisi karbon.
Bukti keseriusan pemerintah dalam pengurangan emisi salah satunya adalah arahan Presiden Joko Widodo yang menetapkan penggunaan kendaraan listrik menjadi kendaraan dinas instansi pemerintah pusat dan daerah, melalui Inpres Nomor 7 Tahun 2022.
Melalui inpres itu, Presiden memerintahkan setiap menteri hingga kepala daerah agar menyusun dan menetapkan regulasi untuk mendukung percepatan pelaksanaan penggunaan kendaraan listrik.
Kepala Negara juga menginstruksikan penyusunan alokasi anggaran untuk mendukung program tersebut.
Berbicara dalam Bloomberg CEO Forum menjelang KTT G20 di Bali pada 11 November lalu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pengadaan kendaraan pemerintah tahun depan harus terdiri atas kendaraan listrik sehingga dapat mendorong minat masyarakat untuk membeli dan menggunakannya.
Untuk semakin mempromosikan kendaraan listrik kepada masyarakat Indonesia, pemerintah berencana memberikan subsidi pembelian mobil dan sepeda motor listrik pada 2023.
Hingga saat ini skema pemberian subsidi masih terus dibahas, termasuk pertimbangan pemerintah untuk menyiapkan subsidi sebesar Rp7,5 juta untuk setiap pembelian mobil listrik, agar harganya bisa bersaing dengan mobil berbahan bakar minyak.
“Tidak ada yang akan membeli mobil listrik kalau harganya lebih mahal daripada mobil berbahan bakar,” ujar Luhut.
Selain subsidi, pemerintah juga sedang membahas rencana pemotongan pajak bagi pengguna kendaraan listrik dan insentif impor bagi industri kendaraan listrik yang membangun pabriknya di Indonesia.
Berbagai rencana kebijakan tersebut masih akan terus dimatangkan dan ditargetkan rampung akhir tahun ini.
Menurut Direktur Program Eksekutif Wilayah Asia Pasifik Toyota Mobility Foundation Pras Ganesh, diperlukan tiga faktor pendukung untuk pengembangan kendaraan listrik yaitu pertama, mempercepat pemanfaatan energi terbarukan; kedua, mendorong produksi dan manufaktur lokal dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan di dalam negeri; serta ketiga menarik minat konsumen dengan harga yang kompetitif dan subsidi.
Ketika berbicara mengenai Indonesia, disebutkan salah satu tantangannya adalah pasar dengan jenis kendaraan yang beragam serta biaya energi terbarukan yang lebih tinggi.
Di Indonesia, mobil kecil atau segmen B mencakup sekitar 50 persen dari pasar dan kendaraan komersial atau kendaraan niaga ringan mencakup 20 persen dari pasar sehingga sekitar 70 persen pasar sudah termasuk kategori yang berbeda dari kendaraan listrik.
Pemerintah dinilai perlu memahami pasar dan aspek keberagamannya serta memperkuat potensi energi terbarukan Indonesia, salah satunya melalui pengembangan industri nikel dan baterai listrik, untuk mendukung elektrifikasi di sektor transportasi.
Indonesia diminta menciptakan faktor-faktor untuk menurunkan harga, seperti pemberian subsidi serta kebijakan yang mendukung infrastruktur serta industri kendaraan listrik.
“Ini adalah area yang sedang kami kerjakan termasuk dengan beberapa BUMN, misalnya, di Indonesia, untuk meningkatkan kemampuan manufaktur komponen listrik atau elektrifikasi,” kata dia dalam forum tersebut.
Baca juga: Presiden AS dan China akan bertemu bahas isi global dan regional di Bali