Menikmati sentuhan abad 17 di Kota Tua Padang

id Kota Tua Padang Oleh Miko Elfisha

Menikmati sentuhan abad 17 di Kota Tua Padang

Gedung Gedung GEO Wehry & CO yang menjadi salah satu ikon Kota Tua Padang. (ANTARA/Miko Elfisha)



Konsep kerja sama itu, menurut Kepala Dinas Pariwisata Sumbar, Luhur Budianda merupakan sebuah terobosan. Pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang mencukupi untuk melakukan revitalisasi puluhan bangunan peninggalan Belanda di pinggiran Sungai Batang Arau,  termasuk juga anggaran untuk pemeliharaan yang diperkirakan juga tidak kalah besarnya.

Padahal, bangunan-bangunan yang menyimpan banyak sejarah itu merupakan aset yang bisa dikembangkan menjadi sebuah destinasi bertaraf dunia. Karena itu mendatangkan investor merupakan salah satu solusi yang bisa diambil dalam upaya merevitalisasi aset daerah itu.


Kawasan Kota Tua 

Bangunan peninggalan Belanda di pinggiran Sungai Batang Arau merupakan bagian dari kawasan Kota Tua Padang yang luasnya mencapai 32.690 meter persegi  melingkupi dua kecamatan, yaitu Padang Selatan dan Padang Barat.

Merujuk sejarah, cikal bakal Kota Tua Padang itu berawal dari berkembangnya Pelabuhan Muaro sebagai bandar dagang yang maju yang membuat tumbuhnya pemukiman di daerah itu. Belanda pada pertengahan abad 17  kemudian membuat kebijakan membuat batas pemisah antara permukiman mereka dengan pribumi.

Belanda menempati pinggiran Sungai Batang Arau yang sangat strategis pada masa itu, bertetangga dengan masyarakat Tionghoa, etnis Tamil India, dan terakhir baru pribumi. Kawasan permukiman itulah yang saat ini disebut Kota Tua. Hingga saat ini, etnis Tionghoa, Tamil India dan Minangkabau masih saling membaur di Kawasan Kota Tua sehingga menjadi simbol dari akulturasi budaya dan keharmonisan antaretnis di Padang.

Luhur menyebutkan, revitalisasi bangunan peninggalan Belanda di pinggiran Sungai Batang Arau hanya sebagian dari upaya pengembangan kawasan Kota Tua Padang agar menjadi destinasi bertaraf dunia.

Berdasarkan rencana induk (masterplan) yang telah disiapkan, kawasan Kota Tua itu bisa dibagi menjadi sembilan sub kawasan dengan keunikannya masing-masing, seperti Kampung Tionghoa dengan beberapa kelenteng yang masih berdiri kokoh dan aktivitas budaya yang masih terpelihara.

Kemudian, kawasan etnis Tamil India dengan tradisi yang juga masih dipertahankan. Pasar Tanah Kongsi yang memperlihatkan akulturasi budaya hingga Pasar Gadang yang dulunya menjadi pusat bermukim saudagar Minang.

Masterplan itu menjadi pedoman dan rujukan ke depan untuk pengembangan kawasan Kota Tua Padang hingga bisa menjadi destinasi unggulan di Sumbar untuk menarik minat wisatawan untuk berkunjung.


Dewan pengelola 

Keseriusan Kota Padang dan Pemprov Sumbar untuk menjadikan Kota Tua sebagai destinasi andalan tidak hanya ditunjukkan dengan dibuatnya Rencana  Induk Pengembangan Kota Tua, tetapi juga dengan dilantiknya Dewan Pengelola Kota Tua Padang yang ditugasi untuk mengawasi dan mempercepat pengembangan kawasan.

Dewan Pengelola itu diisi oleh unsur pemerintah daerah, akademisi, pakar, praktisi hingga komunitas yang memiliki kapasitas di bidang masing-masing sehingga diharapkan benar-benar bisa menjadi nakhkoda dalam pengembangan Kota Tua Padang.

Wali Kota Padang, Hendri Septa menuturkan bahwa rencana induk dan Dewan Pengelola Kota Tua adalah dua hal yang saling melengkapi sehingga pengembangan kawasan itu memiliki arah yang jelas, pola yang tepat dan target pengembangan yang terukur.

Dengan demikian, menikmati sensasi abad 17 pada abad 21 di Kota Padang bukan lagi sebatas mimpi. Wisatawan yang berkunjung bisa menikmati sensasi berjalan-jalan di pinggiran sungai sambil menatap bangunan gaya Eropa abad 17, atau berlayar dengan sampan kecil di Sungai Batang Arau sambil membayangkan pada saudagar membawa rempah dan emas dengan kapal melalui Pelabuhan Muaro. atau jika jalur kereta api di kawasan itu bisa dihidupkan lagi, dapat menyusuri sejarah sambil berbincang di atas kereta api.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menikmati sensasi abad 17 di Kota Tua Padang