Jakarta (ANTARA) - Sebuah ekskavator yang menggendong bor dengan kaliber 60 sentimeter menggaruk-garuk tanah keras imbas musim kemarau panjang yang panas akibat fenomena iklim global El-Nino di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada September 2023.
Raungan mesin modifikasi dengan ketinggian tidak lebih dari 4 meter ini semakin berisik saat mata bor melubangi tanah hingga kedalaman 12 meter.
Lubang-lubang yang menganga itu kelak diisi besi dan material cor untuk menjadi pondasi bore pile dari sebuah bangunan cagar budaya berumur 1 abad yang bernama Gedung Algemeen Nieuws- en Telegraaf- Agentschap yang kini disebut Gedung Aneta pada kompleks Antara Heritage Center di Pasar Baru.
Willy Aryansah, seorang manajer proyek dari Nindya Karya yang mengepalai revitalisasi gedung cagar budaya Antara Heritage Center, mengungkapkan tantangan terbesar ada di Grya Aneta lantaran gedung yang dibangun era kolonial Belanda itu telah berusia 1 abad.
"Saat kami mulai renovasi, yang tersisa hanya bagian depannya yang ada menara jam. Bagian belakang gedung bisa dikatakan sudah roboh termakan usia sehingga sudah tidak bisa ditempati," ujarnya saat ditemui di Jakarta, pada pengujung April 2024.
Proses pembangunan Grya Aneta paling berkesan bagi para pekerja proyek karena sebelum dilakukan renovasi, kondisi bangunan yang cukup baik hanya ditemui pada area menara dan ruangan Adam Malik. Adapun area belakang dapat dikatakan sudah tidak berbentuk.
Akses yang terbatas menyebabkan proses renovasi hanya dapat dilakukan dari sisi tengah saja. Pada sisi lain bangunan itu merupakan permukiman penduduk yang tidak bisa digunakan sebagai akses kerja.
Grya Aneta harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum melakukan pekerjaan pada area Taman Langit. Jembatan penghubung antar gedung yang disebut Taman Langit merupakan satu-satunya akses yang memungkinkan untuk manuver alat konstruksi.
Tantangan akses terbatas dan lahan sempit itulah yang menghabiskan waktu 3 -- 4 bulan lantaran pemugaran keempat massa bangunan tidak bisa dikerjakan sekaligus, tetapi satu per satu bergantian.
Willy bercerita tantangan teknis lain yang mereka hadapi adalah semaksimal mungkin berusaha untuk mempertahankan bentuk bangunan yang ada, terutama pada bangunan Grha Antara dan Grya Aneta.
Pada bangunan Grya Aneta muncul tantangan untuk membuat bangunan tiga lantai tanpa mengganggu kondisi bangunan eksisting. Alat bor modifikasi dengan ketinggian tidak lebih dari 4 meter dipakai dalam proyek itu agar bangunan eksisting tidak rusak.
Metode bore pile yang dipakai adalah melubangi tanah terlebih dahulu. Ketika tanah sudah berlubang, lalu diisi besi dan dicor agar menjadi pondasi untuk menopang bangunan.
Apabila memakai tiang pancang atau orang awam menyebutnya paku bumi, maka getaran saat penanaman tiang pancang untuk pondasi justru berpotensi merusak bangunan-bangunan lain di sekitar kompleks perkantoran Antara.
Kondisi lahan yang cukup sempit mengakibatkan kendaraan operasional konstruksi sulit melakukan manuver sehingga pekerjaan tidak dapat dilakukan secara cepat dan harus memanfaatkan semaksimal mungkin lahan yang tersedia.
Bangunan yang sekarang menjadi resepsionis tidak boleh dihancurkan. Namun, di sebelah kiri gedung resepsionis ada jalan gang berukuran 3 meter yang akhirnya dioptimalkan untuk mobilisasi kendaraan dan alat-alat konstruksi.
Ketika pengecoran berlangsung, truck mixer beton yang dikenal sebagai truk molen tidak bisa masuk ke dalam Grya Aneta dan terpaksa berhenti di tepi Jalan Antara. Para pekerja proyek harus mengangkut secara manual beton dari pinggir jalan raya untuk masuk ke dalam gedung yang sedang melalui tahap pemugaran.
Di dalam pemanfaatan bangunan cagar budaya, pendekatan adaptasi dipakai agar relevan dengan kondisi terkini. Gaya arsitektur cagar budaya tetap dipertahankan agar nilai-nilai sejarah yang terkandung tetap melekat kuat.
Kiat khusus
Bangunan-bangunan cagar budaya kadang terbengkalai dan runtuh di tangan alam—bila tidak segera diperlakukan secara baik—nasibnya bisa berakhir sangat tragis menjadi rata dengan tanah.
Otoritas Cagar Budaya DKI Jakarta meminta Nindya Karya dan Antara untuk merestorasi bangunan pada tampilan tahun 1950-an.
Analisis foto-foto sejarah dari berbagai dokumentasi lintas generasi menjadi kiat khusus dalam melakukan renovasi dan revitalisasi bangunan cagar budaya. Cara itu dilakukan untuk mempelajari bentuk asli dari bangunan eksisting dan mengimplementasikan semirip mungkin dengan bentuk aslinya dahulu.
Kekuatan struktur juga diperiksa untuk mendapatkan rekomendasi mengenai titik-titik yang perlu dilakukan perkuatan agar bangunan dapat berfungsi dengan optimal.