Melihat sisi lain Kuala Lumpur dari sudut Kampung Bharu

id Kampung Bharu,Kuala Lumpur

Melihat sisi lain Kuala Lumpur dari sudut Kampung Bharu

Seorang warga Kampung Bharu duduk di depan rumah kerabatnya di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). ANTARA/Virna P Setyorini

Kuala Lumpur (ANTARA) - Apa yang akan terlintas dalam benak saat mendengar nama Kuala Lumpur? Apakah Menara Kembar Petronas?

Sekalipun sudah ada Menara Merdeka 118 setinggi 679 meter, tampaknya bangunan kembar ikonik setinggi 451,9 meter itu memang kadung melekat di memori kebanyakan orang.

Namun, cerita tentang pusat kota Kuala Lumpur tidak harus melulu soal Menara Kembar atau gedung-gedung pencakar langitnya yang tumbuh subur bak cendawan di musim hujan sejak era 1990-an.

Metamorfosis wilayah urban Kuala Lumpur sejatinya tidak dapat terlepas dari kawasan kampung yang ada di sekitarnya, salah satunya adalah Kampung Bharu.

Kampung di sisi utara Kota Kuala Lumpur, yang pada peruntukannya di tahun 1900 sebagai Malay Agriculture Settlement, awalnya merupakan wilayah suburban yang menjadi lokasi penempatan masyarakat Melayu. Kini, kampung tersebut menjadi bagian perkotaan.

Jika berada di lantai tinggi bangunan-bangunan beton pencakar langit modern di tengah kota Kuala Lumpur bisa memunculkan sensasi superior, maka menjelajahi Kampung Bharu di bawah sana memberikan keromantisan tersendiri bagi pengunjung.

Kampung yang, menurut generasi ke-4 penduduk asli Kampung Bharu Fuad Fahmy, berpenduduk sekitar 18.000 jiwa itu syarat akan sejarah, dan memberi cerita lain dari gemerlap metropolis Kuala Lumpur.

Waktu jelas tidak terhenti di sana, karena sentuhan modernisasi terasa di beberapa bagian. Namun, Kampung Bharu masih menyimpan jejak perubahan zaman itu dengan baik.

Sejumlah wartawan dan influencer asing dan dari Malaysia yang mengikuti Fam Trip Islamic Tourism Month 2024 berada di halaman salah satu rumah warga di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). ANTARA/Virna P Setyorini


Nuansa khas Melayu

Rumah-rumah panggung berdinding kayu masih cukup mudah dijumpai di Kampung Bharu. Bahkan ada yang usianya cukup tua, lebih dari 100 tahun, menurut Fuad.

Rata-rata catnya berkelir kuning, merah, atau hijau yang menjadi ciri khas warna Melayu. Arsitektur rumah panggungnya tentu juga bergaya Melayu, meski beberapa ada pula yang memiliki sentuhan Bugis di sana, kata Fuad.

Salah satunya adalah rumah panggung berwarna merah di Jalan Haji Yahya Sheikh Ahmad yang sempat didatangi ANTARA bersama sejumlah wartawan dan pemengaruh atau influencer Malaysia dan asing, yang mengikuti fam trip diadakan Islamic Tourism Center (ITC) sebagai bagian kegiatan Islamic Tourism Month (ITM) 2024 yang berlangsung dari 16 Agustus sampai dengan 30 September 2024.

Menurut Fuad, rumah panggung yang halamannya dimanfaatkan untuk tempat berniaga nasi lemak Warong Mak Nenek setiap pagi di hari kerja pada pukul 07.00 hingga 11.00 waktu Malaysia (MYT) itu memiliki bagian atap dengan sentuhan gaya Bugis Selangor.

Tentu ada sejarah panjang di sana. Fuad pun mengaku masih memiliki darah keturunan Minang.

Suleiman Mohamed dan Lokman Haji Mohd Zen dalam pengantar bukunya yang berjudul "Sejarah Kampung Bahru; Di Sini Awal Segalanya Bermula" menuliskan bahwa kehidupan di permukiman Kampung Bharu sangat sehat karena semuanya diatur rapi mengikuti tradisi kehidupan kampung Melayu. Setiap penduduk memiliki tanah setengah hektare (5.000 meter persegi)

Benar saja, saat Fuad memperlihatkan satu rumah panggung berdinding kayu lainnya terletak di pertigaan Jalan Haji Hashim dan Jalan Hamzah, Kampung Bharu, tampak halaman yang begitu luas ditumbuhi berbagai jenis tanaman seperti ubi kayu, pisang, kelapa, dan tanaman rimpang yang ditanam dalam pot-pot kecil.

Kampung Bharu awalnya memang dibagi dalam tujuh kampung berukuran lebih kecil, dan rumah yang Fuad tunjukkan berada di lokasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah-rumah yang berdekatan dengan Sungai Klang di bagian selatan.

Wau terpasang di salah satu sudut rumah keluarga Fuad Fahmy, generasi ke-4 warga asli Kampung Bharu di Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Halaman luas di sana menjadi salah satu ciri permukiman Melayu, yang biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sanak keluarga, termasuk juga saat mengadakan kenduri besar.

Kebiasaan menanam ubi kayu di halaman rumah sudah lama dilakukan dan menjadi semacam ketahanan pangan kala Perang Dunia Kedua terjadi. Dan, menanam ubi kayu masih dilakukan di rumah-rumah dengan halaman yang luas di kampung tersebut hingga kini.

Sekarang, rumah panggung berdinding kayu, beratapkan seng, dan berpagarkan tanaman itu tampak begitu bercerita di tengah modernisasi kawasan urban Kuala Lumpur.

Jika dipandang dari halaman depan, rumah panggung itu kini berlatar sebuah gedung apartemen menjulang di Jalan Raja Muda Abdul Aziz, yang dianalogikan oleh Fuad sebagai monster.

Rumah berhalaman luas itu memang jadi tampak begitu mungil dalam pandangan mata. Tampilan itu begitu kontras, menceritakan sisi lain Kuala Lumpur.

Dan lokasi itu menjadi salah satu titik favorit untuk berburu foto menarik di Kampung Bharu, selain tanah kosong penuh semak nan hijau dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kejauhan, termasuk Menara Kembar Petronas yang Fuad tunjukkan di Lorong Raja Muda Musa.


Nostalgia

Fuad mengajak rombongan ke rumahnya. Sebagian besar dinding rumah dua lantai itu juga masih terbuat dari kayu namun dengan halaman yang tidak terlalu luas.

Kaligrafi bertuliskan “Bismillahirrahmanirrahim” dipasang tepat di atas pintu masuk. Beberapa kaligrafi lain juga terpasang di dalam rumah, bersama dengan sejumlah lukisan dan pajangan lainnya.

Semua yang datang bertamu pagi itu setuju untuk menyebut rumah masa kecil Fuad terasa nyaman dan hangat. Rumah itu mampu bercerita tentang generasi ke generasi dari mereka yang pernah tinggal di sana.

Wartawan dan influencer Malaysia yang mengikuti Fam Trip Islamic Tourism Month 2024 sedang mengamati suasana salah satu rumah panggung yang ada di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). (ANTARA/Virna P Setyorini)


Tumpukan buku dengan warna kertas telah berubah kecokelatan tersusun di dalam lemari kaca di salah satu sudut ruangan. Buku-buku itu, menurut Fuad, merupakan koleksi milik kakeknya.

Berbagai pernak-pernik tersusun di atas rak-rak di ruang tamu, yang menyatu dengan ruang makan. Termasuk koleksi jam tangan yang ditata rapi dalam satu rak kaca.

Ruangan sebelahnya menjadi studio mini, tempat anggota keluarga atau siapa pun yang berkunjung biasa bercengkerama, bernyanyi bersama. Termasuk siang itu, ayah Fuad menyanyikan lagu berbahasa Jepang berjudul "Sukiyaki" (Ue o Muite Arukou) karena mengetahui salah satu pemengaruh yang datang berasal dari Negeri Sakura.

Ayah dan salah seorang saudara Fuad masih menempati rumah tersebut. Itu, menurut Fuad, merupakan tradisi masyarakat Melayu yang masih dilakukan, bahwa salah satu anak akan tetap tinggal bersama orang tua mereka, sedangkan anak-anak lainnya akan meninggalkan rumah.


Suasana kampung

Berjalan mengarah ke Masjid Jamek Kampung Bharu, menyusuri Lorong Raja Muda Musa 6, rombongan berhenti sejenak untuk kembali menikmati pemandangan kontras antara modernisasi dan tradisional.

Fuad membuka gerbang salah satu rumah panggung dengan halaman luas di sana, seketika beberapa pemengaruh dalam rombongan berteriak hampir serempak karena melihat beberapa ayam berlarian di halaman belakang rumah. Menurut mereka, itu pemandangan langka di tengah kota seperti Kuala Lumpur, suasana kampung begitu terasa.

Ciri khas lainnya dari rumah itu, kamar mandi atau WC berada terpisah dari rumah utama. Dalam satu area halaman luas itu masih ada beberapa bangunan lain, yang biasanya dihuni kerabat dekat.

Kue-kue tradisional yang disajikan di Warong Mak Nenek di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). (ANTARA/Virna P Setyorini)


Bersebelahan dengan rumah tersebut juga ada deretan rumah berukuran lebih kecil tanpa pagar. Seorang nenek duduk di bangku kayu depannya, tersenyum saat rombongan melintas.

Ia generasi ke-2 penduduk asli Kampung Bharu, dan mengaku sudah berusia lebih dari 90 tahun. Selama itu pula dirinya tinggal di sana, menghuni salah satu rumah yang berdempetan dengan rumah-rumah kerabatnya.

Hanya berbeda beberapa rumah dari sana dapat ditemukan sebuah warung sederhana yang menjual berbagai keripik dan kue kering tradisional. Rempeyek, kuih bangkit, kuih ros atau di Indonesia dikenal sebagai kembang goyang juga dijual di warung tersebut.

Suasana kampung begitu terasa meski pada saat yang sama sebenarnya sedang berada di pusat sebuah kota, yang bahkan berjarak hanya sekitar 1 kilometer dari ikon Menara Kembar Petronas. Sisi lain dari metropolis itu yang juga ingin diperlihatkan sebagai salah satu lokasi wisata ramah Muslim di Kuala Lumpur.

Editor: Achmad Zaenal M

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melihat sisi lain Kuala Lumpur dari Kampung Bharu