Jakarta (ANTARA) - Perbedaan pendapat antara orang tua dan anak sering kali menjadi masalah besar apalagi jika berkaitan dengan adat istiadat, sutradara Bene Dion Rajagukguk pun memberikan gambaran yang nyata tentang dinamika keluarga lewat film "Ngeri Ngeri Sedap".
Terkenal sebagai pelawak tunggal dan sutradara untuk "Ghost Writer" hingga "Cek Toko Sebelah: The Series", Bene kali ini menghadirkan warna baru dalam filmnya yang jauh dari kata komedi. "Ngeri Ngeri Sedap" merupakan sebuah drama keluarga dengan latar belakang suku Batak, menyampaikan keresahan anak-anak rantau yang terikat dengan adat dan budaya.
"Ngeri Ngeri Sedap" bercerita tentang Pak Domu (Arswendy Bening Swara) dan Mak Domu (Tika Panggabean) yang tinggal bersama anak perempuannya, Sarma (Gita Bhebhita) di Sumatra Utara. Mak Domu ingin sekali tiga anak laki-lakinya yang merantau yakni Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox) dan Sahat (Indra Jegel) bisa pulang kampung untuk menghadiri acara adat.
Domu bekerja sebagai pegawai BUMN di Bandung dan memiliki pacar berdarah Sunda. Gabe, meninggalkan gelar sarjana hukumnya dan menjadi komedian terkenal di Jakarta. Sedangkan Sahat, merawat seorang pria tua di Yogyakarta yang ditemuinya saat melakukan kuliah kerja nyata (KKN).
Ketiganya selalu menolak pulang lantaran hubungan mereka tidak harmonis dengan Pak Domu. Bagi Domu, Gabe dan Sahat, ayahnya adalah sosok keras kepala, kolot dan tidak bisa menerima perbedaan pendapat.
Untuk membawa anak-anaknya kembali, Pak Domu dan Mak Domu akhirnya pura-pura bertengkar dan berencana cerai agar dapat perhatian. Usaha tersebut pun berhasil, namun masalah tidak selesai begitu saja dan semakin membuat keluarga ini terpecah.
Minim komedi
Saat melihat deretan pemain yang terlibat, penonton mungkin akan berpikir bahwa "Ngeri Ngeri Sedap" adalah film komedi berbalut drama. Wajar saja, sebab Bene memang membawa rekan-rekannya sesama pelawak tunggal untuk mengisi tokoh-tokoh yang diciptakan.
Namun buang jauh-jauh harapan tersebut. Film ini murni drama keluarga, unsur komedi hanya digunakan sebagai pengantar saja agar penonton bisa ikut terbawa dengan alur cerita yang sengaja dibangun dengan begitu halus untuk memasuki permasalahan yang semakin serius.
Bene secara apik menggiring penonton mencapai titik emosi tertingginya dan menangis bersama dengan Domu, Gabe, Sahat, Mak Domu serta Sarma.
Tema yang diangkat dalam film ini memang begitu dekat dengan keluarga Indonesia. Ditambah lagi, Bene seolah-olah menyuarakan isi hati para anak Batak yang terikat dengan adat, sulitnya mendapat restu saat berpacaran dengan orang yang beda suku, tuntutan untuk menjadi kebanggaan kampung halaman serta peraturan tak tertulis lainnya yang menjadi batu sandungan.
Pada dasarnya, dinamika yang dihadapi oleh keluarga Domu juga terjadi pada suku lain di Indonesia. Oleh karena itu, meski film ini mengambil perspektif anak Batak, namun tetap terasa dekat, relevan dan mengena bagi penontonnya.