Jakarta (ANTARA) - Tahun 2022 menandai babak baru perjalanan industri farmasi di Tanah Air, lewat pembuktian kemampuan anak bangsa dalam kemandirian produksi vaksin dalam negeri di tengah tantangan pandemi COVID-19 yang berat.
Pada 9 September 2020, enam lembaga dan universitas mengambil bagian dalam konsorsium pengembangan Vaksin Merah Putih.
Mereka adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengusung platform rekombinan protein, Universitas Airlangga (Unair) ber-platform Adenovirus, Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan vector adenovirus dan protein Rekombinan.
Selain itu, juga hadir Universitas Gadjah Mada, mengusung vaksin ber-platform rekombinan protein, dan Universitas Indonesia mengembangkan platform DNA, mRNA, serta Viral Like Particle (VLP).
Pada umumnya, pengembangan vaksin membutuhkan waktu yang panjang, bisa sampai belasan tahun. Bahkan, belum tentu suatu pengembangan vaksin langsung membuahkan hasil yang ditargetkan.
Setahun berselang, lini masa yang disusun oleh Konsorsium Vaksin Merah Putih untuk mempercepat proses pengembangan terhambat lantaran tingkat kerumitan pengembangan yang kompleks dan risiko gagal yang ternyata cukup besar.
Masalah utama yang dihadapi saat itu, Indonesia belum pernah memiliki tim yang berpengalaman sampai uji klinis dalam pengembangan vaksin dari awal. Pengalaman tim periset dalam pengembangan vaksin, baru sampai pada uji praklinis.
Permasalahan lainnya, Indonesia belum memiliki fasilitas uji terbatas yang berstandar Good Manufacturing Practices (GMP) yang disyaratkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Selain itu, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengakui bahwa pengembangan vaksin Merah Putih di Indonesia menjadi suatu tantangan besar, sebab belum mempunyai fasilitas animal bio safety level (BSL) 3 sebagai salah satu fasilitas penting untuk melakukan uji praklinis vaksin.
Di satu sisi, produk yang dihasilkan wajib mengedepankan faktor keamanan dan efikasi yang tinggi, tapi di sisi lain harus relevan dengan kemampuan teknologi yang dimiliki di dalam negeri.
Menjawab kebutuhan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai motor penggerak konsorsium vaksin berupaya memenuhi kebutuhan fasilitas uji terbatas berstandar GMP dan fasilitas uji animal BSL 3 untuk hewan makaka berkapasitas 80 ekor.
Jika kandidat vaksin tidak memberikan hasil yang diharapkan saat diujikan pada hewan, maka harus dilakukan formulasi ulang hingga mendapatkan kandidat vaksin yang benar-benar efektif merangsang respons imun.
Meski fasilitas uji hewan telah tersedia di Indonesia, nyatanya tim peneliti dari Unair terpaksa mengulur pelaksanaan uji coba selama dua pekan karena kesulitan memperoleh hewan besar makaka impor.
Baca juga: Presiden Jokowi: Kekebalan komunal Indonesia atas COVID-19 capai 98,5 persen