Para keluarga korban PD II ini setiap Februari rutin datang ke Mentok untuk mengenang peristiwa kedukaan atas tragedi yang terjadi dan merenggut nyawa keluarganya.
Jalinan komunikasi yang sangat baik dan sudah terjalin dalam beberapa tahun terakhir ini akan dikembangkan untuk bersama-sama membangun Bangka Barat, terutama dalam sektor pariwisata.
Jika memungkinkan, mereka akan diundang hadir dalam perayaan Perang Ketupat. Melalui pola ini diharapkan mereka bisa bekerja sama dan menjadi agen pariwisata budaya lokal yang dipromosikan ke seluruh penjuru dunia.
Sejalan dengan pesan perdamaian yang tersirat dalam Perang Ketupat, para keluarga korban Perang Dunia II pun jika berkenan menghadiri tradisi itu akan diajak untuk menyudahi dendam, menjahit luka batin atas tragedi yang terjadi dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Selain mengupayakan pola promosi seperti itu, pemerintah daerah setempat juga sedang melakukan persiapan untuk mengusulkan rangkaian tradisi lokal tersebut bisa masuk dalam agenda nasional.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat telah berkomunikasi dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi-Babel terkait rencana tersebut.
Rangkaian Pesta Adat Ruwah dan Perang Ketupat yang berlangsung selama beberapa hari ini memiliki kekhasan tersendiri dan tidak dijumpai dalam peringatan atau tradisi pesta adat di desa-desa lain, bahkan sejak 2014, Pesta Adat Perang Ketupat telah mendapatkan pengakuan dan ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam rangkaian pesta adat ini bisa ditemukan beberapa objek ritual, tata cara dan keterlibatan masyarakat yang perlu terus dilestarikan. Usulan untuk menjadikan Pesta Adat Perang Ketupat menjadi salah satu agenda nasional juga diarahkandalam rangka pelestarian, bahkan untuk dikembangkan.
Akulturasi budaya
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat mencatat Perang Ketupat bukan hanya saling lempar ketupat antara dua kelompok, namun memiliki rangkaian prosesi yang dilaksanakan dalam beberapa hari.
Dari pengamatan selama ini, rangkaian perayaan Perang Ketupat merupakan bentuk akulturasi budaya, minimal ada dua budaya yang bertemu.
Dalam rangkaian Pesta Adat Perang Ketupat yang puncak acaranya dilaksanakan di Pantai Pasirkuning, terdapat lima tahapan yang dilakukan, yaitu Penimbongan, Ngancak, Perang Ketupat, Ngayok Perae, dan Taber Kampong.
Lima tahapan ini merupakan tradisi yang sudah ada dan tetap dilestarikan kelompok warga setempat sejak masa lalu, sebagai bentuk pengakuan atas kekuatan alam semesta yang telah memberikan kehidupan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi penduduk setempat.
Sehari sebelum puncak acara Perang Ketupat, beberapa tetua adat yang mengemban tugas pawang laut dan darat telah memulai berbagai persiapan sesuai dengan petunjuk yang ada di alam, seperti membuat ramuan dari berbagai jenis daun dan bahan lain untuk ditabur simbol pengusiran berbagai mara bahaya dan kejahatan yang bisa mencelakai warga yang tinggal di desa itu.