Pesan damai dan persaudaraan tradisi Perang Ketupat di Bangka Belitung

id Perang ketupat,Tradisi perang ketupat tempilang,Sedekah ruwah Oleh Donatus Dasapurna Putranta

Pesan damai dan persaudaraan tradisi Perang Ketupat di Bangka Belitung

Tradisi Perang Ketupat di bulan Sya'ban masih dilestarikan warga Desa Tempilang, Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung simbol perdamaian dan menjaga silaturahim. (ANTARA/ Donatus Dasapurna)

Tradisi ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisatawan. Kami mendorongnya agar tradisi ini go international
Mentok, Babel (ANTARA) - Sya'ban dalam penanggalan Hijriah atau Ruwah pada penghitungan Tahun Jawa merupakan bulan yang dianggap penting bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Bangka, khususnya di Kabupaten Bangka Barat.

Pada Bulan Ruwah, hampir di setiap desa di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penduduknya masih memegang tradisi persiapan memasuki Bulan Ramadhan dengan melakukan pembersihan batin, melalui beragam cara, mulai dari bersih kubur, bersih kampung, pengajian, khataman Al Quran, pawai obor, membuat dodol massal yang dilengkapi dengan hiburan seni modern sebagai pelengkap kegembiraan menyambut bulan penuh ampunan itu.

Bahkan, di beberapa desa bisa dijumpai perayaan pesta adat Ruwah yang dilangsungkan sudah seperti layaknya Hari Raya Idul Fitri, dengan saling bertamu, saling memaafkan. Saudara, kerabat, dan para kawan dari luar desa dan luar daerah, sengaja datang ke desa untuk bersilaturahim.

Tradisi ini berlangsung turun temurun dan tetap lestari hingga kini, seperti di Desa Tempilang, sebuah desa di ujung Tenggara Kabupaten Bangka Barat, berjarak sekitar 120 kilometer dari pusat Kota Mentok, ibu kota kabupaten.

Warga desa setempat memiliki cara tersendiri dalam memeringati Bulan Sya'ban atau Ruwah, yaitu dengan menggelar tradisi Perang Ketupat.

Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat yang dirangkum dari beberapa penduduk setempat dan dari para tetua adat, tradisi Perang Ketupat Tempilang sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883.

Tradisi ini memeragakan pertarungan antara dua kelompok, yaitu kelompok penguasa laut dan penguasa darat, yang berperang dengan saling melempar ketupat sebagai peluru ke badan kelompok satu dan kelompok lain.

Tradisi ini berlangsung cukup meriah, bahkan sampai saat ini dalam setiap pelaksanaan Perang Ketupat yang digelar rutin setiap tahun berhasil menyedot hingga puluhan ribu pengunjung ke Pantai Pasirkuning yang menjadi lokasi penyelenggaraan.

Riuh rendah sorak sorai penonton menyertai adegan saling lempar ketupat yang dilakukan dua kelompok tersebut, dan ritual perang berakhir pada saat ratusan ketupat yang disiapkan di tengah arena habis untuk saling lempar.

Usai berperang, para peserta dari dua kelompok saling berjabat tangan dan berangkulan saling memaafkan, penggalan babak ini memiliki makna pentingnya menyudahi pertikaian, tidak ada untung yang didapat dari berperang atau bermusuhan.

Pesan perdamaian dan persaudaraan yang tersirat dalam tradisi ini penting disampaikan kepada khalayak.

"Go International"

Ritual Perang Ketupat yang mampu menyedot puluhan ribu orang, baik warga lokal maupun warga dari luar daerah, datang ke lokasi itu menjadikan sebuah energi baru bagi pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan kekayaan budaya lokal agar bisa semakin terkenal, bahkan mampu menyedot wisatawan mancanegara.

"Tradisi ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisatawan. Kami mendorongnya agar tradisi ini go international," kata Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming.

Sebagai langkah awal, Pemkab Bangka Barat bersama komunitas pemerhati sejarah di Mentok selama ini menjalin komunikasi yang baik dengan para keluarga korban yang meninggal dunia pada tragedi Perang Dunia II di Mentok, khususnya para keluarga korban yang berasal dari Australia.