Ramadhan zaman dulu dan kini

id Ramadhan, puasa

Ramadhan zaman dulu dan kini

Sejumlah remaja bertadarus usai tarawih di Masjid Jamik Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Rabu (2/7) dini hari. ANTARA FOTO/Rahmad


Anak-anak zaman dulu pulang tengah malam dari masjid atau langgar menyusuri jalanan gelap karena penerangan listrik belum ada, menjadi pengalaman indah untuk dikenang. Perjalanan pulang di malam buta itu terkadang diwarnai dengan saling berlarian ketika di antara mereka ada yang iseng menakut-nakuti.

Mengenai tadarus di masjid, ini juga menjadi ajang "ekspresi diri", meskipun secara agama, fenomena ini bisa dicap sebagai riya atau pamer. Akan tetapi, tinggalkan dulu penghakiman itu. Ini dunia anak yang masih "haus" apresiasi.

Orang, khususnya anak-anak, yang boleh ikut tadarus dengan bacaan yang diperdengarkan ke berbagai penjuru itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah fasih dalam bacaan Al Quran. Ketentuan tak tertulis seperti itu memberi motivasi bagi semua anak untuk memacu diri agar segera fasih mengaji. Harapannya, tahun depan bisa diperbolehkan mengaji bersama saat Ramadhan tiba.

Karena minimnya sarana hiburan, maka ajang tadarus bersama itu menjadi sarana hiburan bagi anak zaman dulu. Kalau kini setiap anak datang ke masjid untuk shalat Tarawih lalu tadarus, dibekali kertas untuk ditandatangani oleh imam shalat, sebagai tugas dari sekolah, tradisi seperti itu di zaman dulu tidak ada.

Anak-anak zaman dulu tidak perlu motivasi dengan bukti tanda tangan dari takmir masjid atau imam shalat, karena lingkungan sosial sudah "mewajibkan" semua anak untuk bersama-sama datang ke masjid. Bagi yang tidak ikut pergi tarawih akan menjalani masa sepi di rumah. Rasa kesepian itu merupakan "hukuman" bagi jiwa secara otomatis tanpa ada tindakan penghakiman dari pihak luar.

Kenyataan ini membawa konsekuensi ringannya beban orang tua dalam mengarahkan anak untuk belajar menjalani perintah agama. Tidak ada metode khusus karena lingkungan sudah mendukung ke arah kebiasaan yang sama.

Soal ngabuburit, generasi dulu lebih banyak menjalani budaya itu tanpa modal. Setelah shalat Asar, mereka cukup hadir ke tempat biasa bersama temannya berkumpul, dengan hiburan ngobrol berbagai hal, tanpa diganggu gawai. Biasanya mereka berkumpul di pinggir jalan atau cukup bermain olahraga, seperti bola voli dan lainnya.

Beberapa menit sebelum kumandang azan Magrib, mereka pulang ke rumah masing-masing untuk berbuka di rumah. Sementara generasi saat ini, ngabuburit biasanya mensyaratkan modal untuk nongkrong di kafe atau tempat lain yang identik dengan membeli makanan untuk berbuka.