Tontonan Zaman Digital
Beragama di Zaman Digital memang tidak sesederhana zaman manual. Ketua Lakpesdam PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menegaskan bahwa pembicaraan tentang agama atau Qur'an di Zaman Digital itu memiliki tantangan tersendiri, karena pembicaraan bukan di ruang vacum, namun berada di ruang tontonan yang bersifat men-dunia.
"Itu karena pembicaraan yang direkam dan diunggah di media digital akan dikonsumsi publik yang beragam. Kita bisa menjadi tontonan di dunia digital," katanya saat berbicara dalam peringatan Nuzulul Qur'an di kampus Unusa Surabaya (13/4/2023).
Ya, tantangan Muslim sekarang agak berat, karena apa yang dibicarakan akan menjadi konsumsi jutaan audiensi yang bukan hanya muslim, tapi non-muslim dan bahkan orang tak beragama.
Apalagi, Gus Ulil menilai dunia digital didominasi budaya barat yang mencurigai agama atau tidak percaya Tuhan, karena ilmuwan Barat sejak Teori Evolusi dipercaya pada tahun 1850-an sudah mempercayai alam berjalan sesuai hukum alam, bukan hukum Tuhan, meski proses penciptaan udara dan air itu pun sulit secara logika.
Oleh karena itu, lembaga agama atau lembaga pendidikan seperti Unusa hendaknya melakukan pengajaran agama dan Al Qur'an secara "bil hikmah" (nasehat dengan kebijakan), atau menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, termasuk lingkungan era digital saat ini, agar agama atau Al Qur'an tidak justru disudutkan atau menjadi tertuduh.
"Contohnya tokoh agama Budha Dalai Lama yang menyambut kunjungan anak kecil dengan menjulurkan lidahnya yang sebenarnya hal itu gaya yang biasa dilakukan kepada siapapun, tapi karena diunggah di medsos, maka viral dan dia justru dituduh macam-macam," katanya.
Di era digital ceramah atau tausiyah mudah direkam dan disebarkan kepada siapa saja. Jika apa yang disampaikan kemudian menyinggung kelompok lain atau agama tertentu, akan menjadi persoalan. Karena itu, dalam menyampaikan dan mengajak dalam kebaikan harus mengandung bujukan, bil hikmah, tidak dengan memerintah.
Ya, menjadi tantangan Muslim saat ini adalah menjadi tontonan yang mudah dilihat banyak orang. "Di era lama, kita berbicara atau berpendapat itu tidak banyak orang tahu, tapi zaman digital sekarang sebagai orang beragama kita perlu hati-hati, karena mudah menjadi tontonan dan diawasi," kata Gus Ulil.
Untuk itu, saran menarik dalam buku "Kesalehan Digital" (CV Penerbit Campustaka, 2023) merumuskan tiga cara "saleh" menerima informasi digital, yakni ada Sanad (narasumber/narasumber kompeten), Matan (Konten/isi yang ada Tabayyun/klarifikasi, Adil/objektif, Ukhuwah/bijak), dan ada Rawi (Penyampai/Media yang terverifikasi Dewan Pers/KemenkumHAM, bukan abal-abal).
Bila informasi digital diterima dengan tiga saran itu (Sanad, Matan, Rawi), maka "inSya-Allah" akan selamat dari jebakan digital, di antaranya selamat dari jebakan tertipu menjadi radikal secara keilmuan yang tanpa guru, atau jebakan tertipu penjahat siber seperti pinjol, aplikasi ilegal (APK), atau jebakan hoaks video-foto-narasi-AI, dan jebakan lainnya yang tercatat ada 12 jebakan digital dalam buku itu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perbedaan Lebaran di Zaman Digital