Bahasa kasih sayang menjaga keluarga dari bahaya napza

id seminar parenting dan Napza,HA IPB University,PPI Malaysia Oleh Virna P Setyorini

Bahasa kasih sayang menjaga keluarga dari bahaya napza

Suasana seminar Parenting dan Keluarga Membangun Keluarga Bahagia di Era Digital yang diadakan MES Malaysia dan Himpunan Alumni (HA) IPB bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia di Masjid Asy-Syakirin, KLCC, Kuala Lumpur, Sabtu (15/7/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Kuala Lumpur (ANTARA) - Medical Doctor sekaligus praktisi Neuro Parenting Skill Indonesia dr. Aisah Dahlan CMHt, CM. NLP mengatakan bahasa kasih sayang dapat menjaga keluarga dari penyimpangan perilaku, termasuk dari penyalahgunaan dan ketergantungan pada narkotika, psikotropika dan zat adiktif (napza).

Hal itu Aisah sampaikan dalam seminar "Parenting dan Keluarga Membangun Keluarga Bahagia di Era Digital" yang diselenggarakan di Masjid Asy-Syakirin, KLCC, Kuala Lumpur, Sabtu, yang diadakan MES Malaysia dan Himpunan Alumni (HA) IPB bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia.

Kekuatan dari kalbu telah Imam Al Ghazali sampaikan pada 1110 masehi (M), di mana dalam jantung seseorang terdapat titik kalbu yang melafazkan suara Tuhan. Hasil penelitian Institute of HearthMath tahun 1998 membenarkan hal tersebut, namun sambungan suara Tuhan itu masih sangat tipis.

Jika otak manusia memiliki 100 miliar sel, maka terdapat 40.000 neuron dalam serambi kanan jantung seseorang. Dan saat seseorang membaca sesuatu, maka akan direkam juga di dalam jantung di mana suara Tuhan itu berada.

Maka peristiwa (buruk) yang terekam di otak terekam juga di hati (baca: jantung). Suara Tuhan itu akan tertutup oleh adiksi, sehingga suara Tuhan tertimbun.

Kaitannya dengan seorang pecandu napza, suara Tuhan itu akan muncul ke permukaan saat teman, sahabat, keluarga atau orang memberikan pencerahan. Namun sering kali, karena adiksi yang menahun dan pencerahan itu datang hanya sekali, maka suara Tuhan itu dapat tertimbun lagi.

Karena itu, perlu ada tempat rehabilitasi yang secara terus menerus memberikan nasihat atau pencerahan agar suara Tuhan yang tertimbun oleh rekaman lain di neuron otak maupun jantung pecandu napza tersebut muncul ke permukaan, sehingga mereka akhirnya termotivasi mau berubah.


Baterai kasih sayang

Aisah lantas menjelaskan soal Teori Baterai Kasih Sayang dari Dr Adi W Gunawan, praktisi hipnosis, di mana rasa aman dan nyaman seseorang berbanding lurus dengan isi baterai kasih sayangnya.

Layaknya baterai, maka harus diisi daya setiap hari, atau minimal tiga kali seminggu. Jika tidak, penyimpangan perilaku terjadi, sebagai indikasi isi baterai kasih sayangnya sudah mencapai batas kritis minimal.

Isi daya rangkaian baterai kasih sayang dengan lima bahasa kasih sayang, yakni kata-kata pendukung atau pujian, waktu berkualitas bersama, sentuhan fisik, pelayanan, dan menerima hadiah.

Suasana seminar Parenting dan Keluarga Membangun Keluarga Bahagia di Era Digital yang diadakan MES Malaysia dan Himpunan Alumni (HA) IPB bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia di Masjid Asy-Syakirin, KLCC, Kuala Lumpur, Sabtu (15/7/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)


Kaitannya dalam mendidik anak, orang tua harus jeli terhadap anak-anak yang mengungkapkan bahasa kasih sayang yang berbeda-beda. Karena memang setiap orang memiliki urutan berbeda dalam rangkaian baterai kasih sayangnya.

Ucapkan bahasa kasih sayang minimal 15 menit sehari untuk anak-anak di bawah enam tahun agar baterai mereka selalu terisi.

Sedangkan mereka yang ada di usia enam tahun ke atas perlu dipastikan minimal dua urutan baterai teratas harus terisi dengan baik.

Bagi anak dengan urutan baterai pujian di urutan pertama, pastikan untuk memberikan kata-kata pendukung sebagai bentuk afirmatif agar aliran listrik pujian dalam menjalankan badan mereka dengan baik. Jika baterai pujian mereka kosong, mereka akan menjadi mudah mencela.

Untuk anak yang memiliki baterai sentuhan fisik di urutan pertama, maka jangan lupa beri sentuhan pada mereka, peluk mereka. Karena jika baterai itu kosong, anak akan menjadi suka mencubit, menggigit, dan perilaku fisik lainnya.