Panji Gumilang, fungsi media sosial dan gangguan informasi

id Panji Gumilang,polemik Panji Gumilang,gangguan informasi, disinformasi,misinformasi

Panji Gumilang, fungsi media sosial dan gangguan informasi

Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang (tengah) berjalan saat akan menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (1/8/2023). (ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc)

Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang menggugat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas secara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada awal Juli 2023.

Panji Gumilang menggugat MUI dan Anwar Abbas lantaran pernyataannya yang melontarkan tuduhan komunis hanya berdasarkan potongan video yang beredar di media sosial. Dalam pernyataannya, Anwar Abbas mengaku mendengar Panji Gumilang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang komunis melalui media sosial TikTok. Oleh karena itu, Anwar mengaku perlu membela kehormatan bangsa dan negara.

Belakangan diketahui bahwa konten tersebut merupakan hasil penyuntingan. Terlepas dari apapun, kasus ini menarik untuk diperhatikan, Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat media sosial semakin tak bisa lepas dari kehidupan kita. Bahkan, dalam kasus Panji Gumilang vs Anwar Abbas, konten yang dibuat pada pelantar media sosial TikTok tersebut dijadikan rujukan.

Padahal, kita tahu bersama bahwa di media sosial dikenal istilah produsen consumer (prosumer), yang bermakna setiap orang bisa memproduksi konten dan juga dapat mengonsumsinya.

Istilah prosumer sendiri dilontarkan oleh Marshall McLuhan dan Barnington dalam bukunya Take Today pada 1972, yang menyebutkan bahwa setiap konsumen di bidang listrik rumah tangga dapat menjadi produsen seiring dengan munculnya energi terbarukan.

Pada 1980, Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave juga menggunakan istilah prosumer dengan menggabungkan produsen dan konsumen. Pada masa itu, Toffler kemudian memperkirakan bahwa peran produsen dan konsumen akan bergabung pada masa yang akan datang.

Kembali lagi pada media sosial yang membuat seseorang dapat menjadi prosumer, maka tak heran kini semakin banyak konten kreator yang tumbuh subur. Bahkan banyak anak kecil yang memiliki cita-cita menjadi konten kreator saat dewasa.

Setiap orang memiliki kebebasan dalam memproduksi, merespons, bahkan menyebarkan informasi sesuai dengan keinginannya. Namun perlu diingat bahwa media sosial berbeda dengan media massa, yang disiplin melakukan verifikasi. Media massa seperti kita kenal bersama juga memiliki hukum dan etika yang menaunginya. Ada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta memiliki etika yang dikenal dengan Kode Etik Jurnalistik.

Media sosial pun sebenarnya memiliki panduan, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan penyempurnaannya melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, yang mencegah seseorang mendistribusikan konten yang merugikan orang lain. Akan tetapi masih ada sebagian masyarakat belum memahami terkait konsekuensi dari UU tersebut.

Demi mendapatkan interaksi dari pengguna, terkadang ada konten kreator mengabaikan kebenaran dan membuat konten yang sensasional. Selain itu, juga sulit mengawasi media sosial secara menyeluruh.Kondisi itu rentan menyebabkan terjadinya gangguan informasi. Apalagi jika ditambah dengan rendahnya literasi dan juga kemampuan berpikir kritis.