Kuala Lumpur (ANTARA) - Kita tentu masih mengingat pandemi Covid-19 yang mewabah antara tahun 2020 hingga 2023, menjadi pukulan berat bagi masyarakat di seluruh dunia.
Kesulitan dirasakan dan dilihat langsung setiap orang. Ratusan juta nyawa hilang akibat pandemi tersebut.
Begitu banyak kisah yang bisa memberikan pembelajaran bagi kita selama pandemi, tidak terkecuali penanganan pandemi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur (KBRI KL).
KBRI KL saat itu mesti menangani sedikitnya tiga juta jiwa warga negara Indonesia yang sebagian besar merupakan pekerja migran.
ANTARA berupaya mengangkat cerita penanganan pandemi Covid-19 oleh KBRI KL, berdasarkan penuturan langsung Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono di penghujung masa tugasnya sebagai Dubes, agar dapat menjadi rekam jejak dan catatan sejarah guna pembelajaran di masa-masa mendatang.
Dubes Hermono dalam sesi wawancara khusus dengan ANTARA di Kuala Lumpur, Oktober 2025, menceritakan awal penugasannya sebagai Duta Besar RI untuk Malaysia di masa pandemi Covid-19.
Penugasan itu merupakan penugasan keduanya di Negeri Jiran. Sebelumnya ia pernah menjadi Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia selama dua tahun, pada 2013-2015, sebelum pindah ke Jakarta sebagai Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Hermono juga sempat bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Spanyol pada 2018-2020, tapi akhirnya ditugaskan sebagai Dubes di Malaysia karena pandemi Covid-19 merebak dan terjadi kekosongan jabatan duta besar di Negeri Jiran.
Kementerian Luar Negeri RI memandang perlu ada pengisian jabatan duta besar untuk Malaysia secara segera, guna menangani pandemi yang semakin mengkhawatirkan kala itu.
Nama Hermono pun keluar sebagai salah satu opsi kuat. Pengalamannya sebagai wakil duta besar dan sebagai sestama BNP2TKI menjadi pertimbangan.
Akhirnya, walau baru menjabat sekitar dua tahun sebagai Dubes di Spanyol, Hermono kemudian ditugaskan pindah ke Malaysia, dalam sebuah penugasan yang sangat mendadak, dengan status darurat.
“Kemlu menganggap perlu ada Dubes untuk mengoordinasikan bagaimana memberikan pertolongan atau bantuan kepada WNI kita di sini,” tutur Hermono.
“Jadi hari ini saya diberi tahu, dan hari ini pula harus kembali ke Jakarta untuk ikut fit and proper test. Jadi ini ada kondisi yang sifatnya agak emergency sehingga perlu segera dipindahkan. Memang pemindahan itu agak tidak lazim, saya di sana (Spanyol) belum (lama), tiba-tiba dipindahkan,” jelasnya.
Dia mengulas tantangan yang dihadapi saat baru pindah ke Malaysia. Pada masa itu, bulan Oktober 2020, jumlah WNI di Malaysia berkisar 3 juta orang.
Saat Covid-19, banyak sekali persoalan yang dihadapi oleh WNI di Malaysia, terutama diberlakukannya lock down, membuat WNI tidak boleh bekerja, tidak punya penghasilan apapun, dan tidak bisa pulang ke tanah air karena penerbangan ke Indonesia sangat terbatas.
Belum lagi sebagian besar bandara di Indonesia ditutup. “Yang dibuka hanya Jakarta, Bali dan Manado, saat itu. Sementara pekerja migran kita di Malaysia itu kan (mayoritas) bukan dari Jakarta, bukan dari Bali dan juga bukan dari Manado,” tutur Hermono.
Para WNI mengalami kesulitan untuk pulang dan di Indonesia juga diterapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
“Jadi mereka (WNI) tidak bekerja, tidak bisa pulang, dan banyak warga kita yang kena Covid juga,” jelas Hermono.
Hermono menyampaikan saat ditugaskan ke Malaysia, dirinya menerima penugasan khusus dari Kementerian Luar Negeri untuk memberikan bantuan secara cepat kepada WNI, kemudian juga menggalang kerja sama dengan organisasi kemasyarakatan, melakukan konsolidasi internal di KBRI untuk membangun tim kerja, serta memulihkan kepercayaan publik terhadap KBRI.
“Karena sebelum saya datang itu banyak cerita-cerita yang sifatnya kemarahan masyarakat terhadap KBRI, karena dianggap kurang maksimal dalam memberikan pertolongan atau bantuan kepada masyarakat di tengah-tengah Covid-19 yang memang kondisinya sangat sulit sekali. Kalau bisa dibayangkan orang tidak bekerja, tidak bisa pulang, mereka perlu makan juga, nah itu yang menjadi prioritas saya” jelasnya.
Begitu tiba di KBRI Kuala Lumpur, Hermono segera melakukan asesmen untuk menentukan hal-hal urgensi yang perlu dilakukan untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat.
Saat itu disepakati bahwa prioritas utama adalah memberikan bantuan logistik kepada masyarakat. Hermono bersyukur saat itu KBRI menerima anggaran yang cukup dari pusat sehingga bisa membagikan bantuan logistik dalam dua gelombang lock down, sebanyak sekitar 120.000 paket dan 150.000 paket sembako.
Namun persoalan tidak berhenti di sana, sebab upaya membagikan logistik atau bahan pokok kepada masyarakat di tengah-tengah Covid-19 juga menimbulkan tantangan tersendiri.
Layaknya terjadi di kebanyakan negara lain, otoritas Malaysia juga memberlakukan pembatasan kegiatan secara ketat untuk mengurangi penyebaran pandemi.
Akibatnya upaya menyalurkan bantuan ke negara bagian lain di Malaysia memerlukan izin yang rumit.
Merangkul ormas
Sulitnya akses penyaluran bantuan saat pandemi, tidak membuat Hermono dan jajaran KBRI KL putus asa. Mereka mencoba merangkul organisasi kemasyarakatan (ormas) Indonesia yang ada di Kuala Lumpur.
Gerilya penyaluran bantuan pun dimulai.
Hermono mengeluarkan gagasan pembentukan Aliansi Organisasi Masyarakat Indonesia (AOMI), untuk menyatukan ormas-ormas yang sebelumnya bergerak secara mandiri dan terpisah-pisah.
Dengan mengoordinasikan ormas dalam satu aliansi, tercipta sistem pelaporan dan pendanaan yang terintegrasi.
Para ormas yang memiliki jaringan luas terhadap para WNI di Malaysia, dapat melapor langsung kepada KBRI dan melalui AOMI, apabila mengetahui ada WNI yang memerlukan bantuan.
Ormas juga secara aktif melakukan penjemputan bantuan logistik untuk dibagikan kepada WNI yang membutuhkan.
“Mereka ke sini bawa mobil sendiri, bahkan truk sendiri, untuk membantu mendistribusikan,” kenang Hermono.
Momen itu membuktikan bahwa ormas-ormas di luar negeri, khususnya di Malaysia, apabila dikoordinasikan dengan baik, maka dapat menjadi mitra KBRI untuk memberikan pertolongan atau bantuan kepada masyarakat.
Peran ormas tidak berhenti pada penyaluran bantuan. Ormas juga berjasa membantu mengkoordinasikan pemulangan WNI dengan pesawat sewaan.
Karena penerbangan rutin terbatas, satu-satunya jalan memulangkan WNI adalah menggunakan pesawat sewa. Pesawat sewaan juga memungkinkan WNI untuk mendarat di bandara-bandara yang saat itu tertutup, seperti di Medan, Surabaya hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Hermono, para ormas berhasil menyewa sedikitnya 58 pesawat dan membantu mengoordinasikan pembuatan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) secara kolektif bagi WNI yang kesulitan, hingga mengoordinasikan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang menjadi syarat perjalanan.
Pemulangan WNI akhirnya dapat dilakukan secara bertahap, menggunakan pesawat maupun kapal menuju Batam.
Menurut Hermono, pengalaman penanganan pandemi Covid-19 itu, membuat kemitraan KBRI dengan ormas RI di Malaysia semakin solid dan berlanjut sampai sekarang.
Para ormas terus berkontribusi membantu KBRI dalam mengkoordinasikan pengurusan WNI yang mengalami masalah, hingga membantu membentuk sanggar-sanggar belajar untuk anak pekerja migran.
“Ini membuktikan bahwa hubungan atau pun kerja sama dengan ormas menjadi sangat penting. Dan ini mudah-mudahan dapat terus dijaga. Luasnya wilayah kerja KBRI KL dan banyaknya warga negara atau pekerja Indonesia di Malaysia tidak mungkin semuanya dapat diurus oleh KBRI sendiri,” tutur Hermono,
Peristiwa tidak terlupakan
Di tengah upaya penanganan Covid-19, banyak peristiwa yang tidak terlupakan. Dubes Hermono teringat pada saat itu dirinya melihat secara langsung ada keluarga dengan lima anak, yang ibunya wafat karena Covid-19, sementara sang ayah tidak bisa bekerja karena lumpuh.
“Hal-hal seperti ini banyak. Jadi bagaimana satu keluarga yang single parent, apakah itu tidak ada ibunya dan tidak ada bapaknya karena Covid,” ujarnya.
Semasa Covid-19 sedang mencapai puncaknya, kata Hermono, angka WNI yang wafat meningkat drastis hingga 10 kali lipat dari jumlah biasanya.
Jika sebelum Covid-19, jumlah WNI meninggal di Malaysia per bulan secara rata-rata 50–60 orang, maka pada saat puncak Covid dapat mencapai 600-750 orang selama satu bulan. Jumlah itu pun hanya berdasarkan WNI yang melakukan pelaporan ke KBRI KL saja.
“Belum termasuk yang di Johor, Penang, Kinabalu, Kuching dan Tawau,” kata Hermono.
Hermono juga mengenang betapa upaya gotong-royong antara KBRI dengan masyarakat atau diaspora begitu kuat.
Masyarakat rela patungan menyisihkan uang untuk bersama-sama memberikan bantuan membeli susu bagi anak-anak pekerja migran hingga memulangkan WNI yang tidak memiliki biaya.
“Sangat miris lah kondisinya, bagaimana ada anak-anak tidak ada ibunya, tidak bisa minum susu, hanya bisa minum teh manis,” kenang Hermono.
Menurutnya, Covid-19 ibarat sebuah tragedi kemanusiaan di mana banyak sekali anak-anak yang kondisinya sangat memprihatinkan.
Penanganan PMI nonprosedural
Hermono menyampaikan saat pandemi Covid-19 ada pekerja migran yang tidak memiliki dokumen legal yang harus ditangani. WNI nonprosedural itu kesulitan mengakses rumah sakit dan tidak berani melaporkan diri ke KBRI.
Akhirnya, kata Hermono, warga Indonesia itu tidak terdata dan ibarat menanti ajal di tengah pandemi.
“Ini menjadi pelajaran bahwa dengan status yang undocumented atau ilegal itu juga membawa suatu kerentanan yang sangat besar. Mereka sangat rentan, tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Hermono.
Dia masih ingat saat menerima telepon dari seorang warga Indonesia yang melaporkan ada WNI meninggal karena tidak bisa ke rumah sakit dan tidak berani melapor, lantaran statusnya ilegal.
Menurut Hermono, WNI undocumented takut untuk melaporkan diri ke perwakilan RI di Malaysia, dan juga terhalang untuk berobat ke rumah sakit, karena untuk berobat ke rumah sakit harus menyertakan dokumen.
"Belum lagi misalnya karena tidak bekerja, mereka tidak ada uang untuk PCR, akhirnya banyak yang meninggal," katanya.
Oleh sebab itu Hermono dan konsul jenderal di berbagai negara bagian Malaysia selama masa jabatannya memiliki perhatian besar untuk menuntaskan persoalan PMI nonprosedural tersebut.
Di antaranya dengan memberikan edukasi dan sosialisasi, hingga melakukan jemput bola dan memberikan berbagai kemudahan dalam pengurusan dokumen secara digital.
Catatan singkat penanganan pandemi di KBRI KL, yang dituturkan Hermono, ini menunjukkan betapa kerja sama dan kemitraan KBRI dengan seluruh lapisan masyarakat baik diaspora, organisasi kemasyarakatan, hingga media menjadi sangat penting untuk terus dilakukan dan dijaga.
Penanganan WNI tanpa dokumen juga harus menjadi perhatian khusus sejak dini, agar ketika terjadi suatu masalah di suatu negara, pemerintah dalam hal ini KBRI dan KJRI, dapat dengan mudah memberikan bantuan terhadap para WNI.
Catatan ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran terhadap upaya-upaya memberikan pelayanan bagi WNI di Malaysia dan di negara-negara lain.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membuka kembali catatan penanganan pandemi oleh KBRI Kuala Lumpur
