Kontroversi tentang larangan pemakaian hijab di negara barat telah membuat kita sebagai warga negara Indonesia yang mayoritas Islam agak kaget karena tiba-tiba saja beberapa negara barat mengeluarkan kebijakan yang menurut nalar yang wajar seharusnya itu tidak perlu dilakukan.
Fobia terhadap berbagai kejadian yang mengatasnamakan “terorisme†yang menjual nama Islam justru semakin menimbulkan kesan bahwa memang barat sangat takut dengan Islam.
Ketakutan yang berlebihan inilah yang pada akhirnya membuat mereka lupa bahwa kebebasan dan hak asasi manusia yang selalu mereka gembor-gemborkan malah pada akhirnya menjadi bumerang karena faktanya merekalah yang justru membuat kebijakan yang melanggar hak asasi manusia.
Bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang menjungjung tinggi hak asasi manusia ada aturan yang melarang warganya untuk memakai pakaian yang notabene pakaian tersebut adalah identitas dari agama yang mereka anut serta merupakan perintah dari agamanya yang tertulis dalam kitab agama tersebut dan oleh negara dikenakan larangan serta dikenakan hukuman dan/atau denda.
Tidak ada pakaian yang paling sopan dan baik yang menurut etika manusia selain pakaian yang menutup seluruh anggota tubuhnya. Tentunya kita patut balik bertanya apa yang salah dengan pakaian umat Islam khususnya perempuan?. Bukankah semua agama juga menganjurkan untuk berpakaian baik dan sopan?.
Kebijakan yang dibuat oleh negara-negara barat yang membuat peraturan yang melarang perempuan muslim berpakaian muslimah yaitu berhijab justru semakin menambah kesan bahwa hak asasi manusia yang selama ini di dengungkan oleh negara-negara barat menjadi hampa adanya karena ternyata mereka sendiri tidak memiliki acuan yang jelas tentang sejauh mana hak asasi manusia dapat melindungi warga negara mereka sendiri.
Beragama adalah hak alamiah (natural right) yang dimiliki manusia dan merupakan hak dasar dalam hak asasi manusia. Setiap orang dapat memilih agama apapun yang mereka yakini dan tidak ada larangan untuk memeluk agama apapun.
Hal tersebut tertulis dalam Pasal 18 Piagam Deklarasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiriâ€
Begitupun dalam ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Pasal 18 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaranâ€.
Setiap agama tentunya memiliki tata cara atau aturan yang mengatur tatanan hidup umatnya yang harus dilaksanakan yang berpatokan kepada kitab suci yang mereka miliki dan kita sebagai penganut agama lain yang berbeda agama pasti menghormati apapun aturan yang dijadikan patokan untuk melaksanakan perintah agamanya.
Di dalam pergaulan internasional, menanyaakan perihal agama kepada seseorang bukan hal yang dianjurkan dan sopan untuk ditanyakan karena agama adalah hak privasi seseorang yang tidak mesti atau wajib orang lain harus tahu. Di negara yang menganut paham sekularisme agama adalah urusan individu masing-masing dan bersifat sangat private sehingga dalam kartu identitas pun kolom terkait agama justru tidak ada.
Putusan ECJ
Pengadilan Uni Eropa (ECJ) beberapa waktu lalu telah mengeluarkan putusan terkait isu penggunaan jilbab atau hijab ini. Gugatan terkait penggunaan jilbab ini diajukan oleh seorang perempuan muslim yang bekerja di sebuah perumahan di Belgia, dimana perusahaan tersebut membuat larangan bagi pegawainya untuk memakai simbol-simbol agama dalam bekerja. Dalam putusannya, ECJ justru memperkuat peraturan perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa penggunaan jilbab di tempat bekerja bukanlah suatu tindakan diskriminatif dan aturan tersebut dapat diberlakukan sebagai bagian dari kebijakan internal masing-masing perusahaan.
Putusan tersebut jelas telah membuat makin banyaknya perlakuan diskriminatif yang akan dialami oleh warga perempuan Muslim di Eropa. Ketika hak untuk beragama kemudian dibenturkan dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hak kebebasan berekspresi maka tentu seharusnya ketiganya harus berjalan beriringan saling mengisi satu sama lain. Sangat tidak logis apabila keputusan pengadilan justru pada akhirnya memaksa orang untuk memilih antara keyakinan agama dan pekerjaannya. Hal tersebut jelas jelas benar-benar telah melanggar
prinsip-prinsip HAM, hukum dan keadilan.
Putusan MK tentang kebebasan beragama dan hak perempuan
Mahkamah Konstitusi RI sebagai pengawal konstitusi telah banyak melakukan terobosan terkait dengan hak konstitusional kebebasan beragama dan juga hak-hak perempuan.
Terkait hak perempuan, MK melalui putusannya dalam perkara 88/PUU-XIV/2016 dalam pengujian UU KDIY, telah memberikan semacam panduan terkait pembatasan yang boleh dilakukan oleh negara yang sesuai dengan konstitusi terhadap hak konstitusonal warga negara yaitu
a. pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang;
b. pembatasan yang harus dilakukan dengan Undang-Undang itu adalah dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain;
c. pembatasan yang harus dilakukan dengan Undang-Undang itu juga dengan maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu, terkait kebebasan beragama, MK dalam putusan perkara 97/PUU-XIV/2016, telah menyatakan pula bahwa hak atau kemerdekaan menganut agama termasuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah hak yang melekat pada setiap orang sebab hak tersebut diturunkan dari kelompok hak-hak alamiah (natural rights) yang bukan pemberian negara. Oleh karenanya menurut MK, hak beragama dan menganut kepercayaan merupakan salah satu hak asasi manusia sehingga sebagai negara hukum yang mensyaratkan perlindungan atas HAM, negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin hak asasi warganya dalam praktik atau kenyataan sehari-hari.
Dalam kedua putusan tersebut, MK juga memberikan pertimbangan hukum yang juga berpatokan kepada Deklarasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang seharusnya juga menjadi patokan dalam setiap pertimbangan putusan pengadilan diseluruh dunia khususnya yang menyangkut hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.
Tentunya kita berharap agar putusan MK RI tersebut dapat menjadi rujukan bagi pengadilan negara-negara lain di seluruh dunia dalam memutus sebuah perkara yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara karena semua negara pastinya memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan dan perlakuan yang sama terhadap warganya sehingga ke depan tidak akan ada lagi kasus perlakuan diskriminasi terhadap saudara kita (perempuan muslim) yang memakai hijab dan pengadilan betul-betul dapat memberikan rasa keadilan kepada warganya dengan berpatokan kepada hukum dan aturan yang bersifat universal yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia.
* Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum – International Islamic University Malaysia (IIUM). Anggota PPI IIUM Malaysia.
Alamat : Asrama Mahasiswa/Mahallah Salahudin, Kampus IIUM Gombak, Kuala Lumpur Malaysia. Phone : +62 812831-50373 / +60- 0172854-272. Email : adhanihani@gmail.com